Kamis, 05 September 2013

BAB I
SISTEM DAN SISTEMATIKA FILSAFAT

PENGANTAR KEPADA FILSAFAT
Asal Mula Timbulnya Filsafat
Dari Mitos Menuju Logos
Menurut Hatta dalam bukunya, Alam Pikiran Yunani (1966, : 1-3) sebagai berikut: “Tiap bangsa betapapun biadabnya, mempunyai dongeng takhayul. Ada yang terjadi dari kisah perintang hari, keluar dari mulut kemulut orang yang suka bercerita. Adapula yang timbul dari keajaiban alam, yang lama kelamaan timbul berbagai fantasi, orang yang membuat fantasi tidak ingin membuktikan kebenaran fantasi tersebut, tetapi diantara orang ada yang tidak percaya, ada yang bersifat kritis, lama-kelamaan timbul keinginan pada kebenaran”.
Orang-orang Grik banyak mempunyai dongeng dan tahkayul. Tetapi yang ajaib pada mereka ialah bahwa angan-angan yang indah itu menjadi dasar untuk mencari pengatahuan semata-mata hanya untuk tahu saja. Tidak mengharapkan untung dari itu. Berhadapan dengan alam yang indah luas, yang sangat bagus dan ajaib pada malam hari, timbul dihati mereka keinginan hendak mengetahui rahasia alam.
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Adanya dongeng dan takhayul dapat menimbulkan filsafat. Diantara orang-orang yang tidak percaya begitu saja, mereka kritis dan ingin mengetahui adanya kebenaran dongeng tersebut.
Adanya keindahan alam besar, ketika malam hari, yang menimbulkan keinginan pada orang Grik tempo hari untuk mengetahui rahasia alam. Keinginan mengetahui rahasia alam itu yang berupa rumusan-rumusan pertanyaan juga menimbulkan filsafat, (Tafsir, 1997 : 12).
Rasa Takjub
Menurut Beerling dalam bukunya (Tafsir , 1997 : 12) mengatakan bahwa orang Yunani yang pertama kali berfilsafat, mereka mengatakan bahwa filsafat timbul karena ketakjuban. Ketakjuban menyaksikan keindahan dan kerahasian alam semesta ini lantas kemudian menimbulkan keinginan mengetahuinya. Plato mengatakan bahwa sikap heran atau takjub itu akan lahir dalam bentuk bertanya. Pertanyaan itu memerlukan jawaban. Menurut Patcrik dalam buku Ahmad tafsir mengatakan: manakala ketakjuban tersebut menjadi serius dan penyelidikan untuk mencari jawaban atas bergai pertanyaan yang bersangkutan dengan ketakjuban atau keheran tersebut menjadi sistematis, maka mereka menjadi filosof.
Akan tetapi, pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat bukanlah pertanyaan sembarangan. Pertanyaan yang dangkal seperti “apa rasa gula?” dapat di jawab oleh lidah,. Pertanyaan : “pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah” tidak akan menimbulkan filsafat. Akan tetapi pertanyaan yang mendalam, yang Ultimate, yang berbobot tinggi, itulah yang akan menimbulkan filsafat jika jawabanya di berikan secara serius. Contoh pertanyaanya yaitu “apa sebenarnya bahan alam semesta ini?”. Panca indra tidak dapat menjawabnya dan sains juga terdiam. Filosof menjawabnya, Thales menjawab air. Pada Zaman modern ini penyebab pertanyaan adalah kesangsian. Sangsi menimbulakn pertanyaan. Pertanyaan menyebabkan pikran bekerja. Pikiran bekerja menimbulkan filsafat jadi rasa ingin tahu itulah pada dasarnya penyebab timbulnya filsafat. Rasa ingin tahu ini dahulunya disebabkan oleh dongeng dan keheranan pada kebesaran alam, (Tafsir, 1997 : 13).
Keterbatasan Hidup
Ada juga yang mengatakan bahwa filsafat dilahirkan atas dasar adanya ketidakpuasan. Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Mitos tersebut berupaya memberikan penjelasan terhadap manusia tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta, akan tetapi penjelasan dan keterangan tersebut makin lama semakin tidak memuaskan manusia. Mitos tersebut antara lain membawa ajaran bahwa alam semesta beserta fenomina yang ada tidak mungkin dapat dipikirkan secara ratio, akan tetapi harus diterima secara intuisi (perasaan dan keimanan). Mereka ketika itu sangat meyakini ajaran agama (Dewa). Jawaban yang diberikan oleh Thales (mendapat gelar bapak filsafat, karena dianggap orang yang pertama kali berfilsafat) bahwa bahan baku alam semesta alam air, jelas tidak diterima oleh dogmatis atau mitos ketika itu. Dalam hal ini Henri Bergson (penganut intuitisme) mengatakan bahwa akal sangat terbatas. Akal hanya memapu menjangkau atau memahami suatu obyek apabila mengkonsentrasi-kan kepada obyek tersebut. Ketika itu maka manusia harus tunduk kepada intuisi, (Panji, 2008: http://yearry Panji.wordpress/2008/08/24/ Filsafat-logika suatu pengatar).
Arti Dan Definisi Filsafat
Istilah filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata yunani, bahkan asalnya memang dari kata yunani. Kata yunani ialah “Philosophia”. Seiring perkembangan jaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti: ”Philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “Philosophy” dalam bahasa Inggris; “Philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab (Sudrajat,2008:http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/08/pengertianfilsafat/). Istilah filsafat bisa ditinjau dari segi bahasa (Etimologi) dan segi istilah (Terminologi).
Arti Filsafat secara Etimologi
Secara Etimologi istilah filsafat berasal dari beberapa bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Yunani. Dalam bahasa inggris yaitu “Philosophy” sedangkan dalam bahasa yunani “Philien” atau “Philos” dan “Sofein” atau “Sophi”. Ada pula yang mengatakan filsafat dari bahasa arab yaitu “Falsafah” yang artinya al-hikmah. Akan tetapi kata tersebut berasal dari bahasa yunani. “Philos” artinya cinta sedangkan “Sophi” artinya kebijakan. Jadi filsafat dari segi bahasa (Etimologi) ialah keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak. Pencarian kebijaksanaan bermakna menulusuri hakikat dan sumber kebenaran. Alat untuk menemukan kebijaksanaan adalah akal yang merupakan sumber kebenaran primer dalam berfikir. Oleh karena itu kebenaran filosofis tidak lebih dari kebenaran berfikir yang rasional dan radikal, (Hakim, 2008: 13).
Arti Filsafat secara Terminologi
Secara Terminologi filsafat mempunyai arti yang bervariasi. Menurut Pradja dalam bukunya (Hakim, 2008:14) mengatakan bahwa arti yang sangat formal dari filsafat adalah suatu proses krirtik atau pemikiran terhadap kepercayaan sikap dan dijunjung tinggi filsafat dari seni kritik yang bukan semata-mata membatasi diri pada destruktif atau seakan-akan takut untuk mebawa pandangan positifnya sendiri.
Definisi Filsafat Menurut Filosof
Guna lebih memahami mengenai makna filsafat berikut ini akan dikemukakan definisi filsafat yang dikemukakan oleh para ahli :
Plato (427 – 347 SM)
Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
Aristoteles (382 – 322 S.M)
Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Al Farabi (870 – 950 M)
Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya.
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 )
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi ),
Ismaun
Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati. Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut, (Tafsir, 1997 : 9).
Perbedaan definisi filsafat disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengatahuan khusus yang memisahkan diri dari filsafat. Perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat. Meskipun definisi yang berbeda, bila diperhatikan secara seksama, nampak pengertian-pengertian tersebut lebih bersifat saling melengkapi, sehingga dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti penyeledikan tentang Apanya, Bagaimananya, dan untuk apanya, dalam konteks ciri-ciri berfikir filsafat, (Tafsir, 1997 : 9).
Jadi, dari pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki kebenaran dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh.
OBJEK KAJIAN FILSAFAT
Isi filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan, objek kajian filsafat terdiri dari 2 bagian yaitu objek material filsafat dan objek formal filsafat:
Objek Material filsafat
Objek material filsafat adalah sesuatu yang ada dan mungkin ada. Segala sesuatu yang ada artinya yang ada dengan sendirinya dan yang keberadaannya disebabkan oleh keberadaan yang lain. Segala sesuatu yang ada, ada yang wajibnya adanya tanpa adanya kemungkinan yang lain dan ada yang tidak wajib adanya dan wajib bergantung kepada berbagi kemungkinan. Sesuatu yang wajib ada secara filosofis adalah wujud dari keberadaan yang ada dengan sendirinya dan tidak berada dalam sendirinya. Ada itu adakalanya tergambar oleh alat penca indera seperti langit, bumi,bulan bintang, manusia dan gunung-gunung, tetapi ada yang tidak tampak menurut keterbatasan pancaindera manusia misalnya Sang Pencipta alam (Hakim, 2008 : 19).
Segala sesuatu yang ada itu dibagi menjadi 2 yaitu:
Ada yang bersifat umum (ontologi) yakni ilmu yang menyelidiki tentang hal yang ada pada umumnya;
Ada yang bersifat khusus yang terbagi 2 yaitu secara mutlak dan tidak mutlak yang terdiri dari manusia dan alam (Parado,2011: tersedia http: // year parado. 2011/09/26/Filsafat pendidikan/html.)
Objek Formal Filsafat
Objek formal fisafat adalah pencarian terhadap yang ada dan yang mungkin ada secara kontemplatif pada permasalahn yang tidak dapat dijangkau oleh pendekatan empiris dan observatif yang biasa berada dalam sains, objek formal filsafat menggambarkan tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam memikirkan objek material filsafat, (Hakim, 2008 : 19).
Jadi, dari pemahaman diatas dapat diketahui bahwa objek kajian filsafat meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia.
Ciri-ciri Filsafat
Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana syarat-syarat berfikir yang disebut berfilsafat yaitu : a) Berfikir dengan teliti, dan b) Berfikir menurut aturan yang pasti. Dua ciri tersebut menandakan berfikir yang insaf, dan berfikir yang demikianlah yang disebut berfilsafat. Sementara itu Gazalba (1976 : 14) menyatakan bahwa ciri ber-filsafat atau berfikir filsafat adalah : radikal, sistematik, dan universal. Radikal bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekwensinya dengan tidak terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umum, Sistematik artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan, Universal artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas.
Sementara itu Sudarto menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir Filsafat adalah:
Metodis : menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (akhli filsafat) dalam proses berfikir,
Sistematis : berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis,
Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan dan tersusun secara logis,
Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah logika),
Komprehensif : berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi)
Radikal : berfikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya,
Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan manusia secara keseluruhan, (Sudarto, 1996 : 20).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam.
Mempelajari Filsafat
Cara Mempelajari Filsafat
Oleh karena sangat luasnya pembahasan mengenai filsafat, membuat sebagian orang menjadi sukar pula orang mempelajarinya, dari mana hendak dimulai dan bagaimana cara membahasnya agar orang yang mempelajarinya segera mengetahui dan bisa memahaminya. Menurut pemikiran Tafsir (1992 : 17) metode yang lazim digunakan dalam mempelajari filsafat ada 3 (tiga) macam. Hal ini penting untuk dipahami untuk mempermudah kajian filsafat. Metode tersebut yaitu:
Metode Sistematis
Menggunakan metode sistematis berarti orang menghadapi karya filsafat. Misalnya mula-mula pelajar menghadapi teori pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat nilai. Pembagian besar ini dibagi lebih khusus dalam sistematika filsafat. Tatkala membahas setiap cabang atau subcabang itu, aliran-aliran akan terbahas. Dengan belajar filsafat dengan metode ini perhatian kita akan terpusat pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun para periode.
Metode Historis
Adapun metode ini digunakan apabila para pelajar mempelajari filsafat dengan cara mengikuti sejarahnya, jadi sejarah pemikiran ini dapat dilaukan dengan membicarakan tokoh demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah, misalnya dimulai dari membicarakan filsafat Thales, membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai.
Metode Kritis
Metode kritis digunakan oleh orang-orang yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Disini pengajaran filsafat mengambil pendekatan sistematis ataupun historis. Langkah pertama ialah memahami isi ajaran, kemudian pelajar mencoba mengajukan kritiknya. Kritik itu mungkin dalam bentuk menentang, dapat juga berupa dukungan terhadap aliran filsafat yang sedang di pelajari. Ia mungkin mengkritik dengan pendapatnya sendiri ataupun dengan menggunakan pendapat filosof lain.
Mafaat mempelajari filsafat ada bermacam-macam, diantaranya yaitu:
Adapun manfaat mempelajari filsafat yaitu:
Filsafat menolong mendidik, membangun diri kita sendiri untuk dengan berfikir lebih mendalam, kita mengalami dan menyadari kerohanian kita,
Filsafat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoala-persoalan dalam kehidupan sehari-hari,
Filsafat memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme dan akusentrisme (dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri),
Filsafat merupakan latihan untuk berfikir sehingga kita tidak hanya ikut-ikutan pendapat orang lain, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang di kemukakan orang lain dan mempunyai pendapat sendiri,
Filsafat memberikan dasar-dasar baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lain sebagainya, (Anonim, 2010: http//purplebrainwash.blogspot.com/2010/02/cara-mempelajari-filsafat.html)
Selain itu, menurut Tafsiri (1992 : 17) faedah mempelajari filsafat adalah:
Agar terlatih berfikir serius
Dengan berfikir serius, seseorang mungkin saja mampu menemukan rumusan baru dalam menyelesaikan masalahnya;
Agar mampu memahami filsafat
Dengan memahami filsafat, seseorang dapat berpartisipasi dalam membangun dunia, karena dunia dibangun dengan 2 kekuatan yaitu agama dan filsafat
Agar mungkin menjadi filosof
Jika seseorang sudah mulai berfikir serius dalam filsafat hingga berfikir kritis, seseorang itu mungkin saja mampu menemukan rumusan baru dalam menyelesaikan masalah dunia dan apabila argumennya kuat serta diterima menjadi sebuah system pemikiran maka seseorang tersebut telah menjadi filosof
Agar menjadi warga Negara yang baik
Orang yang telah mempelajari filsafat apalagi telah mampu berfikir serius, akan mudah menjadi warga Negara yang baik. Karena rahasia Negara terletak pada filsafat Negara itu sendiri, filsafat Negara di tuangkan ke dalam bentuk Undang-Undang Negara. Maka, Undang-Undang itulah yang mengatur seluruh warga Negara.
Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Berbagai pengertian tentang filsafat telah di bahas, maka berikutnya akan tergambar pula pola relasi (hubungan) antara filsafat dan ilmu. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara filsafat dan ilmu, dapat juga perbedaan di antara keduanya.
Pada zaman Plato, bahkan sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasai semua ilmu. Tetapi perkembangan daya fikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada cepatnya loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat, meski ilmu lahir dari filsafat tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung oleh kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah menjadi lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan oleh manusia, Sebab manusia hari ini lebih membutuhkan ilmu yang sifatnya lebih praktis dibandingkan dengan filsafat yang kadang sulit “dibumikan”.
Menurut Sumarna (2004 : 36) ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi luas, yakni bagaimana ie mempelajari gejala-gejala social lewat observasi dan eksperimen. Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannnya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praksis. Dengan demikian Kraf berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritis, (Kraf, 2001 : 22).
Perbedaan Fisafat dengan Ilmu Pengetahuan
Saefuddin (1998:31) menempatkan filsafat di posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu di jangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari relitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju. Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat, ilmu bersifat a pasteriori: kesimpulannnya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya.
Sedangkan filsafat bersifat a priori, yakni : kesimpulannnya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti ilmu. Unsur a priori memainkan peranan bentuk dan unsure aposteriori memainkan peranan materi. Menurut Kant unsure a priori itu sudah terdapat pada tarap indra. Ia berpendapat bahwa dalam pengatahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Jadi ruang tidak merupakan ruang kosong, dimana benda-benda diletakkan; ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya”(ruang an sinch). Waktu bukan merupakan suatu arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan bisa ditempatkan. Dengan kata lain keduanya berakar dalam struktur subyek sendiri, (Pradja, 2005:79). A priori, disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.Tiga tingkatan pengetahuan manusia. A posteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (post, bahasa latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga tidak dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dpat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian tidak semua filosof dapat disebut ilmuan, sama seperti tidak semua ilmuan disebut filosof. Meski demikian cara kerja filosof dan ilmuan itu sama yakni menggunakan aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas berfikir ilmuan berbeda dengan aktivitas berfikir filosof. Berdasar cara berfikir itu maka hasil kerja filosof dapat dilanjutkan oleh cara berfikir ilmuan. Hasil kerja filosof bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu.
BAB II
SISTEMATIKA FILSAFAT
Ontologi
Pengertian Ontologi
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan), (Bakhtiar, 2007:132).
Ontologi sering diindentikan dengan metafisika yang juga disebut dengan Proto-filsafia atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasanya adalah hakekat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, frealita prima atau tuhan dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi dengan tenaga-tenaga yang dilangit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga, (Jalaludin, 2002:104). Ontologi membahas tentang apa objek yang kita kaji, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir.
Aliran-Aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”, ( Zainuddin, 2006 : 25).
Apakah yang ada itu? (What is being?), Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima aliran filsafat, yaitu sebagai berikut :
Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam, (Suriasumantri, 1996 : 64).
Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati, (Sumarna, 2006 : 48).
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu, (Nasution, 1982 : 53).
Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M), (Bakhtiar, 2007 : 142).
Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.


Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya, dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
Aliran Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani, (Bakhtiar, 2007 : 148).
Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?), apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif. Di manakah yang ada itu? (Where is being?) Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil, (Zainuddin, 2006 : 26).
Manfaat Mempelajari Ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di antaranya sebagai berikut:
Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada;
Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi;
Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika, (Farina,2007:tersedia http://permenungan.multiply.com)
Dari penjelasan tersebut, dapat menyimpulkan bahwa ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat dari suatu benda atau sesuatu. Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang sementara, menipu, dan berubah). Misalnya, pada model pemerintahan demokratis yang pada umumnya menjunjung tinggi pendapat rakyat, ditemui tindakan sewenang-wenang dan tidak menghargai pendapat rakyat. Keadaan yang seperti inilah yang dinamakan keadaan sementara dan bukan hakiki. Justru yang hakiki adalah model pemerintahan yang demokratis tersebut, (Nita. 2011: http//Nita nurrachmawat./2011/01/05/ Ontologi dalam filsafat).
Epistemologi
Pengertian Epistemologi
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos, episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti teori, uraian, atau ulasan. Karena berhubungan dengan filsafat pengetahuan, lebih tepat logos diterjemahkan dalam arti teori. Jadi, epistemologi dapat dirtikan sebagai arti tentang pengetahuan, dalam bahasa inggris dipergunakan istilah theory of knowledge, (Hasan, 2011 : 21).
Epistrmologi adalah cabang fisafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun. Nanti, tatkala ia 40 tahunan, pengetahuannya banayak sekali sementara kawasannya yang seumur dengan dia mungkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak dari pada dia di dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaiamana mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu? Mengapa dapat juga berbeda tingkat akurasinya? Hal-hal semacam inilah yang dibahas dalam epistemologi, ( Tafsir, 2004 : 23). Pengertian bersifat subyektif, artinya ciri yang tertangkap oleh orang akan berlainan karena daya tangkap orang tidak sama, ( Prasetya, 1997 : 110).
Epistemologi dibagi dalam beberapa bagian, yaitu :
Epistemologi subjektif merupakan epistemologi yang menggunakan standar rasional terhadap sesuatu yang diyakininya, sedangkan epistemologi pragmatik adalah epistemologi yang menyarankan agar pencarianpada yang kekal diganti dengan pencermatan mengkritik
Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang kepuasanan moral dan teori-teori moral
Epistemologi religius berupayan untuk membuat penafsiran kitab suci untuk memperoleh tuntunan tepercaya, (Hasan, 2011 : 24).
Sumber Ilmu Pengetahuan
Landasan epistemologi adalah metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu :
Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang logis dan didukung oleh bukti empiris (Hasan, 2011:23) disebut juga pengetahuan ilmiah dimana pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai, (Hendrik, 1995: 38).
Pengetahuan filsafat adalah pengetahuan yang kebenarannya hanya dipertanggungjawabkan secara logis tidak secara empiris. Pengetahuan filsafat diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis.
Pengetahuan mistik adalah pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak juga secara logis, (Hasan, 2011: 23).
Ada dua jenis pengetahuan yang dikaji dalam epistemologi, yaitu pengetahuan ilmiah dan pengetahuan non ilmiah. Pengetahuan ilmiah memiliki ciri, yaitu berlaku umum, mempunyai dasar pembenaran, sistematis dan intersubjektif. Epistemologi pengetahuan dibagi menjadi empat bagian, yaitu pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, dan pengetahuan agama.
Pengetahuan biasa (ordinary knowledge) adalah pengetahuan yang diperoleh dari hasil penyerapan indera terhadap objek tertentu yang disaksikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasa bisa dikatakan pengetahuan yang bersifat subjektif, artinya pengetahuan tersebut sangat terikat pada subjek yang mengenal, (Hasan, 2011 : 23). Pada jenis ini juga, pengetahuan dapat diperoleh dengan cara pemikiran yang mendalam mengenai segala sesuatu, namun masih perlu dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah, (Susanto, 2010 : 137). Pengetahuan senantiasa memiliki objek dan subjek. Subjek yakni yang mengetahui, karena kalau tidak ada yang mengetahui maka tidak ada pengetahuan. Objek yakni sesuatu yang hendak kita ketahui. Tanpa objek tidak mungkin juga ada pengetahuan, (Hendrik, 1995 : 38).
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan pendekatan metodologis yang khas pula dan telah mendapatkan kesepakatan di antara para ahli yang sejenis.
Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat. Sifat pengetahuan ini mendasar. Dan menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif).
Pengetahuan agama, yaitu jenis pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama tertent. Pengetahuan agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu didasarkan pada keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
Sumber Ilmu Pengetahuan Saling Melengkapi
Wiramihardja (2006) mengemukakan ada tiga masalah dasar pengetahuan yang berupa pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut: apakah dasar atau sumber pengetahuan kita? Adakah kemungkinan manusia mencapai pengetahuan mutlak? Dan adakah kemungkinan manusia mengatahui objek di dirinya? .Adapun masalah batas pengetahuan mengenai dapatkah kita mencapai kebenaran mutlak? Ini dijawab oleh aliran dogmatis dan skepitisisme. Aliran dogmatis berpendapdat bahwa kebenaran mutlak dapat dicapai. Artinya kebenaran pengetahuan yang sempurna dan abadi dapat dicapai melalui ilmu. Sebaliknya, skepitisisme berpendapat bahwa orang tidak mungkin mencapai pengetahuan yang benar karena terbatas pada penggunaan akal yang berubah terus-menerus dari generasi ke generasi.
Sedangkan masalah objek pengetahuan, hal ini akan dijawab oleh aliran idialisme dan realisme. Idialisme ialah aliran yang meyakini bahwa objek pengetahuan itu ada dalam diri, di dalam pikiran manusia. Menurut aliran realisme pengetahuan merupakan suatu reproduksi gambaran dari objek yang ada di luar diri kita, (Susanto, 2010 : 138).
Menurut rasionalisme, pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pemikiran logis dan deduktif melalui rasio manusia. Sebaliknya, menurut empirisme, pengetahuan diperoleh dari pengamatan inderawi manusia. Jadi, empirisme menekankan karakter eksperimental dan perseptual dari pengetahuan, sedangkan rasionalisme pada karakter kekuatan logika dan matematika. Namun menurut Susanto (2010 : 138) mengenai masalah sumber pengatahuan dijawab oleh aliran rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.
Untuk memahami perbedaan antara rasionalisme dan empirisme, mari kita meliahat persoalan mengenai pengetahuan a priori atau pengetahuan tentang suatu objek sebelum kita memiliki pengetahuan tentang objek itu. Dengan kata lain pengetahuan yang tidak diperoleh melalui pengalaman. Tiga contoh pernyataan a priori adalah semua kejadian ada sebabnya, keseluruhan adalah penjumlahan dari bagian-bagian, semua manusia akan mati. Namun bagi penganut empirisme menolak tentang pertimbangan dari a priori, mereka berpendapat bahwa pengalaman empiris adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang tidak berasal dari pengalaman. Jhon locke bahkan menegaskan bahwa jiwa atau pikiran manusia pada dasarnya adalah seperti kertas kosong, pengalamanlah yang mengisi jiwa atau pikiran itu sehingga ia seolah-olah mempunyai pengetahuan a priori. Sedangkan, a posteriori adalah sintesis yalni, diperoleh melalui pengalaman, bukan hasil analisis bahasa atau matematik, (Abidin, 2011 : 51).
Cara Memperoleh Pengetahuan
Dipandang dari cara pembentukannya, pengetahuan ada dua macam, yaitu pengetahuan langsung dan pengetahuan tak langsung. Pengetahuan langsung diperoleh melalui pengamatan lahir (persepsi ekstern), maupun pengamatan batin (persepsi intern) tanpa perantara.
Contoh :
Heru duduk menyendiri (persepsi ekstern)
Dia merenungi nasibnya (pers.epsi intern)
Contoh pertama disebut pengetahuan langsung melalui persepsi ekstern, berdasarkan kenyataan (bukti) yang bisa ditangkap oleh indera penglihatan. Contoh kedua disebut pengetahuan langsung melalui persepsi intern, berdasarkan kepada sikap atau gejala yang dapat dirasakan oleh indera batin. Kita mengetahui bahwa dia sedang merenungi nasibnya karena kita sudah tahu ciri-ciri orang yang sedang melamun melalui penilaian secara indera batin, (Prasetya, 1997 : 114).
Menurut Amien menjelasikan adanya dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan wahyu dan pengetahuan ilham. Pengetahuan wahyu adalah firman Allah yang berisi pengetahuan yang diturunkan kepada manusia pilihan, yaitu Nabi dan Rasul. Wahyu menyangkut berbagai aspek kehidupan khususnya hubungan manusia dengan Al-Khalik yang disebut ibadah, juga hubungan manusia dengan sesama makhluk, yang disebut muamalah. Pengetahuan ilham ialah petunjuk yang disampaikan melalui hati langsung sanubari setiap orang. pengetahuan ilham contonya ketika seseorang merasa bingung akan sebuah pilihannya, maka dengan do’a yang dipanjatkan orang tersebut kepada Sang Khalik ternyata Allah memberikan sebuah petunjuk pilihan atu jalan yang benar untuk orang tersebut langsung ke dalam sanubarinya. Ilham pada dasarnya sama dengan wahyu dalam arti yang umum. Perbedaan yang mendasar terletak pada cara penyampainnya, yaitu bahwa wahyu melalui utusan, sedangkan ilham langsung masuk ke dalam jiwa tanpa melalui utusan. Ilham disebut juga sebagai devine inspiration.
Pengetahuan hampir setiap saat dapat ditemui dalam hidupnya, baik melalui pengamatan lahir maupun batin. Orang menyebut pengetahuan ini sebagai pengelaman (empiris). Mendapatkannya tidak sulit asal ada kesadaran.
Manfaat mempelajari epistemologi
Epistemologi perlu dipelajari bagi kehidupan kita. Terdapat tiga pertimbangan, yaitu :.
Pertiimbangan strategis : kajian epistemologi perlu karena pengetahuan sangatlah strategis bagi kehidupan manusia. Dalam keseharian kita, tanpa disadari kita sebenarnya sudah menggunakan epistemologi dalam arti yang seluas-luasnya. Misalnya ketika bangsa kita sedang tertimpa kemalangan yang berupa makin bertambahnya kemiskinan, tiba-tiba saja para wakil rakyat DPR akan berencana melakukan studi banding yang nilainya fantastis, 19,5 Trilyun dan dana ini ternyata 4 kali lebih besar dari program Jaminan Kesehatan Masyarakat yg besarnya hanya 4,5 Triliyun. Akhirnya masyarakat melakukan resistensi-resistensi terhadap tindakan DPR tersebut. Pada saat kita melakukan penilaian terhadap rancangan DPR dengan fakta empiris masih minimnya tingkat kesejahteraan rakyat, maka sesungguhnya kita sedang melakukan sebuah perbandingan antara satu ralitas dengan realitas yang lain atau dalam konteks epistemologi menggunakan pendektan empiris. Demikianlah, epistemologi sebenarnya telah kita lakukan sehar-hari walaupun tanpa kita sadari. Dikatakan strategis, karena sebagai landasan bagi tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, (Esha, 2010 : 98-99). Seperti halnya dengan keseharian kita yang tidak akan lepas dari kegiatan makan. Kalau kita tidak mengetahui makanan itu dimasukkan ke dalam mulut, maka kita sampi sekarang ini tidak akan pernah tahu bahwa makan itu caranya memasukkannya ke dalam mulut.
Pertimbangan kebudayaan : bahwa epistemologi mencari tahiu pengetahuan dari unsur-unsur dan sistem kebudayaan yang dianggap penting bagi kehidupan manusia. Karena pandangan epistemologis yang sesungguhnya ada dan terkandung dalam setiap kebudayaan itu sendiri. Dimana budaya itu sendiri adalah suatu gaya hidup atau cara hidup yang ada di dalam suatu masyarakat tertentu.
Pengetahuan Pendidikan : sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup dan keterampilan hidup untuk tidak lepas dari penguasaan pengetahuan. Sehingga peserta didik akan berrtambah pengetahuannya dan menjadi manusia yang berilmu pengetahuan yang maju dan tinggi, serta berguna bagi lingkungan di sekitarnya baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat bangsa tentunya, (Muliba, 2013, http// Manfaat Mempelajari Epistemologi.com.).
Aksiologi
Pengertian aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Jujun (1996 : 135) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar, (Jujun, 1996 : 136)
Kegunaan aksiologi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu.Ilmu tidak bebas nilai.Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Menurut (Samad, 2012, tersedia http/philosophycomunity.com) Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan yaitu;
Etika
Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri,etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika,nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan.Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab,baik tanggung jawab terhadap diri sendiri,masyarakat,alam maupun terhadap tuhan sebagai Sang Pencipta.
Estetika
Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan.Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Aksiologi berkenaan dengan nilai guna ilmu,baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.Berkaitan dengan hal ini,menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun (1996 : 137) yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal,yaitu:
Filsafat sebagai kumpulan teori
Digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran, jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
Filsafat sebagai pandangan hidup
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia, (Bakhtiar, 2007:165)
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, (Bakhtiar, 2007:166).
BAB III
FILSAFAT YUNANI
Dalam sejarah filsafat biasanaya filsafat Yunani dimajukan sebagai pangkal sejarah Filsafat Barat, karena dunia barat (Eropa Barat) alam pikirannya berpangkal kepada pemikiran Yunani, (Ambalao, 2009: http://kutipanartikel.blogspot.com/2009/10/klasifikasi-filsafat_18.html).
Pada masa itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya alam semesta serta dengan penghuninya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan kepercayaan. Ahli-ahli pikir tidak puas akan keterangan itu lalu mencoba mencari keterangan melalui budinya. Mereka menanyakan dan mencari jawabannya apakah sebetulnya alam itu. Apakah intisarinya? Mungkin yang beraneka warna yang ada dalam alam ini dapat dipulangkan kepada yang satu. Mereka mencari inti alam, Istilah mereka arche alam (arche dalam bahasa Yunani yang berarti mula, asal), (Poedjawijatna, 1980 : 19).
Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat Yunani lahir, yaitu:
Bangsa Yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal dari uapaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dan lain-lain.
Karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong kelahiran filsafat Yunani, karya Homerous mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang Yunani yang didalamnya mengandung nilai-nilai edukatif.
Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, kemudian berkat kemampuan dan kecakapannya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan sehingga mereka mempelajarinya tidak didasarkan pada aspek praktis saja, tetapi juga aspek teoritis kreatif, (Hafidzyah,2012:http://herlysusantiiaseekaseek.blogspot.com/2012/04/makalah-filsafat-umum tentang-tuhan.html).
Dengan adanya ketiga faktor tersebut, kedudukan mitos digeser oleh logos (akal), sehingga setelah pergeseran tersebut lahirlah filsafat yang banyak tokohnya.
FILOSOF FILSAFAT YUNANI KUNO
Thales (625- 545 SM)
Thales adalah seorang saudagar yang banyak berlayar ke negeri Mesir. Ia juga seorang ahli-politik yang terkenal di Miletos. Pada waktu itu masih ada kesempatan baginya untuk mempelajari ilmu matematik (ilmu pasti) dan atronomi (ilmu bintang). Ada cerita yang mengatakan, bahwa Thales mempergunakan kepintaranya sebagai ahli-nujum. Dengan jalan itu ia menjadi kaya raya. Pada suatu waktu ia meramalkan akan ada gerhana matahari pada bulan itu dan tahun itu. Ramalan itu ternyata benar, ialah terjadinya gerhana matahari yang terjadi di tahun 585 SM. Hal itu menyatakan, bahwa ia mengetahui ilmu matematik (Hady, 2012: http://gentongedukasi.blogspot.com/2012/01/pengertian-filsafat-yunani.html).
Dalam sejarah Matematika, Thales dianggap sebagai pelopor geometri abstrak yang didasarkan kepada petunjuk pengukur banjir, yang implementasinya dengan membuktikan dalil-dalil geometri yang salah satunya : bahwa kedua sudut alas dari suatu segitiga sama kaki adalah sama besarnya.Walaupun pandangan-pandangan Thales banyak yang kurang jelas, akan tetapi pendapatnya merupakan percobaan pertama yang masih sangat sederhana dengan menggunakan rasio (akal pikiran) (Muzairi, 2009 : 44-45). Ada pula cerita yang mengatakan, bahwa Thales sangat menyisihkan diri dari pergaulan biasa. Ia berfikir senantiasa, dan pikirannya terikat kepada alam semesta.
Sungguhpun demikian Thales terbilang bapak filosofi Yunani, sebab ialah filosof yang pertama, ia tak pernah meninggalkan pelajaran yang dituliskannya sendiri. Filosofinya diajarkan dengan mulut saja, dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut kemulut. Baru Aristoteles, yang menuliskannya. Menurut Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales ialah semuanya itu air. Air yang cair itu adalah pangkal pokok dan dasar segala-galanya. Semua barang terjadi dari air dan semuanya kembali kepada air pula (Andi, 2012: http://pendulangan.wordpress.com/2012/09/26/sejarah-perkembangan-filsafat yunani kuno/).
Thales berpendapat bahwa dasar pertama atau intisari alam ialah air (Poedjawijatna, 1980 : 19). Air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dan yang jadi, tetapi juga akhir dari segala yang ada dan yang jadi itu. Diawal air dan diujung air. Air sebab yang penghabisan! Asal air pulang ke air. Air yang satu itu adalah bingkai dan pula isi. Atau dengan kata lain, filosofi air adalah substrat (bingkai) dan substansi (isi) kedua-duanya.
Cara pandang Thales ini masih animisme. Animisme adalah kepercayaan, bahwa bukan saja barang yang hidup mempunyai jiwa, tetapi juga benda mati. Kepercayaan ini dikuatkan oleh pengalaman pula. Thales mempunyai salah satu muridnya yang bernama Anaximandros. Muridnya lebih muda 15 tahun dari Thales, tetapi meninggal 2 tahun lebih dulu dari Thales. Anaximandros adalah seorang ahli astronomi dan ilmu bumi.
Sebagai filosof ia lebih besar dari gurunya. Oleh karena itu, meskipun ia murid Thales, namun mempunyai prinsip dasar alam memang satu akan tetapi prinsip dasar tersebut bukanlah dari jenis benda alam seperti air sebagaimana yang dikatakan gurunya. Prinsip dasar alam itu haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas. Menurut Anaximandros disebut apeiron.
Apeiron adalah zat yang tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan apapun. Segala yang kelihatan itu yang dapat ditentukan rupannya dengan panca indera kita, adalah barang yang mempunyai akhir, yang berhingga. Sebab itu barang asal, yang tiada berhingga, dan tiada berkeputusan, mustahil salah satu dari barang yang berakhir itu. Segala yang tampak dan terasa dibatasi oleh lawannya. Yang panas dibatasi oleh yang dingin. Dimana bermula yang dingin, disana berakhir yang panas. Yang cair dibatasi oleh yang beku, yang terang oleh gelap. Semua itu terjadi dari ada Apeiron dan kembali pula kepada Apeiron. Jika kita melihat sifat-sifat yang diberikan oleh Anaximandros tentang apeiron yaitu sebagai zat atau sesuatu yang tak terhingga, tak terbatas, tak dapat diserupakan dengan alam, maka barangkali yang dimaksud Anaximandros itu apeiron adalah Tuhan.
Anaximenes atau Anaximandros (585-494 SM)
Anaximenes adalah seorang murid Anaximandros. Ia adalah filosof alam terakhir dari kota Miletos. Sesudahnya ia meninggal dunia kemajuan filosof alam berakhir dikota tersebut. Banyak ahli fikir dari kota tersebut sebab kota Miletos pada tahun 494 SM diserang dan ditaklukan oleh bangsa Persia. Dengan kepergian para ahli pikir itu, maka kebesaran kota Miletos sebagai pusat pengajaran filosof alam telah lenyap. Pandangan filsafatnya tentang kejadian alam ini sama dasarnya dengan pandangan gurunya. Ia mengajarkan bahwa barang yang asal itu satu dan tidak berhingga. Hanya saja ia tak dapat menerima ajaran Anaximandros, bahwa barang yang asal itu tak ada persamaannya dengan barang yang lain dan tak dapat dirupakan. Baginya yang asal itu mestilah satu dari yang ada dan yang tampak. Barang yang asal itu ialah udara. Udara itulah yang satu dan tidak berhingga.
Dalam pandangan tentang asal, Anaximenes turun kembali ketingkat yang sama dengan Thales. Kedua-duanya berpendapat, yang asal itu mestilah salah satu dari yang ada dan yang kelihatan. Thales mengatakan air asal dan kesudahan dari segala-galanya. Sedangkan Anaximenes (590-528) mengatakan bahwa intisari alam atau dasarnya pertama adalah udara, karena udaralah yang meliputi seluruh alam serta udara pulalah yang menjadikan dasar hidup bagi manusia yang amat diperlukan oleh nafasnya (Poedjawijatna, 1980 : 19-20). Pikiran itu mungkin terpengaruh oleh ajaran Anaximandros, bahwa: ”jiwa itu serupa dengan udara”
Tetapi untuk pertama kalinya pengertian jiwa masuk ke dalam pandanagan filosofi. Anaximenes pun tidak melanjutkan pikirannya kepada soal penghidupan jiwa. Sebab soal ini terletak diluar garis filosofi alam. Anaximenes hanya mencari asal alam, ia belum memperhatikan benar soal jiwa dalam penghidupan masyarakat. Menurutnya kepentingan jiwa itu tampak dalam perhubungan alam besar saja. “Jiwa itu menyusun tubuh manusia menjadi satu dan menjaga tubuh itu tidak gugur dan bercerai-berai. Kalau jiwa itu keluar dari tubuh, maka matilah tubuh itu dan bagian-bagiannya mulai bercerai-berai”. Begitupun alam besar itu karena udara. Udaralah yang jadi dasar hidupnya. Kalau tak ada udara, gugurlah semuannya.
Menurut pendapat Anaximenes udara itu adalah benda atau materi. Ia bisa membedakan yang hidup dengan yang mati. Menurutnya, benda mati karena jiwa itu keluar. Jadi yang mati tidak berjiwa (Tafsir, 2000 : 48).
Anaximenes mengemukakan suatu soal baru yang belum didapat pada Thales yaitu “Gerakan apakah yang menjadi sebab terjadinya alam yang lahir yang banyak ragam dan macamnya dari barang asal yang satu itu?”. Anaximenes menjawab berdasarkan pengalaman. “Semuanya terjadi dari udara. Jika udara diam saja, sudah tentu tidak terjadi yang lahir itu dengan berbagai macam dan ragam. Sebab itu gerak udaralah yang menjadi sebab jadinya.
Anaximenes berpendapat bahwa, seolah-olah bumi ini bernafas dan berbentuk datar seperti meja bundar, langit-langit pun melindunginya sebagai topi (Sadali, 2004 : 39-47).
Pythagoras (580-500 SM)
Mengenai riwayat hidupnya, ia dilahirkan di pulau Samos, Lonia. Tanggal dan tahunnya tidak diketahui pasti. Ia juga tidak meninggalkan tulisan-tulisan sehingga apa yang perlu diketahui Pythagoras diperlukan kesaksian-kesaksian. Menurut Aristoxenos seorang murid Aristoteles, Pythagoras pindah ke kota Kroton, Italia Selatan karena tidak setuju dengan pemerintahan Polykrates yang bersifat tirani. Di kota ini ia mendirikan sekolah agama, selama 20 tahun di Kroton, kemudian pindah ke Metapontion dan meninggal di kota ini.
Pemikirannya, substansi dari semua benda adalah bilangan dan segala gejala alam merupakan pengungkapan inderawi dari perbandingan-perbandingan matematis. Bilangan merupakan intisari dasar pokok dari sifat-sifat benda (Number rules the universe = bilangan memerintah jagat raya). Pemikirannya tentang bilangan, ia mengemukakan bahwa setiap bilangan dasar dari 1 sampai 10 mempunyai kekuatan dan arti sendiri-sendiri. Satu adalah asal mula segala sesuatu sepuluh, dan sepuluh adalah bilangan sempurna. Bilangan gasal (ganjil) lebih sempurna daripada bilangan genap dan identik dengan finite (terbatas). Salah seorang penganut Pythagoras mengatakan bahwa Tuhan adalah bilangan tujuh, jiwa itu bilangan enam, badan itu bilangan empat (Muzairi, 2009 : 47).
Pythagoras juga ada sedikit memfilsafatkan manusia, ia mengemukakan pendapat bahwa pada manusia adalah sesuatu yang bukan jasmani dan yang tak dapat mati, yang masih terus ada, jika manusia sudah tak ada. Manusia menurut Pythagoras mempunyai jiwa dan jiwa itu sekarang terhukum dan terkurung dalam badan. Maka dari itu, manusia harus membersihkan diri untuk melepaskan dirinya dari kurungan dan dengan demikian dapatlah ia masuk ke dalam kebahagiaan.
Pythagoras yang mengatakan pertama kali bahwa alam semesta itu merupakan satu keseluruhan yang teratur, sesuatu yang harmonis seperti dalam musik. Sehingga ia juga dikenal sebagai ahli ilmu pasti dan juga ahli musik. Dia berpendapat bahwa keharmonisan dapt tercapai dengan menggabungkan hal-hal yang berlawanan, seperti:
Terbatas – tak terbatas;
Ganjil – genap;
Satu – banyak;
Laki-laki – perempuan;
Diam – gerak;
Dan lain-lain.
Menurut Pythagoras kearifan yang sesungguhnya hanya dimilki oleh Tuhan saja, oleh karenanya ia tidak mau disebut sebagai seorang yang arif seperti Thales, akan tetapi menyebut dirinya Philosopos yaitu pencipta kearifan. Kemudian istilah inilah yang digunakan menjadi philosofia yang terjemahan harfiah dalah cinta kearifan atau kebjaksanaan sehingga sampai sekarang secara etimologis dan singkat sederhana filsafat dapat diartikan sebagai cinta kearifan atau kebijaksanaan (Love of Wisdom) (Muzairi, 2009 : 47).
Xenophanes (570 SM)
Xenophanes lahir di Xolophon, Asia Kecil. Waktu berumur 25 tahun ia mengembara ke Yunani. Ia lebih tepat dikatakan sebagi penyair dari pada ahli pikir (filosof), hanya karena ia mempunyai daya nalar yang kritis yang mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat pada saat itu. Namanya menjadi terkenal karena untuk pertama kalinya ia melontarkan anggapan bahwa adanya konflik antara pemikiran filsafat (rasional) dengan mitos.
Pendapatnya yang termuat dalam kritik terhadap Homerus dan Herodotus, ia membantah adanya antromorfosisme Tuhan-Tuhan, yaitu Tuhan digambarkan sebagai (seakan-akan) manusia. Karena manusia selalu memiliki kecenderungan berfikir dan lain-lainnya. Ia juga membantah bahwa Tuhan bersifat kekal dan tidak mempunyai permulaan. Ia juga menolak anggapan bahwa Tuhan mempunyai jumlah yang banyak dan menekankan atas keesaan Tuhan. Kritik ini ditunjukkan kepada anggapan-anggapan lama yang berdasarkan pada mitologi (Muzairi, 2009 : 48-49).
Heraclitos (540-480 SM)
Heraklitos lahir di Epesus, sebuah kota perantauan di Asia Kecil dan merupakan kawan dari Pythagoras dan Xenophanes, akan tetapi ia lebih tua. Pandangan Heraklitos sejenis dengan filsafat alam para filsuf di Miletos, namun pandangannya jauh melebihi mereka semua. Ia adalah seorang tokoh yang kritis sekali, yang sama sekali tidak menghargai pemikiran Pythagoras dan Xenophanes (Hadiwijono,1980 : 21).
Pemikiran filsafatnya terkenal dengan filsafat tentang “menjadi’. Ia mengemukakan bahwa tidak ada sesuatupun yang betul-betul berada, sebab semuanya ”menjadi”. Segala sesuatu berlalu dan tiada sesuatu yang tetap. Perubahan terjadi dengan tiada hentinya. Panta rhei kai uden menci yang artinya segala sesuatunya mengalir bagaikan arus sungai dan tidak satu orangpun yang dapat masuk ke sungai dua kali. Alsannya, karena air sungai yang pertama telah mengalir, berganti dengan air yan berada di belakanganya. Demikian juga dengan segala yang ada, tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Akhirnya dikatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu adalah menjadi, maka filsafatnya dikatakan filsafat menjadi (Muzairi, 2009 : 49-50).
Menurut Heraclitos alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah, sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, yang panas berubah menjadi dingin. Itu berarti kita hendak memahami kehidupan kosmos, kita menyadari bahwa kehidupan kosmos itu dinamis. Kosmos itu tidak pernah berhenti (diam), ia selalu bergerak, dan bergerak berarti berubah. Gerak itu menghasilkan perlawanan-perlawanan. Itulah sebabnya ia sampai pada kongkulasi bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahan (stuff)-nya seperti yang dipertanyakan oleh para filosof yang pertama itu, melainkan prosesnya. Penyataan “semua mengalir” berarti semua berubah bukanlah pernyataan yang sederhana. Implikasi pernyataan tersebut amat hebat. Dan itu mengandung pengertian bahwa kebenaran selalu berubah, tidak tetap. Pengertian adil pada hari ini belum tentu masih benar besok. Hari ini 2 x 2 = 4 namun besok dapat juga bukan empat. Pandangan ini merupakan warna dasar flsafat sofisme (Tafsir, 2000 : 49).






Parmenides (540-475 SM)
Parmenides merupakan salah satu pemikir filsafat Yunani Kuno, ia lahir dikota Elea pada tahun (540 SM), salah satu kota perantauan yunani di Italia bagian selatan. Kebesarannya sama dengan kebesaran Heraclitos. Dialah yang pertama kali memikirkan tentang hakikat Ada (being). Parmenides kagum dengan adanya misteri segala realitas yang ada, disitu dia menemukan berbagai keanekaragaman kenyataan dan ditemukan pula adanya hal yang tetap dan berlaku secara umum. Sesuatu yang tetap dan berlaku secara umum itu tidak dapat ditangkap melalui indra, akan tetapi hanya bisa ditangkap melalui akal atau pikiran, jadi untuk memunculkan realitas tersebut hanya dengan berpikir. Sebagai contoh “yang ada (being) itu ada, yang ada tidak akan hilang menjadi tidak ada, dan yang tidak ada tidak mungkin muncul menjadi ada, yang tidak ada adalah tidak ada, sehingga tidak dapat dipikirkan. Yang dapat dipikirkan hanyalah yang ada saja sedang yang tidak ada tidak dapat dipikirkan (Muzairi, 2009 : 52).
Zeno (490-430 SM)
Zeno lahir di Alea, dan murid dari Permenides. Sebagai murid dari Permenides ia dengan gigihnya mempertahankan ajaran gurunya dengan cara memberikan argumentasi secara baik sehingga di kemudian hari ia di anggap sebagai peletak dasar dialektika.
Menurut Aristoteles, Zeno lah yang menemukan dialektika, yaitu suatu argumentasi yang bertitik tolak dari suatu pengandaian atau hipotesa dan dari hipotesa tersebut ditarik suatu kesimpulan. Dalam melawan penentang-penentangnya kesimpulan yang diajukan oleh Zeno dari hipotesa yang diberikan adalah suatu kesimpulan yang mustahil, sehingga terbukti bahwa hipotesa itu salah (Muzairi, 2009 : 53).
Sebagai contoh dalam mengemukakan hipotesa terhadap melawan gerak adalah : anak panah yang dilepaskan dari busurnya sebagai hal yang tidak bergerak, karena pada setiap saat anak panah tersebut berhenti di suatu tempat tertentu. Kemudian dari tempat tersebut bergerak ke suatu tempat pemberhentian yang lain dan seterusnya… Memang dikatakan anak panah tersebut melesat hingga sampai pada yang dituju, artinya perjalanan anak panah tersebut sebenarnya merupakan kumpulan pemberhentian-pemberhentian anak panah.
Argumentasi Zeno ini selama 20 abad lebih tidak dapat terpecahkan orang secara logis. Baru dapat dipecahkan setelah para ahli matematika membuat pengertian limit dari seri tak terhingga (Muzairi, 2009 : 54).
Empedocles (490-435 SM)
Empedocles lahir diakragas dipulau Sisilia pada awal abad ke-5, ia termasuk golongan bangsawan. Banyak legenda diceritakan mengenai hidupnya, seperti halnya juga dengan Phytagoras, sehingga sering kali kita tidak mampu menetukan kebenaran historisnya. Yang pasti ialah bahwa dia seorang yang serba-ragam peranannya yaitu filsuf, dokter penyair, ahli pidato politikus, tetapi juga seorang yang dipercaya mempunyai kuasa ajaib.
Empedokles mempunyai dua karya dalam bentuk puisi, dengan meniru gaya bahasa Parmenides. Dimana syair yang pertama berjudul Perihal Alam dan yang kedua bernama Penyucian-Penyucian. Dalam ajarannya Empidokles setuju dengan Parmenides bahwa dalam alam semesta tidak ada sesuatu yang dilahirkan sebagai sesuatu yang baru dan tidak ada sesutu yang binasa sehingga tidak ada lagi. Ia juga tidak menerima adanya ruang kosong. Itulah sebabnya ia mengatakan bahwa realitas seluruhnya tersusun dari empat unsur; yaitu api, udara, tanah dan air (Bertens, 1975 : 54).



Anaxagoras (428-500 SM)
Anaxagoras dilahirkan dikota Klazomenae di Asia Timur, ia hidup dari tahun (428-500 SM). Pada waktu mudanya ia pergi ke Athena, ia sebagai filosof pertama yang datang ke sana. Pada saat itu Athena sedang menempuh zaman keemasan, yaitu dalam hal perniagaan, seni, dan literatur. Dalam keterangan ajrannya bagi Anaxagoras, unsur yang asal itu tidak empat, seperti yang dikemukakan oleh Empedokles, melainkan banyak dan itu tak terhitung jumlahnya. Barang yang asal tidak bisa berubah menjadi barang yang baru, keadannya tetap, oleh karena unsur yang asal itu mesti ada kandungan yang banyak sesuai dengan zat barang, artinya tidak ternilai banyaknya. Jika segalanya bisa terjadi segalnya, maka ada segalanya itu dalam segalanya. Tiap-tiap barang mengandung zat dari segala barang. Dalam roti, dalam air sudah ada zat kulit, zat darah, zat daging, dan zat tulang. Jika tidak begitu, roti yang dimakan dan air yang diminum itu tidak bisa memperbaharui kulit kita, tidak bisa menjadi daging, tulang dan darah.
Tentang yang hidup didunia ini Anaxagoras berkata bahwa tanaman-tanaman ada juga jiwanya, artinya mempunyai perasaan, tahu gembira dan duka cita. ia pun mempunyai pikiran dan pendapat. Tumbuh-tumbuhan terjadi bermula karena tanah yang basah itu menerima benih yang terkandung dalam udara, dan binatang terjadi karena yang basah, di bumi menerima bibit dari langit, atas pengaruh yang panas.
Tentang panca indra Anaxagoras berkata, bahwa sesuatu barang yang kita ketahui bukan karena adanya barang yang serupa, melainkan karena ada yang sebaliknya. Kita ketahui yang panas karena yang dingin, dan sebaliknya kita ketahui yang dingin karena panas. Makna yang sama panas dengan kita, tidak terasa oleh kita. Sebab itu tidak berpengaruh atas kita. Panca indra kita teralalu lemah untu memahami atau mengetahui Kebenaran. Ia tak sanggup melihat sesuatunya sampai kedalam segala bagian-bagiannya. Hanya pikiran yang dapat memandang begitu jauh sehingga semuannya itu diketahui oleh akal yang menyusun dunia ini. Dan kesenangan hati yang sebesar-besarnya ialah berfikir tentang langit dan alam semesta.
Demikian Anaxagoras menggambarkan kejadia dan kedudukan alam, dilihat dari jurusan masanya, keterangannya adalah suatu pendapat ilmu yang tak ternilai harganya, ia melepaskan pikiran manusia dari pada ikatan pantas kira-kira. Apa yang dikatannya, dapat diterima dengan akal (Hatta, 1980 : 38).
Democritos (370-460 SM)
Democritos adalah salah satu seorang filsafat Yunani yang lahir di kota Abdera daerah pesisir Tharake di Yunani Utara, pada tahun (370-460 SM). Ia juga salah satu orang kaya raya pada masanya. Sehingga ia bisa berkeliling dunia dari mulai mesir hingga ke daerah Asia Timur lainnya. Dalam hal karya-karyanya ia telah mewarisis sekitar sebanyak 70 karangan tentang bermacam-macam masalah, seperti kosmologi, matematika, astronomi, logika, etika, teknik, musik, puisi dan lain-lain. Sehingga ia di pandang sebagai seorang sarjana yang menguasai banyak bidang.
Pemikirannya bahwa realitas bukanlah satu, tetapi terdiri dari banyak unsur dan jumlahnya tak terhingga. Unsur-unsur tersbut merupakan bagian materi yang sangat kecil, sehingga indera kita tidak mampu mengamatinya dan tidak dapat di bagi lagi. Unsur-unsur tersebut dikatakan sebagai atom yang berasal dari satu dari yang lain karena tiga hal, yaitu bentuknya, urutannya, dan posisinya. Atom-atom ini tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan, tidak berubah dan tidak berkuaitas. Menurut pendapatnya, atom-atom itu selalu bergerak, yang berarti harus ada ruang yang kosong. Karena satu atom hanya dapat bergerak dan menduduki satu tempat saja. Sehingga Democritos berpendapat bahwa realitas itu ada dua yaitu : atom itu sendiri yang penuh dan ruang sebagai tempat bergerak dari atom sendiri (Muzairi, 2009 : 58).



BAB IV
FILSAFAT YUNANI KLASIK
Socrates (470-399 SM)
Riwayat Hidup
Sokrates dijatuhi hukuman mati pada tahun 399 M. Kita tahu bahwa saat itu usianya 70 tahun. Itu berarti bahwa ia lahir pada tahun 470 atau sekitarnya, konon nama bapanya Sophroniskos adalah seorang pembuat patung (pemahat). Ibunya, Phainarete adalah bidan. Pada permulaannya Sokrates mau menuruti jejak bapaknya menjadi tukang pembuat patung. Tetapi akhirnya ia berganti haluan, dari membentuk batu jadi patung ia membentuk watak manusia (Hatta, 1980 : 73). Ada kesaksian pula bahwa Sokrates adalah murid Arkhelaos, filosof yang mengganti Anaxagores di Athena (Butar, 2011 : http://ebookbrowse.com/makalah-filsafat-yunani-kuno-klasik-pdf-d321473462). Kita mendengar bahwa ia juga membaca buku Anaxagores, karena tertarik oleh ajarannya mengenai Nus. Tetapi ia sangat kecewa atas isi ajaran itu. Pada usia masih muda ia berbalik dari filsafat alam dan mulai mencari jalannya sendiri (Bertens, 1975 : 81).
Karena Sokrates masuk tentara Athena sebagai hoplites, dapat disimpulkan bahwa mula-mula ia tidak berkekurangan, sebab di Athena hanya pemilik – pemilik tanah diizinkan dalam pasukan itu. Tetapi lama-kelamaan ia menjadi miskin, karena ia hanya mengutamakan keaktifannya sebagai filosof. Pada usia lebih lanjut ia menikah dengan Xantippe. Pandangan populer yang melukiskan wanita ini dengan cirri-ciri tiranik tidak mempunyai dasar historis. Ia dikaruniai tiga anak laki-laki, dua diantaranya mereka masih kecil pada waktu kematiannya (Anonym, 2011 : www.google.com//filsafah).
Bertentangan dengan pasca sofis, Sokrates tidak meninggalkan kota asalnya kecuali tiga kali ketika ia memenuhi kewajiban sebagai warga negara di medan perang. Dalam pertempuran ia menonjol karena keberaniannya. Satu kali ia menyelamatkan hidup sebenarnya, Alkibiades. Sedapat mungkin ia tidak campur tangan dalam politik. Tetapi apabila beberapa kali ia menunaikan tugas negara, ia juga memperlihatkan keberanian yang menonjol. Pada tahun 406 – 405 SM Sokrates adalah anggota panitia pengadilan yang mempersiapkan perkara terhadap beberapa jendral dan pada kesempatan ini ia memprotes dengan sangat prosedur yang tidak legal. Dua tahun kemudian, pada waktu pemerintahan “30 Tyrannoi” (404 – 403 SM), ia menolak mengambil bagian dalam sekongkol yang bertujuan membunuh seorang yang tak bersalah, namanya Leon, dengan maksud supaya barang miliknya dapat disita. Karenanya Sokrates pasti akan dibunuh sendiri, seandainya regim itu tidak lekas jatuh. (Bertens, 1975 : 82).
Sokrates adalah tokoh filosof tertua diantara ketiganya dan merupakan tokoh marginal. Semasa hidupnya Sokrates terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur dan adil.
Ajaran Sokrates
Metode
Sokrates menolak subjektivisme dan relatifisme dari kaum sofis yang menyebabkan timbulnya skeptisisme bagi Sokrates, kebenaran objektif yang hendak digapai bukanlah semata-mata untuk membangun suatu ilmu pengetahuan teoritis yang abstrak, tetapi justru untuk meraih kebajikan, karena menurut Sokrates filsafat adalah upaya untuk mencapai kebajikan. Kebajikan itu harus tampak lewat tingkah laku manusia yang pantas, yang baik, dan yang terpuji.
Untuk menggapai kebenaran objektif itu, Sokrates menggunakan suatu metode yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang amat erat digenggamnya (Rapar, 1996 : 100). Menurut Sokrates, metode yang dijalankan olehnya bukanlah penyelidikan atas fakta- fakta melainkan analisis atas pendapat-pendapat atau pertanyaan-pertanyaan yang diucapkan oleh orang atau oleh negarawan. Ia selalu bertanya tentang apa yang diucapkan oleh mereka atau oleh teman bicaranya itu. Jika mereka atau para negarawan bicara tentang kebaikan dan keadilan, kemudian ia bertanya apa yang dimaksud adil dan baik itu? jika mereka bicara tentang keberanian, ia bertanya apa yang dimaksud dengan berani, pemberani, dan pengecut? dan seterusnya. Metodenya ini disebut dialektika, yakni bercakap-cakap atau berdialog (Abidin, 2011 : 100)
Etika
Filsafat Sokrates banyak membahas masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau kehormatan, melainkan kesehatan jiwa. Prasyarat utama dalam kehidupan manusia adalah jiwa yang sehat. Jiwa manusia harus sehat terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup yang lainnya dapat diraih (Abidin, 2011 : 100).
Pemikiran tentang politik
Dalam Apologia, Sokrates mengakui bahwa ia tidak merasa terpanggil untuk campur tangan dalam urusan-urusan politik, tetapi ia selalu setia pada kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara. Bila ia dihukum mati, ia tidak mau melarika diri, dengan alasan bahwa sampai saat terakhir ia akan taat pada Undang-Undang di Athena. Ia meneruskan prinsip-prinsip etikanya juga dalam bidang politik. Menurut Sokrates tugas negara ialah memajukan kebahagiaan para warga negara dan membuat jiwa mereka menjadi sebaik mungkin (Bertens, 1975 : 92).
Plato (427-347 SM)
Riwayat hidup
Plato adalah filosof Yunani pertama yang kita ketahui lebih banyak berdasarkan karya-karya nya yang utuh (Hadiwijono, 1980 : 38). Plato lahir pada tahun 428 dalam suatu keluarga terkemuka di Athena. Namanya bermula ialah Aristokles. Plato namanya kemudian diberikan oleh gurunya pada saat bermain senam. Ia memperoleh nama baru itu berhubung dengan bahunya yang lebar, sepadan dengan badannya yang tinggi dan tegap. raut mukanya, potongan tubuhnya serta parasnya yang elok bersesuaian benar dengan ciptaan Klasik tentang manusia yang cantik, bagus dan harmoni meliputi perawakannya. Dalam tubuh yang besar dan sehat itu bersarang pula pikiran yang dalam dan menembus. Pandangan matanya menunjukan seolah-olah ia mau mengisi dunia yang lahir ini dengan cita-citanya (Hatta, 1980 : 87). Ayahnya bernama Ariston dan ibunya Periktione. Sesudah Ariston meninggal, Periktione dinikahi pamannya yang bernama Pyrilampes. Rupanya Plato terutama dididik dalam rumah Pyrilampes, seorang politikus yang termasuk kalangan Perikles. Sejak masa mudanya ia bergaul dengan tokoh-tokoh yang memainkan peranan penting dalam politik Athena. Saudara ibunya, Kharmides, dan kemanakan ibunya, Kritias, termasuk partai Aristokrat dan mereka adalah anggota panitia “30 Tyrannoi” yang delapan bulan lamannya memerintah dengan kejam di kota Athena pada tahun 404-403. Mula-mula mereka berdua tergolong sahabat-sahabat Sokrates, tetapi kemudian mereka menempuh jalan yang menyimpang jauh dari cita-cita Sokrates. Boleh diandaikan bahwa Plato sendiri sudah mengenal Sokrates sejak ia masih anak-anak (Bertens, 1975 : 95), tepatnya sejak umur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Socrates. Pelajaran itulah yang memberi kepuasan baginya, pengaruh Socrates semakin hari semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Socrates yang setia. Sampai pada akhir hidupnya Socrates tetap menjadi pujaanya (Hatta, 1980 : 88).
Dalam surat VII Plato mengisahkan bahwa ia mencita-citakan suatu karier politik dan bahwa beberapa kenalan dari panitia “30 Tyrannoi” (pasti dimaksudkan Kritias dan Kharmides) mengajak dia supaya ia memasuki arena politik di bawah perlindungan mereka. Tetapi lebih dulu ia mau menunggu hasil politik mereka. Dan ia merasa terkejut, bila ia menyaksikan bahwa mereka mau mempergunakan Sokrates “sahabatnya yang lebih tua” untuk maksud jahat, yaitu menangkap dan menghukum seorang yang tak bersalah, supaya miliknya dapat disita. Tetapi situasi memburuk lagi, ketika demokrasi dipulihkan, karena seorang pemimpin demokrasi mengemukakan tuduhan terhadap Sokrates yang mengakibatkan kematiannya. Dalam surat yang sama Plato menceritakan pula bahwa pengalaman pahit ini sudah memadamkan ambisi politiknya karena perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan padanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu (Hatta, 1980 : 87). Keinsyafan timbul padanya bahwa semua ragam politik tidak beres dan ia mendapat keyakinan bahwa satu-satunya pemecahan ialah mempercayakan kuasa Negara kepada filosof-filosof yang sejati atau menjadikan penguasa-penguasa sebagai filosof yang sejati. Pikiran terakhir ini dapat dipandang sebagai pedoman yang menjuruskan seluruh keaktifan Plato dalam kehidupan selanjutnya.
Tak lama Sesudah Sokrates meninggal, Plato bersama dengan teman-teman yang lainnya pergi mengembara. Itulah permulaan ia mengembara dua belas tahun lamanya, dari tahun 399-387 SM. Mula-mula ia pergi ke negara tempat Euklidas mengajarkan filosofnya. Beberapa lama ia di sana, ada yang mengatakan bahwa ia di sana mengarang dialog. Dari negara ia pergi ke Kyrena, di mana ia memperdalam pengetahuannya tentang matematik pada seorang guru yang bernama Theodoros. Disana ia juga mengajarkan filosofi dan mengarang buku-buku (Hatta, 1980 : 89). Dalam Surat VII yang sudah disebut, Plato menceritakan lagi bahwa pada usia 40 tahun ia mengunjungi Italia dan Sisilia. Kita tidak mengetahui alasannya. Barangkali perjalanan ini diadakan dengan maksud berkenalan dengan mazhab Pythagorean yang pada waktu ini mulai aktif lagi di Italia Selatan di bawah pimpinan Arkhytas, Tyrannos dan filosof di Tarentum. Salah satu hasil perjalanan ini, yang disebut oleh Plato sendiri, ialah persahabatannya dengan seorang muda yang pintar dan cakap, Dion namanya, ipar Tyrannos Syrakusa Dionysios I. Apakah Plato juga mengunjungi Mesir dan Kyrene, sebagaimana diberitahukan oleh beberapa sumber, tidak dapat dipastikan (Bertens, 1975 : 96), Tidak lama sesudah kembali dari Italia, Plato mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama “Akademia”. Nama ini dipilih karena halamannya dekat dengan kuil yang didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Sekolah ini dirancangkannya sebagai pusat penyelidikan ilmiah. Dengan itu Plato hendak merealisasikan cita-citanya, yaitu memberikan pendidikan intensif dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat kepada orang-orang muda yang akan menjadi pemimpin-pemimpin politik nanti. Ia memegang pimpinan Akademia itu selama 40 tahun (Hadiwijono, 1980 : 38).
Plato tidak membatasi perhatiannya pada persoalan-persoalan etis saja, seperti dilakukan oleh Sokrates, melainkan ia mencurahkan minatnya kepada suatu lapangan luas sekali yang mencakup seluruh ilmu pengetahuan. Mata pelajaran yang terutama diindahkan ialah ilmu pasti. Menurut cerita tradisi, di atas pintu masuk Akademia terdapat tulisan: “Yang belum mempelajari matematika, janganlah masuk di sini”. Murid-murid Plato memberi sumbangan besar dalam memperkembangkan berbagai cabang ilmu pasti pada abad ke-4. Sarjana matematika dari luar datang mengunjungi Akademia, seperti misalnya Eudoxos dari Knidos. Di samping ilmu pasti, ilmu-ilmu lain diperhatikan pula. Speusippos (kemanakan Plato dan penggantinya sebagai pemimpin Akademia) dan juga Aristoteles akan mengumpulkan banyak bahan mengenai ilmu hayat.
Pengorganisasian Negara dan pembuatan Undang-Undang mendapat perhatian khusus sebagai pokok penyelidikan. Semua ilmu itu dan semua ilmu lain yang sudah dipraktekkan di negeri Yunani pada saat itu, dipelajari dalam Akademia di bawah nama “Filsafat” (Bertens, 1975 : 97).
Empat puluh tahun lamanya Plato mengepalai Akademia di Athena. Mengenai periode yang panjang ini tidak ada informasi lain dari pada berita tentang urusannya dengan politik di pulau Sisilia. Pada tahun 367 Dionysios I meninggal dan ia diganti sebagai Tyrannos oleh puteranya, Dionysios II, yang berumur kira-kira 30 tahun. Karena Dionysios II tidak mendapat pendidikan yang mempersiapkan dia untuk tugasnya sebagai penguasa, maka pamannya, Dion, mengajak dia mengisi kekurangan itu dan mempercayakan pendidikannya kepada Plato. Mula-mula Plato merasa ragu-ragu sedikit, tetapi akhirnya ia memutuskan menerima undangan itu, tentu karena kesempatan itu dianggap cocok untuk menerapkan gagasannya mengenai hubungan erat antara filsafat dan kepemimpinan politik. Ia berangkat ke Sisilia dan segera memulai kursus mengenai matematika dan ilmu-ilmu lain. Tetapi sesudah beberapa bulan timbullah kesulitan-kesulitan. Watak Dionysios terlalu lemah untuk menunaikan studi sebegitu berat pada usia yang tidak muda lagi dan ia merasa iri hati kepada Dion, karena pengaruhnya atas politik Negara bertambah besar. Dion dibuang dari Sisilia dan Plato kembali ke Athena, biarpun hubungan Dionysios dengan Plato tidak terputus begitu saja. Beberapa tahun kemudian, sekali lagi Plato mengadakan perjalanan ke Sisilia dengan maksud memperdamaikan Dionysios dengan Dion dan hampir satu tahun lamanya (361-360 SM) ia tinggal di situ. Tetapi juga usaha ini akhirnya gagal saja. Rupanya Plato mengalami ancaman-ancaman yang membahayakan hidupnya dan dengan perantaraan Arkhytas dari Tarentum ia diizinkan pulang kembali ke Athena.
Sesudah itu Plato tidak lagi campur tangan dalam politik Sisilia, tetapi dari Athena ia mengikuti peristiwa-peristiwa yang berlangsung di Syrakusa. Pada tahun 357 M Dion merebut Syrakusa dengan kekerasan dan memegang kekuasaan di sana. Plato mengirim suatu surat pendek (Surat IV) untuk mengucapkan selamat dan memberi nasihat-nasihat berhubungan dengan sifat Dion yang kurang fleksibel. Beberapa tahun sesudahnya Dion dibunuh oleh seorang bawahan. Plato mengarang dua surat yang penting sekali (Surat VII dan VIII) kepada pengikut-pengikut Dion dengan maksud membela politik Dion dan memperdamaikan partai-partai di Sisilia. Tetapi sejarah Sisilia selanjutnya, yang tidak mungkin diuraikan di sini, menyatakan bahwa cita-citanya tidak diwujudkan. Tentang tahun-tahun terakhir hidupnya kita tidak mempunyai informasi yang dapat dipercaya.
Kita hanya tahu bahwa Plato mengepalai Akademia sampai kematiannya pada usia 80 tahun yaitu tahun 348/7 M, disana ia mengajarkan filosofinya dan mengarang tulisan-tulisan yang kesohor sepanjang masa (Hatta, 1980 : 90). Pada saat meninggalnya, karangan Plato yang bernama Nomoi belum selesai dan seorang murid mempersiapkan manuskrip definitif supaya dapat beredar. Oleh sebab itu Cicero mengatakan: “Plato scribens est mortuus” (Plato meninggal sedang menulis).
Menurut Hatta (1980 : 91) bahwa plato meninggal tatkala seorang muridnya merayakan perkawinannya, Plato yang sudah berumur 80 tahun datang juga pada malam pertemuan itu. Ia turut riang dan gembira. Setelah agak larut malam, ia mengundurkan diri kepada suatu sudut yang sepi dalam rumah itu. Disana ia tertidur dan tidur untuk selama-lamanya dengan tiada bangkit lagi. Esok harinya seluruh atena mengantarkannya ke kubur (Hatta. 1980 : 91).
Plato tidak pernah kawin dan tidak punya anak (Hatta, 1980 : 91). Perkembangan Akademia sesudah kematian Plato terbagi atas tiga periode : Akademia tua, Akademia menengah, dan Akademia muda. Disini kami hanya memberikan beberapa catatan tentang Akademia tua saja, salah satunya yaitu SPEUSIPPOS DARI ATHENA, kemenakan Plato, mengganti pamannya sebagai pemimpin Akademia (347-339 SM) (Bertens, 1975 : 126).
Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Inti dan dasar seluruh filsafat Plato ialah ajaran tentang ide-ide. Plato percaya bahwa ide yang tertangkap oleh pikiran lebih nyata daripada objek-objek material yang terlihat oleh mata. Keberadaan bunga, pohon, burung, manusia, dan sebagainya bisa berubah-ubah dan akan berakhir. Adapun ide tentang bunga, pohon, burung, manusia, dan sebagainya tidak akan berubah-ubah dan kekal adanya. Karena itu, hanya ide yang merupakan realitas yang sesungguhnya dan abadi (Rapar, 1996 : 103).
Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama : mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides). Mana yang benar antara pengetahuan lewat indera dengan pengetahuan yang lewat akal (Muzairi, 2009 : 65).
Sebagai penyelesaian persoalan yang dihadapi Plato tersebut di atas, ia menerangkan manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap, bermacam-macam dan berubah; dan dunia ide yang bersifat tetap, hanya satu macam dan tidak berubah. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide. Sedangkan dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu dunia realitas dan dunia inilah yang menjadi “model” dunia pengalaman. Dengan denikian dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas itu adalah dunia ide. Jadi, Plato dengan ajarannya tentang ide, berhasil menjembatani pertentangan pendapat antara Heracleitos dan Permenides (Muzairi, 2009 : 66).
Untuk menjelaskan hakikat ide tersebut Plato mengarang mitos penunggu gua yang sangat terkenal itu, yang dimuatnya di dalam dialog Politeia yang dikutipkan berikut ini (Tafsir, 2004 : 57) : Dia menganalogkan manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dengan para tahanan yang selama hidupnya terkurung dalam gua. Kepala mereka enggan menengok ke belakang (ke lubang gua) dan hanya terarah pada dinding gua belaka. Oleh sebab itu, mereka tidak dapat melihat sumber cahaya diluar gua. Mereka hanya melihat bayangan dirinya saja, yang sumber cahanya berasal dari lubang gua di belakang badan mereka (Abidin, 2011 : 101).
Melalui perumpamaan itu Plato hendak menyampaikan dua hal. Pertama, kebanyakan manusia terpaku pada kehidupan duniawi, yang cepat berubah dan fana itu. Seolah-olah kehidupan yang fana itu adalah kehidupan yang sejati. padahal kenyataan yang sesungguhnya adalah berupa dunia ide. Kedua, Plato mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan indrawi, yang sumbernya adalah pengamatan atau pengetahuan indra (Abidin, 2011 : 102).
Karya – karya Plato diantaranya:
Otentisitas
Diskusi mengenai otentisitas ketiga belas surat yang dianggap berasal dari Plato, tidak boleh diremehkan, karena surat-surat ini merupakan dokumen-dokumen utama yang kita miliki mengenai riwayat hidup Plato. Sekarang ini kebanyakan sejarawan menerima surat VI, VII dan VIII sebagai otentik. Dan justru surat-surat ini memuat informasi terbanyak mengenai Plato. Otentisita surat I secara umum ditolak dan surat XII sangat diragukan. Tidak ada keberatan menerima surat-surat lain sebagai otentik, tetapi sura–surat ini tidak begitu penting sebagai dokumen historis (Bertens, 1975 : 99).
Kronologi
Dialog-dialog Plato terbagi atas 3 periode, yaitu :
Apologia, Kriton, Eutyphron, Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias Minor, Menon, Gorias, Protagoras, Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion, (beberapa ahli menyangka bahwa salah satu dari dialog-dialog ini sudah ditulis sebelum kematian Socrates, tetapi kebanyakan berfikir bahwa dialog pertama ditulis tidak lama sesudah kematian Socrates).
Politeia, Phaidros, Parmenides, Theaitetos, (Parmenides dan Theaitetos ditulis tidak lama sebelum perjalanan kedua ke Sesilia, tahun 367).
Sophistes, Politikos, Philebos, Timaios, Kritias, Nomoi, (dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sesilia, ketika urusannya dengan kesulitan-kesulitan politik di Sesilia sudah selesai), (Bertens, 1975 : 100).
Sumbangan Pemikiran Filsafat Plato Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Sebagai puncak pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang negara, pemikirannya tentang negara ini sebagai upaya Plato untuk memperbaiki keadaan negara yang dirasakan buruk (Muzairi, 2009 : 67).
Dalam pandangan orang diwaktu itu kota adalah suatu badan yang menentukan. Karena kota itulah orang-seorang mendapat penghargaan atas dirinya. Kepentingan umum harus didahulukan dari kepentingan orang –seseorang. Kepentingan bersama yang diwakili oleh negara adalah kepentingan yang setinggi-tingginya. Kemerdekaan kota lebih tinggi tingkatnya dari kemerdekaan orang-seorang. Kalau perlu kemerdekaan orang – seseorang dibatasi untuk menyelamatkan kemerdekaan negara. Diantara kota-kota Grik kota Sparta-lah yang paling sosial sifatnya. Di situ terdapat hidup yang berdisiplin. Penduduknya makan bersama-sama. Anak laki – laki dan anak perempuan mendapat pendidikan yang sama. Perkawinan diatur oleh pemerintah. Anak-anak yang lumpuh dan bercacat dibunuh saja. Tugas masing-masing untuk kepentingan kota ditetapkan dengan peraturan. Sparta itulah yang diambil sebagai contoh oleh Plato untuk menggambarkan suatu negara yang ideal (Hatta, 1980 : 109).
Menurut Plato, didalam negara yang ideal terdapat 3 golongan, yaitu :
Golongan yang tertinggi (para penjaga, para filosof);
Golongan pembantu (para prajurit yang bertugas menjaga keamanan negara);
Golongan rakyat biasa (petani, pedagang, tukang yang bertugas untuk memikul ekonomi negara), (Muzairi, 2009 : 68).





Aristoteles (384 – 322 SM)
Riwayat Hidup
Aristoteles adalah teman dan murid Plato. Ia dilahirkan di Trasia (Balkan). Keluarganya adalah orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran. Ia banyak mempelajari filsafat, matematika, astronomi, retorika dan ilmu-ilmu lainnya (Bertens, 1975 : 127). Ia menguasai berbagai ilmu yang berkembang pada massanya. Pada saat berumur 18 tahun, ia dikirim ke Athena ke Academia Plato. Di kota itu ia belajar pada Plato. Kecenderungan berfikir saintifik Nampak dari pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan metode empiris. Maka dibandingakan dengan Plato yang pandangan filsafatnya Aristoteles orientasinya pada hal-hal yang kongkrit (empiris) (Bertens, 1975 :128).
Ia dikenal pemikirannya luas karena pernah menjadi tutor (guru) Alexander, seorang diplomat ulung dan jenderal terkenal. Di Assos ia mendirikan sekolah yang bernama Lyceum. Di sekolah itu banyak menghasilkan hasil penelitian yang tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip sains, tetapi juga politik, retorika dan lain sebagainya (Bertens, 1975 : 128). Posisi Aristoteles di Athena tidak aman, karena ia orang asing. Ia juga diisukan sebagai penyebar pengaruh yang bersifat Subversive dan dituduh Atheis. Kemudian akhirnya ia meninggalkan Athena dan pindah ke Chalcis dan meninggal di sana pada tahun 322 SM (Hadiwijono, 1980 : 45).
Ajaran dan Karya Kefilsafatan Aristoteles
Ada dan Keberadaan
Perbedaan yang paling mendasar antara filsafat Plato dan Aristoteles sesungguhnya terletak pada pandangan mereka tentang Ada dan Keberadaan. Hal itu jelas terlihat dalam pandangan mereka terhadap dunia ini. Bagi Plato, ada dua dunia yang terpisah berubah dan tidak abadi, oleh sebab itu tidak sempurna dan juga ide yang tak berubah, abadi, dan sempurna dimana kebijakan dan kebaikan merupakan ide tertinggi. Kebijakan dan kebaikan yang didambakan hanya akan terwujud nyata apabila kehidupan di dunia indrawi ini meneladani kehidupan di dunia ide yang sempurna.
Sebaliknya bagi Aristoteles, tidak ada dunia lain selain dunia indrawi yang didiami oleh manusia kini dan disini. Satu-satunya realitas, menurutnya ialah dunia indrawi. Oleh sebab itu, persoalan yang paling menarik perhatiannya adalah bagaimana merealisasikan segala ilmu pengetahuan, demikian juga etika, politik, teologia dengan dunia tempat kediaman manusia, dan bagaimana memahami dunia yang nyata dan satu-satunya itu, serta bagaimana menghidupi kehidupan yang seharusnya dihidupi dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda-beda.
Berangkat dari pemikiran dan pandangan itu, Aristoteles kemudian mengembangkan pemikiran filsafatnya menjadi tiga kelas, yaitu :
Filsafat spekulatif dan filsafat teoretis
Filsafat ini bersifat produktif. Termasuk kelas ini adalah pengetahuan yang berhubungan dengan fisika, metafisika, biopsikologi, teologia. Tujuan utama itu dari filsafat ini adalah pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri.
Filsafat praktika
Filsafat praktika ini memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Termasuk dalam kelas ini adalah etika dan politik. Sasaran terpenting bagi filsafat ini adalah membentuk sikap dan perilaku yang mendorong manusia untuk bertindak dalam pengetahuan itu.
Filsafat produktif
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang membimbing dan menuntun manusia menjadi produktif melalui suatu keterampilan khusus (Raharjo. 2000 : 94) Termasuk dalam kelas ini adalah kritika sastra, retorika, dan estetika. Adapun sasaran utama melalui filsafat ini adalah agar manusia mampu menghasilkan sesuatu, baik teknis maupun puitis dalam pengetahauan yang benar (Shadali, 2004 : 138).
Teologia (Keberadaan Tuhan)
Cara lain yang ditempuh manusia untuk mencari Tuhan adalah melalui filsafat. Begitu juga halnya dengan Aristoteles, yang menggunakan argument-argumen filosofis untuk mencari dan menetapkan keberadaan Tuhan. Argument yang digunakan Aristoteles dalam menyelami keberadaan Tuhan adalah argument Kosmologis (sebab musabab). Menurut Aristoteles, setiap benda yang ada dan dapat ditangkap oleh panca indra terdiri atas materi dan bentuk. Bentuk terdapat dalam benda-benda sendiri dan bentuklah yang membuat meteri mempunyai bangunan dan rupa. Bentuk bukan merupakan bayangan, tetapi merupakan hakikat dari sesuatu. Bentuk tidak dapat berdiri tanpa adanya materi. Materi dan bentuk selamanya bersatu. Materi tanpa bentuk adalah tidak mungkin. Materi dan bentuk hanya dapat dipisahkan dalam akal karena merupakan hakikat sesuatu, bentuk mesti bersifat kekal dan tidak berubah. Akan tetapi, dalam alam pancaindra terdapat perubahan. Perubahan menghendaki dasar (substratum-hamil). Atas dasar inilah, perubahan terjadi. Dasar inilah yang disebut materi oleh Aristoteles. Materi berubah tetapi bentuk kekal. Bentuklah yang membuat materi berubah dalam arti berubah untuk memperoleh bentuk. Dengan memperoleh bentuk itu, materi menjadi benda yang dimaksud. Sebelum mempunyai bentuk, materi mempunyai potensi (quwwah) untuk menjelma menjadi hakikat atau aktualitas karena bentuk. Oleh karena itu, materi disebut potensialitas dan bentuk aktualitas (Raharjo, 2000 : 95).
Antara bentuk dan materi terdapat hubungan gerak. Materi digerakkan oleh bentuk, sedangkan bentuk menggerakkan potensialitas untuk menjadi aktualitas. Hubungan gerak antara materi dan bentuk adalah kekal. Karena hubungan ini kekal mestilah sesuatu yang tidak bergerak. Gerak terjadi akibat perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan, yang menggerakkan digerakkan pula oleh suatu rentetan penggerak dan yang digerak. Rentetan ini tidak mempunyai kesudahan kalau di dalamnya tidak terdapat suatu penggerak yang tidak bergerak, dalam arti penggerak yang tidak berubah untuk mempunyai bentuk lain. Penggerak tidak bergerak itu wajib mempunyai wujud (Necessary Being) dan inilah yang disebut penggerak utama. Penggerak pertama yang tidak bergerak ini mempunyai sifat materi. Ia mesti mempunyai sifat bentuk tanpa materi. Materi adalah potensialitas. Oleh karena itu, materi akan berubah dan bergerak. Bentuk dalam penggerak pertama tentulah sempurna-sesempurnanya, hanya satu dan merupakan akal. Aktivitas akal ini hanya bisa terdiri atas pikiran karena penggerak ini sempurna-sesempurnanya dan tidak berhajat kepada yang lain, bahan pikirannya hanya diri sendiri. Akal serupa inilah akal suci (divine-Muqoddas). Akal inilah Tuhan. Tuhan dalam paham ini tidak mempunyai sifat pencipta alam (materi kekal). Hubungannya dengan alam raya hanya merupakan hubungan gerak dan Tuhan merupakan penggerak pertama dan menjadi tujuan dari segala-galanya (Raharjo, 2000 : 96).
Logika
Pada abad ke-18 Immanuel Kant dalam Raharjo (2000 : 96) mengatakan bahwa logika yang diciptakan oleh Aristoteles, sejak semula sudah begitu sempurna sehingga tidak mungkin ditambah sedikit pun. Menurut Kant, sesudah dua puluh abad lamanya sejak Aristoteles menciptakannya, terbukti bahwa logika tak dapat melangkah setapak pun.
Inti dari logika ialah silogisme. Sesungguhnya, silogismelah yang merupakan penemuan Aristoteles yang umum dan terbesar dalam logika. Silogisme adalah suatu bentuk dari cara memperoleh konklusi yang di tarik dari proposisi demi meraih kebenaran, bukan semata-mata untuk menyusun argumentasi dalam suatu perdebatan, melainkan juga sebagai metode dasar bagi pengembangan semua bidang ilmu pengetahuan (Raharjo, 2000 : 97).
Silogisme terdiri atas tiga proposisi dari ketiga proposisi itu, proposisi yang ketiga merupakan konklusi yang ditarik dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua. Proposisi ketiga disebut konklusi, sedangkan proposisi pertama dan kedua disebut premis. Tiap proposisi harus memiliki dua terma dan itu berarti setiap silogisme harus memiliki enam terma. Namun, karena setiap terma dalam satu silogisme selalu disebutkan dua kali; sesungguhnya dalam setiap silogisme hanya ada tiga terma. Subjek konklusi disebut terma minor dan predikat konklusi disebut terma mayor, sedangkan terma ada yang pada kedua premis disebut terma tengah (terminus medius),

Contoh silogisme:
Manusia tidak kekal.
Abdullah adalah manusia.
Jadi, Abdullah tidak kekal.
Ketika kalimat dalam silogisme tersebut disebut proposisi, dua kalimat pertama, yaitu manusia tidak kekal dan Abdullah adalah manusia disebut premis. Kalimat yang ketiga, yaitu Abdullah tidak kekal disebut konklusi. Dalam silogisme itu ada tiga terma yaitu: manusia, tidak kekal, dan Abdullah. Terma manusia yang ada pada premis pertama dan premis kedua disebut terma tengah. Terma tidak kekal yang digunakan sebagai predikat konklusi dan juga sebagai predikat premis pertama, disebut Terma Mayor. Abdullah yang digunakan sebagai subjek konklusi dan juga sebagai subjek premis kedua, disebut Terma Minor.
Menurut Aristoteles, ada dua cara dalam menarik kesimpulan untuk memperoleh pengetahuan baru. Pertama, disebut apodiktik atau deduksi, yaitu cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tak diragukan dan bertolak dari yang bersifat universal ke khusus. Silogisme sebagai suatu prosedur penalaran untuk memperoleh konklusi yang benar berdasarkan premis yang benar adalah suatu bentuk formal dari apodiktik atau deduksi. Kedua, adalah epagogi atau induksi, yaitu cara menarik satu konklusi yang bersifat umum dari hal-hal yang khusus. Sebagai contoh: Ali sedang membeli jeruk manis dari seorang penjual buah yang lewat di depan rumahnya. Si penjual memperkenankan Ali untuk mencicipi jeruk itu sebelum di beli. Ali memperhatikan jeruk itu, ternyata jeruk itu keras dan kulitnya berwarna sangat hijau. Kemudian ia memilih lagi sebuah jeruk dan mencicipinya, juga terasa asam. Ketika diperhatikan, ternyata jeruk yang kedua pun sama dengan jeruk pertama, yaitu keras dan warnanya sangat hijau. Si penjual menawarkan jeruk ke tiga, namun Ali menolaknya karena ia melihat jeruk itu keras dan sangat hijau, sehingga ia menarik kesimpulan bahwa jeruk itu pasti sangat asam, sama jeruk pertama. Proses yang di tempuh Ali itu adalah proses induksi. Proses induksi yang ditempuh Ali bila dirumuskan secara formal menjadi sebagai berikut :
Jeruk pertama keras dan sangat hijau, rasanya asam.
Jeruk kedua keras dan sangat hijau, rasanya asam.
Jadi, semua jeruk yang keras dan sangat hijau, rasanya asam.
Menurut Aristoteles, deduksi adalah cara terbaik untuk menarik suatu kesimpulan untuk memperoleh suatu pengetahuan baru. Oleh sebab itu, di dalam logika Aristoteles tidak begitu member tempat bagi induksi (Raharjo, 2000 : 98).
Salah satu karya Aristoteles yang paling menonjol adalah penelitian ilmiah. Ketika ia merantau ke sekitar pantai Asia kecil, dengan menggunakan fasilitas yang disediakan Hermeias, ia mulai melakukan penelitian mengenai Zoology, Biologi, dan Botani. Penelitian itu dilanjutkan ke daerah lain sesudah ia mendirikan Lyceum di Athena dengan menggunakan fasilitas yang disediakan oleh Alexander yang Agung. Aristoteles juga mengadakan penelitian terhadap konstitusi dan system politik. Ia mampu meletakkan dasar bagi satu cabang ilmu politik yang disebut Perbandingan Pemerintahan dan Politik (Raharjo, 2000 : 92).
Mengenai karya tulis Aristoteles, menurut para cendikiawan di zaman purba, jumlahnya mencapai lebih dari empat ratus buku yang dianggap buah jerih payahnya, namun sebagian besar telah hilang. Dari sekitar lima buah buku yang masih ada, hanya separuhnya yang benar-benar hasil karya Aristoteles. Pembagian hasil karya tulis Aristoteles bermacam-macam. Menurut Raharjo (2000 : 92) membagi karya Aristoteles dalam tiga bidang utama, yaitu :
Karya Tulis yang bersifat popular
Karya tulis itu ditulis secara popular karena ditujukan bukan hanya untuk para mahasiswanya saja, tetapi untuk umum, yaitu bagi semua orang yang berminat (Raharjo. 2000 : 92). Dari semua karya tulis Aristoteles yang bersifat popular itu, tidak satupun yang masih tersimpan, kendati saat karya tersebut sangat terkenal yang berjudul Protrepticus yang isinya merupakan nasihat dan ajakan untuk belajar filsafat.

Kumpulan Data Ilmiah
Karya tulis Aristoteles yang merupakan kumpulan data ilmiah adalah hasil penelitian, baik yang dilakukan oleh Aristoteles maupun dilakukan oleh para mahasiswanya dan orang lain yang dikerahkan oleh Alexander Agung. Hamper semua karya tulis di bidang itu hilang, kecuali Hi Storiu Animulium (pengetahuan tentang binatang).
Bahan Kuliah
Karya tulis inilah yang masih terpelihara hingga kini, namun otensitasnya masih mengundang perdebatan yang sangat ramai dikalangan para ahli. Tidak dapat dipastikan bahwa karya tulis itu adalah catatan Aristoteles yang dibuatnya sebagai bahan kuliah atau barangkali catatan para mahasiswanya yang mereka buat ketika Aristoteles memberikan kuliah, atau mungkin juga ringkasan yang dibuat pengikutnya sesudah Aristoteles meninggal dunia (Raharjo, 2000 : 93)
Sumbangan Pemikiran Filsafat Aristoteles Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Aristoteles telah melahirkan banyak teori selama 62 tahun hidupnya, bahkan beberapa teori atau pemikirannya masih diaplikasikan hingga saat ini. Tercatat kurang lebih seratus tujuh puluh buku hasil tulisan Aristoteles, dimana dalam buku-buku tersebut terkandung teori-teori buah pemikiran Aristoteles dalam berbagai disiplin ilmu. Berikut beberapa pemikiran dari Aristoteles :
Ilmu alam
Dalam ilmu alam, Aristoteles memberikan sumbangan beberapa teori. Berikut beberapa kontribusi Aristoteles dalam ilmu alam:
Menyampaikan teori yang bertentangan dengan Plato. Ia menyampaikan bahwa semua benda bergerak menuju satu tujuan dan benda itu harus ada penggeraknya, yaitu Theos (Tuhan).
Aristoteles adalah orang yang pertama kali membuktikan bahwa bumi itu bulat. Ia membuktikan hal tersebut dengan cara melihat gerhana, (Achmadi, 1995 : 18).

Ilmu politik
Dalam ilmu politik, Aristoteles menyampaikan teorinya bahwa sistem pemerintahan yang ideal merupakan gabungan dari sistem pemerintahan demokrasi dan monarki, (Achmadi, 1995 : 18).
Bahasa
Dalam bidang bahasa Aristoteles menemukan Sepuluh jenis kata yang dikenal orang saat ini seperti. Kata kerja, kata benda, kata sifat dan sebagainya merupakan pembagian kata hasil pemikirannya.
Selain itu, terdapat istilah-istilah ciptaan Aristoteles yang masih digunakan hingga saat ini, diantaranya “Informasi, relasi, energi, kuantitas, kualitas, individu, substansi, materi, esensi, dll”, (Achmadi, 1995 : 20).
Seni
Aristoteles menuangkan pemikirannya mengenai seni dengan menulis sebuah buku berjudul Poetika. Ia mengemukakan bahwa pengetahuan dibangun dari pengamatan dan penglihatan. Dalam wikipedia disebutkan bahwa menurut Aristoteles keindahan menyangkut keseimbangan ukuran yakni ukuran material. Menurut Aristoteles sebuah karya seni adalah sebuah perwujudan artistik yang merupakan hasil chatarsis disertai dengan estetika. Chatarsis adalah pengungkapan kumpulan perasaan yang dicurahkan ke luar. Kumpulan perasaan itu disertai dorongan normatif. Dorongan normatif yang dimaksud adalah dorongan yang akhirnya memberi wujud khusus pada perasaan tersebut. Wujud itu ditiru dari apa yang ada di dalam kenyataan (Achmadi, 1995 : 20).


BAB V
FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN

Sejarah Filsafat Abad Pertengahan
Istilah filsafat Abad Pertengahan sendiri (yang baru muncul pada abad ke-17) sesungguhnya hanya berfungsi membantu kita untuk memahami zaman ini sebagai zaman peralihan (masa transisi) atau zaman tengah antara dua zaman penting sesudah dan sebelumnya, yakni Zaman Kuno (Yunani dan Romawi) dan Zaman Modern yang diawali dengan masa Renaissans pada abad ke-17. Sebelum masa filsafat Abad Pertengahan, filsafat Yunanilah yang menjadi pelopor adanya ilmu filsafat. Syadali dan Mudzakir (2004: 79) mengatakan bahwa filsafat Yunani pernah mencapai kejayaan dan hasil yang gemilang dengan melahirkan peradaban Yunani. Menurut perkembangan sejarah, pemikiran manusia, peradaban Yunani merupakan titik tolak peradaban manusia di dunia. Peradaban Yunani terus menyebar ke berbagai bangsa, diantaranya adalah bangsa Romawi. Tujuan filosofi mereka adalah soal alam besar. Dari mana terjadinya alam, itulah yang menjadi sentral persoalan bagi mereka.
Surajiyo (2005: 156) menjelaskan, setelah Nabi Isa a.s. membawa ajaran agama Kristen pada permulaan abad Masehi, filsafat mulai terpengaruhi ajaran agama. Periode Abad Pertengahan mempunyai perbedaan yang menyolok dengan abad sebelumnya. Jadi, dari sinilah muncul filsafat Abad Pertengahan yaitu filsafat sebagai abdi agama atau filsafat diarahkan pada masalah ketuhanan. Suatu karya filsafat dinilai benar sejauh tidak menyimpang dari ajaran agama Kristen. Disinilah yang menjadi persoalannya, karena agama Kristen itu mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Bahkan Maksum (2010: 99) menyebutkan bahwa, kajian terhadap agama (teologi) yang tidak berdasarkan ketentuan Gereja akan mendapatkan larangan ketat. Yang berhak mengadakan penyelidikan terhadap agama hanyalah pihak Gereja. Kendati demikian, ada juga yang melanggar peraturan tersebut dan mereka dianggap orang murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi).

Ciri-Ciri Filsafat Abad Pertengahan
Menurut Syadali dan Mudzakir (2004: 80), filsafat abad pertengahan dimulai sejak tahun 476-1492 M. Sedangkan menurut Hanafi (1964: 78) usia filsafat Abad Pertengahan yaitu 337-1500 M. Perbedaan tahun abad filsafat pertengahan juga ditemui dalam Mustansyir (2007: 12) yang menyebutkan filsafat Abad Pertengahan dimulai dari abad 2-14 M. Akan tetapi dilihat dari banyak rujukan, mayoritas mengatakan filsafat Abad Petengahan muncul sejak tahun 476-1492 M.
Syadali dan Mudzakir (2004: 80) menyebutkan ciri-ciri filsafat Abad Pertengahan adalah:
Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja
Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles
Berfilsafat dengan pertolongan Augustinus dan tokoh lainnya.
Yang tidak kalah menonjol dari ciri filsafat Abad Pertengahan yang telah dikemukakan di atas adalah filsafat Abad Pertengahan yang terbelenggu oleh ajaran agama Kristen yang membatasi ilmu pengetahuan harus sesuai dengan ajaran agama tersebut. Menurut Surajiyo (2005: 156): Perkembangan ilmu pengetahuan terhambat karena upaya penuh menggiring manusia ke dalam kehidupan/sistem yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja yang membabi buta. Bahkan Muzairi menyebutkan bahwa filsafat Abad Pertengahan disebut juga ”abad gelap”. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran yang sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan yunani kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal. Mereka belum mengenal adanya wahyu.
Masih menurut Surajiyo (2005: 156) mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani ada dua:
Golongan yang menolak sama sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang kafir karena tidak mengakui wahyu.
Menerima filsafat Yunani yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan maka kebijaksanaan manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, akal dapat dibantu oleh wahyu.
Periode-Periode Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan dibagi dalam dua periode, yaitu periode Partisik dan Skolastik.
Zaman Partisik
Makna Partisik
Menurut Hadiwijoyo (1980: 70) istilah Partisik dari kata Latin Patter atau Bapak, yang artinya para pemimpin Gereja. Para pemimpin gereja ini dipilih dari golongan atas atau dari golongan ahli fikir. Bapa yang dimaksud adalah bapa gereja.
Makna itu pula diungkapkan e-learning Guna Darma (2012: http://elearning.gunadama.ac.id.), Patristik berasal dari kata Patres (bentuk jamak dari Pater) yang berarti bapak-bapak. Yang dimaksudkan adalah para pujangga Gereja dan tokoh-tokoh Gereja yang sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan. Mereka khususnya mencurahkan perhatian pada pengembangan teologi, tetapi dalam kegiatan tersebut mereka tak dapat menghindarkan diri dari wilayah kefilsafatan.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, Patrisik dapat diartikan tokoh-tokoh Gereja yang mempunyai peranan besar dalam pemikiran kekristenan yang mewarnai dengan filsafat agamanya.
Tokoh Filosof Zaman Partisik
Tokoh-tokoh filosof Partisik antara lain Justinus Martir, Irenaeus, Klemens, Origenes, Gregorius Nissa, Tertullianus, Diosios Arepagos, Aurelius Augustinus, sebagai berikut :
Justinus Martir
Justinus Martir nama aslinya adalah Justinus, kemudian nama Martir diambil dari istilah “orang-orang yang rela mati hanya untuk kepercayaannya.” Menurut pendapatnya, filsafat yang digabung dengan idea-idea keagamaan akan menguntungkan, esensi dari pengetahuan adalah pemahaman tentang Tuhan. Semakin banyak memikirkan kesempurnaan Tuhan, semakin bertambah kemampuan inteleknya. (Syadali dan Muzakir, 2004: 154 ).
Menurut Justinus Martir, agama Kristen bukan agama baru, karena Kristen lebih tua dari filsafat Yunani. Selanjutnya dikatakan, bahwa filsafat Yunani itu mengambil dari kitab Yahudi. Padangan ini didasarkan bahwa Kristus adalah logos. Dalam mengembangkan aspek logosnya ini orang-orang Yunani (Socrates, Plato dan lain-lain) kurang memahami apa yang terkandung dan memancar dari logosnya, yaitu pencerahan. Sehingga orang-orang Yunani dapat dikatakan menyimpang dari ajaran murni karena orang-orang Yunani terpengaruh oleh demon atau setan. Demon atau setan tersebut dapat mengubah pengetahuan yang benar kemudian di palsukan. Jadi, agama Kristen lebih bermutu dibanding filsafat Yunani. (Muzairi, 2009: 88).
Klemens (150-215 M)
Klemens lahir pada tahun 150 -215 M di Alexander. Menurut pendapatnya, bahwa memahami Tuhan bukanlah dengan keyakinan irasional, melainkan melalui disiplin pemikiran rasional. Filsafat merupakan persiapan yang amat baik dalam rangka mengenal Tuhan (Syadali dan Mudzakir, 2004: 155).
Muzairi (2009: 88-89) menuliskan pokok-pokok fikiran Klemens adalah sebagai berikut:
Memberikan batasan-batasan terhadap ajaran Kristen untuk mempertahankan diri dari otoritas filsafat Yunani;
Memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan menggunakan filsafat Yunani;
Bagi orang Kristen filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen dan memikirkan iman Kristen secara mendalam.
Jadi, dapat diketahui bahwa Klemens termasuk tokoh yang membela Kristen tetapi tidak juga menolak dan membenci filsafat Yunani. Justru Klemens menggunakan filsafat Yunani dengan memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen. Contohnya adalah, menurut Hadiwijono (1980: 72-73) dalam filsafat menurut Klemens, iman diperlukan bagi orang Kristen. Akan tetapi menurut Klemens disamping iman masih ada hal yang lebih tinggi yaitu pengetahuan (Gnosis). Pengetahuan atau Gnosis ini bukan meniadakan iman tapi menerangi iman. Oleh karena itu iman harus berkembang menjadi pengetahuan.
Mengenai point yang kedua, Klemens memerangi ajaran yang anti terhadap Kristen dengan menggunakan filsafat Yunani. Contoh ajaran yang ditentangnya tersebut yaitu Gnostik. Dalam Hadiwijono (1980: 72) Gnostik yaitu suatu usaha untuk mendamaikan agama Kristen dengan filsafat Yunani yaitu dengan meleburkan kepercayaan agama Kristen dengan filsafat Yunani, sehingga menjadi satu sistem. Dapat dikatakan, Klemens menentang Gnostik karena menurut Gnostik seseorang yang telah memiliki gnosis (pengetahuan) harus mematikan hawa nafsunya dan kembali kepada Allah dalam suatu kasih yang dibersihkan dari pada segala hawa nafsu. Akan tetapi, gnosis tidak begitu menurut Klemens. Tanpa iman, tiada gnosis. Sebaliknya menurut Gnostik, gnosis meniadakan iman
Origenes (185-254 M)
Origenes lahir pada tahun 185 M dan meninggal tahun 254 M. Tuhan menurut Orignes adalah transenden, transenden ialah suatu konsep yang menjelaskan bahwa Tuhan berada di luar alam, tidak dapat dijangkau oleh akal rasional, lawannya ialah konsep imanen yang berarti Tuhan itu di dalam alam, karena Tuhan transenden itulah maka menurut Origenes kita tidak mungkin mampu mengetahui esensi Tuhan, kita dapat mengkaji Tuhan melalui karya-karya-Nya, (Syadali dan Mudzakir, 2004: 156).
Tertullianus (160-222 M)
Tertullianus (160-222 M), dilahirkan bukan dari keluarga Kristen, tetapi setelah melakukan pertobatan ia gigih membela Kristen dengan fanatik. Ia menolak kehadiran filsafat Yunani karena filsafat dianggap sesuatu yang tidak perlu. Baginya berpendapat, bahwa wahyu Tuhan sudahlah cukup, dan tidak ada hubungan teologi dengan filsafat. (Muzairi, 2009: 89).
Tertulianus mengatakan bahwa filsafat menjadi musuh agama. Oleh karena itu ia menyerang filsafat dengan pedasnya. (Hanafi, 1964: 88).
Aurelius Augustinus (354-430 M)
Muzairi (2009: 90-91) mengatakan, Aurelius Augustinus (354-430 M), sejak mudanya ia telah mempelajari bermacam-macam aliran filsafat, antara lain Platonisme dan Skeplitisisme (meragukan adanya kebenaran). Ia telah diakui keberhasilan dalam membentuk filsafat Kristen yang berpengaruh besar dalam filsafat abad pertengahan sehingga ia di juluki sebagai guru skolastik yang sejati. Ia seorang tokoh besar di bidang teologi dan filsafat.
Setelah ia telah mempelajari aliran Skeplitisme, ia kemudian tidak menyetujui atau menyukainya, karena di dalamnya terdapat pertentangan batiniah. Orang dapat meragukan segalanya, akan tetapi orang tidak dapat meragukan bahwa ia ragu-ragu. Seseorang yang ragu-ragu sebenarnya ia berfikir dan seseorang yang berfikir sesungguhnya ia berada eksis. (Hadiwijono, 1980: 79).
Menurut pendapatnya, daya pemikiran manusia ada batasnya, tetapi fikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepastian yang tidak ada batasanya, yang bersifat kekal abadi. Artinya, akal fikir manusia berhubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi. Akhirnya, ajaran Augustinus berhasil menguasai sepuluh abad dan mempengaruhi pemikiran Eropa. Para pemikir partistik itu sebagai pelopor pemikiran skolastik. Sehingga ajaran Augustinus sebagai akar dari skolastik dapat mendominasi hampir sepuluh abad, karena ajarannya lebih bersifat sebagai metode daripada suatu system sehingga ajaran-ajarannya mampu meresap sampai masa skolastik. (Muzairi, 2009: 91).
Zaman Skolastik Awal
Makna Skolastik
Menurut Muzairi (2009: 91), istilah Skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata School (Bahasa Inggris), yang berarti sekolah. Jadi skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Perkataan Skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat Abad Pertengahan. Tafsir (1991: 112) memaparkan Skolastik, disebut demikian karena filsafat diajarkan pada universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu.
Terdapat beberapa pengertian dari corak Skolastik, yaitu (Muzairi:2009):
Filsafat Skolastik adalah yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena Skolastik ini sebagai bagian dari kebudayaan Abad Pertengahan yang religius.
Filsafat Skolastik adalah filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat rasional yang memecahkan persoalaan-persoalaan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, dan baik buruk. Dari rumusan tersebut kemudian munculah istilah Skolastik Yahudi, Skolastik Arab dan lain-lain.
Filsafat Skolastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukan kedalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
Filsafat Skolastik adalah filsafat nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh ajaran Gereja.
Filsafat Skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor yaitu faktor religious dan faktor ilmu pengetahuan. Faktor religious dapat mempengaruhi corak pemikiran filsafatnya. Yang dimaksud dengan faktor religious adalah keadaan lingkungan saat itu yang berperikehidupan religious. Mereka beranggapan bahwa hidup di dunia ini suatu perjalanan ke tanah suci Yerussalem. Dunia ini bagaikan negeri asing, dan sebagai tempat pembuangan limbah air mata saja (tempat kesedihan). Sebagi dunia yang menjadi tanah airnya adalah surga. Manusia tidak dapat sampai ketanah airnya (surga) dengan kemampunnya sendiri, sehingga harus ditolong. Karena manusia itu menurut sifat kodratnya mempunyai cela atau kelemahan yang dilakukan atau diwariskan oleh Adam. Mereka juga berkeyakinan bahwa Isa anak Tuhan berperan sebagai pembebas dan pemberi bahagia. Ia akan memberi pengampunan sekaligus menolongnya. Maka hanya dengan jalan pengampunana inilah manusia dapat tertolong agar dapat mencapai tanah airnya (surga). Anggapan dan keyakinan inilah yang dijadikan dasar pemikiran filsafatnya.
Sedangkan faktor ilmu pengetahuan dikarenakan pada saat itu telah banyak didirikan lembaga pengajaran yang diupayakan oleh biara-biara, gereja ataupun dari keluarga istana, dan kepustakaannya diambilkan dari para penulis Latin Arab (Islam dan Yunani). Muzairi (2009: 92-93).
Muzairi menjelaskan, masa Skolastik terbagi menjadi tiga periode, yaitu:
Skolastik awal, berlangsung dari tahun 800-1200 M;
Skolastik puncak berlangsung dari tahun 1200-1300 M;
Skolastik akhir berlangsung dari tahun 1300-1450 M.
Sejak abad 5-8 M, pemikiran filsafat Partisik mulai merosot, terlebih lagi pada abad 6 dan 7 dikatakan abad kacau karena pada saat itu terjadi serangan terhadap Romawi, sehingga kerajaan Romawi beserta peradabannya ikut runtuh yang telah dibangun selama berabad-abad lamanya. (Muzairi, 2009: 93)
Baru pada abad 8 M kekuasaan berada di bawah Karel Agung (742-814 M) menampakan mulai adanya kebangkitan yang merupakan kecemerlangan Abad Pertengahan, dimana arah pemikirannya berbeda sekali dengan abad sebelumnya. Syadali dan Mudzakir (1999: 91) mengatakan, pada saat ini muncul pengetahuan yang dikembangkan disekolah-sekolah. Pada sekolah-sekolah saat itu diterapkan kurikulum ajaran yang meliputi study duniawi atau Artes Ribelares meliputi : tata bahasa, retorika, dilaektika (seni berdiskusi), ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintagan dan musik.
Tokoh dan Karakteristik Filsafat Skolastik Awal.
Tokoh-tokoh zaman skolastik awal diantaranya adalah Johanes Scotes Eriugena (810-870), Peter Lombard (1100-1160), Jhon Salisbury (1115-1180), Peter Abaelardus (1079-1180) sebagai berikut :
Johanes Scotes Eriugena (810-870 M)
Johanes Scotes Eriugena berasal dari Irlandia. Pemikiran filsafatnya berdasakan pemikiran Kristiani. Oleh karena itu segala penelitiannya dimulai dari iman, sedangkan wahyu ilahi dipandang sebagai sumber bahan-bahan filsafatnya. Menurut dia, akal betugas mengungkapkan arti yang sebenarnya dari bahan-bahan filsafat yang digalinya dari wahyu Ilahi itu. (Hadiwijono, 1980: 91).
Peter Abaelardus (1079-1180 M)
Ia dilahirkan La Pallet, Prancis. Peter Abaelardus mempunyai kepribadian yang keras dan pandangannya sangat tajam , sehingga sering kali bertengkar dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang konseptualisme dan sarjana terkenal dalam sastra romantic, sekaligus sebagai rasionalistik. Artinya peranaan akal dapat memudahkan kekuatan iman. Iman harus mau didahului akal, yang harus dipercayai adalah apa yang telah disetujui atau dapat diterima oleh akal. (Muzairi, 2009: 94-95).
Anselmus (1033-1109 M)
Filsafat Anselmus besentral pada pemikirannya tentang akal pada pemikirannya tentang iman. Anselmus berpendapat bahwa iman kepada kristus adalah yang paling penting sebelum yang penting sebelum yang lain. Dari sini dapatlah kita memahami pernyataannya mendahulukan iman dari pada akal. Lebih jauh, Anselmus mengatakan bahwa wahyu harus diterima lebih dulu sebelum kita mulai befikir. (Tafsir, 2001: 95).
Hadiwijono (1980: 98) menambahkan bahwa pangkal pikiran Anselmus sama dengan Agustinus dan Johanes Scoutes yaitu, bahwa kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, sebab akal tidak memiliki kekuatan pada dirinya sendiri, guna menyelidiki kebenaran yang termasuk wahyu.
Zaman Kejayaan Skolastik
Faktor pendorong kejayaan Skolastik
Sampailah Skolastik pada masa kejayaannya. Dalam mengatakan periode waktu kejayaan Skolastik, tidak ada lagi perbedaan seperti ketika dimulainya filsafat Abad Pertengahan. Para filosof sepakat mengatakan masa kejayaan Skolastik yang berlangsung dari tahun 1200-1300 M. Skolastik mencapai kejayaannya dengan bantuan para filosof Arab yang turut menyumbangkan pemikirannya.
Menurut Muzairi (2001: 95) Skolastik mencapai kejayaan karena bersamaan dengan munculnya beberapa universitas dan ordo-ordo yang secara bersama-sama menyelengarakan atau memajukan ilmu pengetahuan, disamping juga peranaan universitas sebagi sumber atau pusat lmu pengetahuan dan kebudayaan.
Masih menurut Muzairi, terdapat beberapa faktor pada masa kejayaan Skolastik yang mencapai pada puncaknya, yaitu:
Adanya pengaruh dari Aristoteles, Ibnu-Rusyd, Ibnu Sina sejak abad ke12, sehingga sampai abad ke13 telah tumbuh menjadi ilmu pengetahuan yang luas. Lebih jauh menurut (Anonim, 2011: http://sejarah-filsafat-masa-pertengahan.html) filsafat Aristoteles memberikan warna dominan pada alam pemikiran Abad Pertengahan.
Tahun 1200 M didirikan universitas almamater di Prancis. Universitas ini merupakan gabungan dari beberapa sekolah. Almamater inilah sebagi awal (embrio) berdirinya universitas di Paris, di Oxford, di Mont Pellier, di Cambridge dan lain-lainnya.
Hanafi (1964: 139) menjelaskan bahwa factor kejayaan Skolastik juga karena kegiatan mendirikan sekolah-sekolah tidak hanya terbatas dalam lingkungan istana-istana, tetapi diluarnya juga banyak didirikan sekolah-sekolah.
Tokoh filosof dan karakteristiknya
Tokoh-tokoh filosof pada zaman kejayaan skolastik, seperti: Albertus de Grote, Thomas Aquinas, Binaventura, J.D. scouts dan William Ocham, sebagai berikut :
Albertus Magnus
Disamping sebagai biarawan, Albertus Magnus dikenal sebagai cendikiawan Abad Pertengahan. Ia lahir dengan nama Albert Von Bollstadt yang juga dikenal sebagai “Doctor Universalis” dan “Doctor Magnus”, kemudian bernama Albertus Magnus (Albert de Great). Ia mempunyai kepandainan luar biasa. Di Universitas Padua, ia belajar artes liberals, ilmu-ilmu pengetahuan alam, kedokteran, filsafat Aristotelles belajar teologi di Bulogna dan masuk ordo di Diminican tahun 1223, kemudian masuk ke Coolin menjadi dosen filsafat dan teologi. (Muzairi, 2009: 97).
Terakhir, ia diangkat sebagai uskup agung. Pola pemikirannya meniru Ibnu Rusyd dalam menulis tentang Aristolles. Dalam bidang pengetahuan, ia megadakan penilitian dalam ilmu biologi dan ilmu kimia.
Albertus Magnus lahir pada tahun 1206- 1280 M. ia dilahirkan di Swabia, Jerman. Hadiwijono (1980: 102) memaparkan karakteristik filsafat Albertus yaitu:
Secara hakiki iman harus dibedakan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Pada pengetahuan, suatu kebenaran diterima karena kejelasannya, yang dikuatkan dengan bukti-bukti. Tidaklah demikian keadaan iman. Pada iman, tiada kejelasan yang berdasarkan akal. Kebenaran ditererima iman bukan karena kejelasan kebenaran itu. Perbuatan iman lebih berdasarkan atas rasa-perasaan dari pada atas pertimbangan akal. Maka isi kebenaran iman tidak dapat dibuktikan.
Demikianlah kutipan dari filsafat Albertus. Contoh pemikirannya tersebut adalah tentang keberadaan Tuhan adalah dasar iman. “beradanya Tuhan” dapat dibuktikan. Pembuktiannya Albertus mengikuti Aristoteles tentang “penggerak pertama”. Penggerak pertama yang menciptakan segala sesuatu haruslah ada, yaitu Tuhan.
Thomas Aquinas (1224-1274 M)
Thomas Aquinas, nama sebenarnya adalah Santo Thomas Aquinas, yang artinya Thomas yang suci dari Aquinas. Lahir dari keluarga bangsawan (Hartoko, 1986: 9). Semula belajar di Napels, kemudian di Paris, menjadi murid Albertus Agung, lalu di Koln dan ke Paris lagi. Sejak tahun 1252, ia mengajar di Paris dan Italia. Disamping sebagai ahli fikir, ia juga seorang dokter gereja bangsa Italia. Ia lahir di Rocca Sekka, Napoli Italia. (Muzairi, 2009: 98).
Menurut Tafsir (2001: 97) Hanya ada dua kekuatan yang mengerakan gemuruhnya dunia: agama dan filsafat. Aquinas membicarakan kedua-duanya, hakikat masing-masing, serta hubungan kedua-dunaya.
Lebih jauh Hadiwijono (1980: 104) mengatakan bahwa karakteristik filsafat Thomas Aquinas adalah, bahwa iman lebih tinggi dan berada di luar pemikiran yang berkenaan sifat Tuhan dan alam semesta. Iman adalah suatu cara tertentu guna mencapai pengetahuan, yaitu pengetahuan yang mengatasi akal, pengetahuan yang tidak dapat ditembus akal.
Thomas Aquinas menentancg pemikiran Barat yang menyangkal metafisika. Konsep metafisika Thomas tentang Essentia dan Existentia memiliki kesamaan konsep dengan Al-Haqq Al-Awwal filsuf muslim Al-Kindi (801-860 M) yang lahir lebih awal. Sofyan (2010: 165) mengungkapkan, meskipun Thomas Aquinas tidak megakui secara eksplisit pengaruh filsafat muslim pada pemikirannya, akan tetapi dengan banyaknya pemikiran yang sama dengan filsuf muslim, terutama Al-Kindi dan Al-Farabi, ada kemungkinan Thomas Aquinas terpengaruh oleh pemikiran filsuf muslim, mengingat dia dilahirkan di Italia dan belajar di universitas Paris. Dari sejarah, kita ketahui bahwa ilmuwan dan pendeta di sekitar Eropa, termasuk Paris belajar di Universitas Cordoba yang didirikan oleh Al-Hakam II (300-350 H/ 961-976 M), khalifah yang berkuasa di Spanyol menggantikan posisi ayahnya, Abdurrahman III (300-350 H/ 912-961 M) yang menyempurnakan fungsi masjid Agung.
Beberapa pemikiran Filsafat Thomas Aquinas, seperti dikemukakan Sofyan (2012: 167), yakni :
Thomisme
Thomas membedakan dua tingkat pengetahuan manusia, yaitu pengetahuan yang dikenal dengan akal dan pengetahuan tentang rahasia Tuhan yang diterima oleh manusia lewat wahyu atau kitab suci. Pengertian-pengertian metafisis sebagian besar dipinjam dari Aristoteles. Misalnya pengertian materi dan bentuk. Materi adalah asal muasal munculnya sesuatu. Sedangkan bentuk terkandung dalam materi. (Sofyan, 2010: 168) Contohnya, asal muasal buah mangga. Buah mangga berasal dari biji mangga lalu menjadi pohon mangga. Biji mangga adalah materinya, sedangkan pohon mangga yang telah tumbuh adalah bentuknya.
Kesempurnaan Tuhan
Menurut Sofyan(2010: 168) Thomas memakai istilah essentia (hakikat) dan existentia (keberadaan). Maksudnya, Tuhan sempurna keberadaannya, karena pada Tuhan tiada potensi. Dalam Tuhan telah ada perealitasannya yang telah sempurna, hal ini tidak berlaku bagi makhluk seperti yang telah dijelaskan di atas.
Theologia Naturalis
Theologia Naturalis mengajarkan bahwa manusia dengan bantuan akalnya dapat mengetahui bahwa Tuhan itu ada, dan juga tahu beberapa sifat Tuhan. Thomas berpendapat bahwa pembuktian adanya Tuhan yaitu diantaranya:
Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada penggerak pertama, yaitu Tuhan. Adanya yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Maka harus ada penggerak pertama, penggerak pertama itu adalah Tuhan.
Di alam dunia yang diamati ini adanya suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil. Sebab berdaya guna yang pertama ini adalah Tuhan.
Harus ada segala sesuatu yang menjadi sebab yang baik, segala yang benar, segala yang mulia yaitu Tuhan. (Sofyan, 2010: 170)
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pemikiran Thomas didasarkan pada sebab yang pertama. Bahwa ada pencipta yang menyebabkan adanya segala sesuatu.
Penciptaan
Penciptaan adalah perbuatan Tuhan secara terus menerus, dan dengan penciptaan itu, Tuhan terus menerus menghasilkan dan memelihara yang bersifat sementara. Segala sesuatu diciptakan sesuai dengan bentuk atau idenya Tuhan. (Sofyan, 2010: 174).
Jiwa
Sofyan (2010: 174) menjelaskan pemikiran Thomas mengenai jiwa yaitu, manusia adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri, yang terdiri atas bentuk (jiwanya) dan materi (tubuhnya). Jiwalah yang memberikan perwujudan pada tubuh sebagai materi, atau sebagai potensi sebagai realitas.
Etika politik
Pemikiran Thomas Aquinas dalam etika politik bisa dilihat pada pendapatnya mengenai hukum. Menurutnya, hukum pada kodratnya sangat memperhatikan keadilan pada masyarakatnya. Thomas membicarakan etika politik dalam dua tulisan yaitu Summa Theologiae dan De Regimine Principum (tentang pemerintahan raja).
Dalam filsafatnya, Thomas mengadakan langkah-langkah yaitu:
Langkah pertama, Thomas menyuruh teman sealiran Willem van Moerbeke untuk membuat terjemahan baru yang langsung dari Yunani. Hal ini untuk melawan Aristotelianisme yang berorientasi pada Ibnu Rusyd, dan upaya ini mendapat dukungan dari Siger van Brabant.
Langkah kedua, pengkristenan ajaran Aristotelles dari dalam. Bagian-bagian yang bertentangan dengan apa yang di anggap Kristen bertentangan sebagai firman Aristotelles, tetapi diupayakan selaras dengan ajaran Kristen.
Langkah ketiga, ajaran Aristotelles yang telah di Kristenisasikan di pakai untuk membuat sintesa yang lebih bercorak ilmiah (sintesa deduktif antara iman dan akal). System barunya itu untuk menyusun Summa Theologiae. (Muzairi, 2009: 100).
Thomas Aquinas tidak terlepas dari pandangan filsafat Aristoteles. Akan tetapi tindakannya yang mengkristenkan ajaran Aristoteles yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen sangatlah memaksa.
Selain karena tokoh-tokoh Barat tadi, kemajuan Skolasik juga dikarenakan sumbangan tokoh filosof Muslim yang biasa disebut tokoh filosof Skolastik Arab. Tokoh filosof tersebut diantaranya: Al-Kindi, Al-farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd. Para filosof Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar mengenai perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Skolastik.
Al-Kindi (809-873 M)
Al-Kindi mempunyai nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub Khufah. Ia berasal dari keturunan bagsawan Arab dari Kindah di Arab Selatan. Orang tuanya adalah seorang gubernur di Basrah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid, (Syadali dan Mudzakir, 2004: 165).
Al-Kindi satu-satunya orang Arab asli, corak filsafatnya adalah pemikiran kembali dari ciptaan Yunani (menerjemahkan 260 buku Yunani) dengan bentuk bebas dengan refleksinya dengan iman Islam. Menurut Rozak (2002: 133) Al-Kindi merupakan the first muslim philosopher (filosof muslim pertama dalam Islam). Sejak kecil ia telah mempelajari berbagai cabang ilmu keagamaan, seperti hukum Islam dan ilmu kalam. Ia merupakan salah seorang dari empat orang penerjemah mahir dalam mentrasformasikan nilai-nilai ilmiah kedalam dunia Islam.
Al-Kindi sangat menguasai ilmu kedokteran, filsafat, ilmu pasti, komponis, geometri, al-jabar, ilmu falak, astronomi, dan khususnya kimia. Rozak mengatakan, Al-Kindi telah menulis sebanyak lebih dari dua puluh risalah tulisan tangan. Ia mengatakan bahwa agama dan filsafat keduanya menghendaki kebenaran karena agama menempuh jalan syariat, sedangkan filsafat menempuh jalan metode pembuktian. Mengetahui kebenaran merupakan tujuan filsafat. Sementara itu, kebenaran pertama atau Dialah yang pertama, pencipta yang menguasai segala ciptaan-Nya merupakan filsafat yang nilainya sangat tinggi. Menurut Aristoteles, Tuhan adalah penggerak alam wujud, sedangkan menurut Al-Kindi, Tuhan adalah pencipta langit dan bumi, (Rozak, 2002: 133).
Rozak (2002: 133) memaparkan beberapa pemikiran Al-Kindi:
Tentang Tuhan
Tujan filsafat akhir adalah untuk mengetahui secara memadai dan menyakinkan tentang hakikat Tuhan. Tuhan menurut Al-Kindi bersikap tetap, tunggal, gaib, dan penyebab sejati gerak. Ia tunggal tak terpecah-pecah, Ia tak terlihat karena tak tersusun.
Ketakterhinggaan
Dalam system Aristoteles, alam terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh ruang dan waktu karena gerak alam bersifat abadi se-abadi Penggerak yang menciptakan. Adapun menurut Al-Kindi, Islam menolak keabadian alam karena alam itu diciptakan dan mempunyai fisik yang terbatas, yang kekal adalah Allah.
Roh dan akal
Roh adalah suatu wujud sederhana dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta, persis seperti sinar dipancarkan dari matahari. Roh bersifat spiritual. Setelah ia berpisah dari tubuhnya, roh kembali ke Nur Sang Pencipta dan bertemu dengan-Nya. Roh tidak pernah tidur, hanya saja ketika tidur, ia tida menggunakan indra-indranya. Mengapa manusia dapat bermimpi, menurut Al-Kindi yaitu apabbila roh berhenti tidak menggunakan indra-indranya dan hanya menggunakan nalarnya, manusia yang tidur dapat bermimpi.
Al-Farabi (850-950 M)
Menurut Al-Ahwani dalam Rozak (2002: 137) Al-Farabi lahir di Wasij suatu desa di Farab pada tahun 850 M, meninggal pada tahun 950 M. Al-Farabi mempunyai nama asli Abu Nasr Muhammad Al-Farabi. Dikenal di Eropa dengan nama Alpharabius. Filsafat Al-Farabi mempunyai pengetahuan yang luas, ia mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya termasuk filsafat, ia mendefinisikan filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada (Syadali dan Mudzakir, 2004: 168). Al-Farabi menyimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada di alam wujud, dengan pemikirannya ini Al-Farabi telah mengikuti jejak pemikiran Aristoteles karena Aristoteles telah menyatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala macam ilmu pengetahuan, baik ilmu ketuhanan, ilmu alam, ilmu sematik, ilmu pasti, maupun ilmu politik semuanya berasal dari filsafat.
Rozak (2002: 137-138) memaparkan, Al-Farabi menulis buku di usianya yang ke-50 tahun. Pemikian di bidang filsafatnya dimulai dari studi logika, dilanjutkan dengan filsafat bahasa. Baginya, logika membantu seseorang mampu membedakan sesuatu yang benar dan salah. Al-Farabi membicarakan teori akal, dengan menyatakan bahwa akal dibagi dua, yaitu akal praktis dan teoritis. Akal praktis yaitu akal yang dapat menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan. Akal teoritis yaitu akal yang membantu menyempurnakan jiwa.
Lebih jauh Rozak (2002: 140) memaparkan teori kenabian Al-Farabi. Menurutnya bahwa dasar agama langit adalah wahyu atau inspirasi. Seorang nabi menurut Al-Farabi adalah seorang manusia biasa yang dianugerahi kekuatan rasioimajinatif yang luar biasa sehingga ia mampu berkomunikasi dengan Zat yang Maha Sempurna. Bukan seorang manusia yang berada diatas kebiasaan orang-orang dan menyalahi adat kebiasaan.
Al-farabi juga ahli dalam bidang politik. Bukunya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah merupakan sebuah karya yang membahas permasalahan politik tentang model sebuah pemerintahan yang ideal. Pemerintah yang ideal yaitu antara satu kota dan yang lainnya harus saling berhubungan dengan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang berjalan sehingga kepentingan berbagai hal dapat terpenuhi. Masyarakatnya, masing-masing mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan kesanggupannya. Buku-bukunya yang lestari antara lain Ihsha’ul ‘Ulum (statistic ilmu), al-Madinah al-Fadlilah (Negeri Utama), al-Musiqi al-Kabir (Musik Besar) dan masih banyak lagi. Kemudian bukunya Ihsha’ul ‘Ulum telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin, sehingga banyak mempengaruhi para filosof Barat pada abad pertengahan. (Rozak, 2002: 141).
Ibnu Sina (980-1037 M)
Nama lengkap Ibnu Sina ialah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina, dibarat dikenal dengan nama Avicenna. Sealain dikenal sebagai ahli di bidang filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli kedokteran (Syadali dan Mudzakir, 2004: 173-174). Ibnu Sina telah menulis buku sejak umur 18 tahun. Karya tulisnya yang masih ada saat ini ada sekitar 250 judul. Bukunya Al-Qanun merupakan sebuah buku yang membahas sejarah kedokteran di dunia barat dan timur.
Dengan kepintarannya dalam berbagai bidang ilmu Ibnu Sina mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam filsafat khususnya filsafat Islam. Sebagai seorang muslim Ibnu Sina mencoba menyelaraskan antara filsafat dengan prinsip agama. Menurut Syadali dan Mudzakir (2004: 175) Ibnu Sina mengatakan bahwa Tuhan itu adalah Al-aqlu (akal), ia memikirkan diri-Nya sendiri lalu memikirkan sesuatu di luar diri-Nya menyebabkan timbulnya akal lain yang dinamkan akal pertama (Al-Aqlu Awwal), akal pertama ini berpikir pula dan mengeluarkan akal kedua dan seterusnya, (Rozak, 2002: 144-145).




Ibnu Rusyd (1126-1198 M)
Ibnu Rusyd bernama lengkap Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Rusdy, di Eropa dikenal dengan nama Averos. Ia anak seorang hakim dan ia pernal pula menjadi seorang hakim. Ibnu Rusyd dikenal di Eropa sebagai ilmuan besar. Ia menerbitkan banyak buku diantaranya Al-Ashgar yang kesimpulannya tidak sama dengan Aristoteles. Dari buku tersebut letak kritik terhadap Aristoteles sekalipun ia tetap mengikuti jejak guru pertamanya, Aristoteles. Selain buku tersebut, Ibnu Rusyd juga menlis buku al-Kulliyyah fi al-Thib (garis-garis besar ilmu kedokteran) yang menjadi pedoman ilmu kedokteran di Eropa selain buku Ibnu Sina, Al Qanun. (Rozak dan Arifin, 2002: 150-151).
Syadali dan Mudzakir (2004: 183-184) menjelaskan bahwa:
Menurut Ibnu Rusyd tugas filsafat ialah tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta semua yang ada ini dan Al-Qur’an menyuruh supaya manusia berpikir tentang wajud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan, dengan demikian Tuhan sebenarnya menyuruh manusia supaya berfilsafat, oleh karena itu ia berpendapat bahwa berfilsafat wajib atau sekurang-kurangnya sunat, kalau pendapat bertentangan dengan wahyu, demikian pendapat Ibnu Rusyd, teks wahyu harus diberi interpretasi bagitu sehingga sesuai dengan akal. Rozak (2002: 152-153) menambahkan, pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd secara umum memang sangat rasional. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa, jalan pembuktian yang tepat tentang eksistensi Tuhan dalam Al-Quran dapat dilalui dengan dua cara yaitu: bersifat Teologis dan Kosmopolis. Maksudnya, mengenal Tuhan tidak mungkin berhasil kecuali setelah melihat adanya dalil Al-Quran, lalu melakukan pengamatan terhadap alam wujud yang diciptakan Allah swt. (Rozak, 2002: 153).
Muzairi (2009: 102-103) menjelaskan, peranan para ahli fikir tersebut besar sekali, yaitu :
Sampai pertengahan abad ke-12 orang-orang Barat belum pernah mengenal filsafat Aristoteles, sehingga yang di kenal hanya buku logika Aristoteles saja
Apabila orang itu mengenal Aristoteles itu adalah berkat tulisan dari para ahli pikir Islam terutama dari Ibnu Rusyd dikatakan sebagi guru terbesar para ahli pikir Skolastik latin.
Skolastik Islamlah yang membawakan perkembangan Skolastik latin.
Bahkan lebih jauh Muzairi menambahkan, tidak hanya dari pemikiran filsafat saja, akan tetapi para ahli pikir Islam tersebut memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi Eropa. Yaitu dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ahli pikir Islam sebagian menggangap bahwa filsafat Aristoteles adalah benar. Plato dan Al-Qur’an adalah benar, mereka melakukan perpaduan dan sinkretisme antara agama dan filsafat. Pemikiran-pemikiran tersebut kemudian masuk ke Eropa yang merupakan sumbangan Islam paling besar. Akan tetapi bangsa Barat itu lebih untuk tidak mengakui jasa Islam yang mengantarkan mereka ke modernannya sekarang ini.
Skolastik Akhir
Faktor penyebab berakhirnya zaman skolastik
Muzairi (2009: 100) memaparkan factor penyebab berakhirnya zaman Skolastik, masa ini ditandai dengan adanya rasa jemuh terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya, sehingga memperlihatkan stagnasi (kemandegan).
Sedangkan menurut Anonim (2011) Periode skolastik Akhir abad ke 14-15 ditandai dengan pemikiran Islam yang berkembang. Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban atas masalah-masalah iman mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang dapat menerimanya.
Diantara tokoh-tokohnya adalah William Ockham (1285-1349), Nicolas Cusasus (1401-1464).
William Ockham (1285-1349)
Menurut Muzairi(2009: 100-101) William Ockham sebagai ahli pikir Inggris yang beraliran skolastik. Karena ia terlibat pertengkaran umum dengan Paus John XXII, ia di penjara di Afignon, tetapi ia dapat melarikan diri dan mencari perlindungan pada Kaisar Lois IV. Ia menolak ajaran Thomas dan mengendalilkan bahwa kenyataan itu hanya dapat pada benda-benda satu demi satu dan hal-hal yang umum itu hanya tanda-tanda abstrak.
Sedangkan menurut Anonim.William lahir di desa dari Ockham di Surrey. Setelah menerima pendidikan awal di tata bahasa Latin dan seni liberal, mungkin di rumah biara dekat kanon Augustinian di Newark, ia bergabung dengan Ordo Fransiskan dan mempelajari seni dan filsafat di biara mereka di London.Ockham berikut mulai 13 tahun studi teologi di Oxford.Sisa hidup Ockham adalah dihabiskan di biara Fransiskan di Munich, di mana ia menulis risalah politik terhadap posisi Yohanes XXII dan penerusnya. Dalam risalah Ockham berpendapat bahwa Kitab Suci dan tradisi teologis mendirikan Gereja adalah dua sumber otoritas dalam doktrin. Baik kepausan maupun kekuatan politik sekuler memiliki wewenang untuk menyatakan doktrin yang bertentangan Kitab Suci atau tradisi. Ockham setuju dengan Marsilius dari Padua bahwa Kristus tidak mendirikan kepausan, dan satu dapat menemukan dalam Ockham pertahanan yang kuat dari otoritas sebuah konsili Gereja umum. Namun, tidak seperti Marsilius, Ockham percaya bahwa Paus tidak memiliki kewenangan administratif dalam Gereja, dan selama ia tidak jatuh ke dalam bid'ah dia tidak harus memiliki kekuasaan administratif, atau yudikatif dipertanyakan.
Ia menolak ajaran Thomas dan mengendalilkan bahwa kenyataan itu hanya dapat pada benda-benda satu demi satu dan hal-hal yang umum itu hanya tanda-tanda abstrak.Menurut pendapatnya, fikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual dan konsep-konsep atau kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstaraksi buatan tanpa pernyataan.Pemikiran yang hanya demikian ini dapat di lalui hanya lewat ituisi, bukan lewat logika. Disamping itu, ia membanta anggapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan dokrin teologis. Hal ini akan membawa kesulitan dirinya yang pada waktu itu sebagai penguasanya adalah Paus Jhon XXII.
Pemikiran Ockham dijelaskan sebagai agen aktif yang tahu tertentu dengan segera dan langsung melalui kognisi intuitif.Kognisi intuitif adalah penangkapan langsung oleh pikiran hal, khususnya yang ada yang menurut pikiran membentuk penilaian bahwa hal seperti itu ada dan mempersepsikan fakta-fakta tersebut bergantung pada keberadaannya, seperti ukuran, warna, bentuk, dan sebagainya. Selain kognisi intuitif, yang merupakan sarana awal dan utama dari pengetahuan, ada kognisi abstractive, berkaitan erat dengan memori, yang dapat mencerminkan pada objek tetapi tidak menyampaikan pengetahuan tentang apakah objek saat ini ada.
Kemudian menurut Hadiwijoyo(1980: 119) Ockham menentang pemikiran Thomas karena terlalu gegabah dalam membuktikan sesuatu, juga bahwa jiwa tidak dapat mati, juga bahwa Allah itu ada. Menurut Ockham, hakekat jiwa ada pada kehendaknya. Maka kehendak Allahlah yang menetapkan penciptaan dan pengaturannya.
Nicolas Cusasus (1401-1464 M)
Nicolas Cusasus sebagai tokoh pemikir yang berada paling akhir masa Skolastik. Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu: lewat indera, akal dan intuisi. Dengan indera kita akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad yang sifatnya tidak sempurna. Dengan akal kita akan mendaptkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak berdasarkan pada sajian atau tangkapan indera. Dengan intuisi, kita akan mendaptkan pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya dengan intuisi kita akan dapat mempersatukan apa yang oleh akan tidak dapat dipersatukan. Manusia harusnya menyadriri akan keterbatasan akal, sehingga banyak hal yang seharusnya banyak diketahui oleh karena keterbatasan akal tersebut, maka hanya sedikit saja yang dapat diketahui oleh akal. Dengan intuisi inilah diharapkan akan samapi pada kenyataan, yaitu suatu tempat dimana segala sesuatu bentuknya menjadi larut yaitu Tuhan. (Hadiwijoyo, 1980:120-121)
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemikiran Nicolaus ini sebagai upaya mempersatukan seluruh pemikiran Abad Pertengahan, yang dibuat kesuatu sintesa yang lebih luas. Sintesa ini mengarah kemasa depan dan pemikirannya ini tersirat suatu pemikiran para humanis.
Masa Peralihan
Setelah Abad Pertengahan berakhir sampilah pada masa peralihan yang diisi dengan gerakan kerohanian yang bersifat pembaharuan. Zaman peralihan ini merupakan embrio masa modern. Masa peralihan ini ditandai dengan munculnya renaissance, humanisme dan reformasi yang berlangsung antara abad ke-14 hingga ke-16. (Muzairi, 2009: 104)

BAB VI
GERAKAN RENAISANS
FAKTOR PENDORONG GERAKAN RENAISANS
Definisi Renaisans
Renaissance merupakan istilah bahasa Prancis. Dalam bahasa latin, re + nasci berarti lahir kembali (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh sejarahwan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa dan Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16 Masehi, (Tafsir, 2003: 124-125).
Kata Renaissance berarti kelahiran kembali. Secara historis Renaisans adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dirinya sebagai telah dilahirkan kembali dalam keadaan keadaban, (Hadiwijono, 1980: 11).
Dari kedua referensi menyebutkan bahwa Renaisans identik dengan makna yang mengarah pada kelahiran kembali. Istilah ini menunjukkan suatu zaman dimana setiap orang merasa terlahir kembali menjadi dirinya yang memiliki kedaulatan penuh dalam bereksplorasi, berfikir, bereksperimen, mengembangkan seni sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa.
Pada zaman Renaisans, para ahli pikir berupaya melepaskan diri dari dogma-dogma agama. Bagi mereka citra filsafat yang paling bergengsi adalah zaman klasik Yunani, (Mustansyir, 2001: 13).
Hal ini karena mereka mendambakan kelahiran kembali filsafat yang bebas, yang tidak terikat pada ajaran agama dan tidak percaya lagi nilai-nilai abstrak aturan Gereja, mereka lebih mendambakan nilai-nilai konkret karena lebih memberikan kesempatan untuk menggunakan akal pikir secara bebas.
Faktor Pendorong Lahirnya Gerakan Renaisans
Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi kelahiran Renaisans, yaitu:
Implikasi yang sangat signifikan yang ditimbulkan oleh gerakan keilmuan dan filsafat. Gerakan tersebut lahir sebagai hasil dari penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam bahasa latin selama abad ke-13 dan 14 M.
Penaklukkan Konstantinopel menyebabkan migrasi para pendeta dan sarjana ke Italia dan Negara Eropa sebagai pionir pengembangan ilmu di Eropa.
Pendirian berbagai lembaga ilmiah yang mengajarkan beragam ilmu, seperti berdirinya Akademi Florensia dan College de France di Paris, (Zaqzuq, 1988:16-18).
Faktor pendorong lahirnya gerakan ini yang pertama, adalah adanya gerakan keilmuan dan filsafat dengan diterjemahkannya kitab-kitab Arab yang memiliki kunci-kunci khazanah turas klasik Yunani. Hal ini karena pada masa keemasan Baghdad sangat memperhatikan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan termasuk menerjemahkan ilmu-ilmu klasik Yunani dan selanjutnya mengalami perkembangan dengan lahirnya para ilmuan Islam pada saat itu. Hasil penerjemahan karya-karya Muslim menstimulasi perkembangan lebih lanjut teori dan praktek terutama di bidang matematika, kedokteran, astronomi, fisika, kimia, geografi, sejarah, musik, teologi, dan filsafat.
Yang kedua, adalah adanya migrasi para pendeta dan sarjana yang menjadi pionir-pionir bagi pengembangan ilmu di Eropa pasca penaklukan Konstantinopel oleh Turki Usmani. Dengan membawa teks atau manuskrip yang belum dikenal sebelumnya, para pendeta dan sarjana saling bekerjasama untuk menghidupkan turas klasik Yunani di Florensia.
Dan yang ketiga, adalah adanya pendirian lembaga ilmiah seperti Akademi Florensia dan College de France di Paris. Hampir sepenuhnya ilmu pengetahuan mengacu pada tulisan para penulis Muslim atau Yunani sebagai implikasi penerjemahan sumber-sumber bahasa Arab dan Yunani. Ilmu pengetahuan Muslim Aristotelian menjadi inti kurikulum Universitas Paris hingga abad ke-16 yang kemudian muncul Copernicus dalam astronomi, Paracelsus dalam ilmu kedokteran telah membuka gerbang mengenai konsep baru tentang manusia dan dunianya yang berdampak terhadap runtuhnya periode Abad Pertengahan.
Selain ketiga faktor tersebut, menurut Santoso (dalam Mustansyir 2008: 134) ada beberapa faktor lain yaitu:
Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Liberia dengan Prancis membuat para pendeta mendapat kesempatan belajar di Spanyol kemudian mereka kembali ke Prancis untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh.
Perang Salib (1100-1300 M) yang terulang enam kali, tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu sekembalinya di negara-negara masing-masing.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kedua faktor ini memiliki indikator yang sama, yakni adanya kontribusi yang besar dari para pendeta serta tentara Eropa dalam menyebarkan dan mengevaluasi setiap aspek Ilmu Pengetahuan berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari berbagai sumber untuk dijadikan tolak ukur kemajuan di berbagai bidang. Sehingga mendorong lahirnya Gerakan Renaisans.
Filosof Zaman Renaissance
Nicolaus Copernicus (1473-1543)
Nicolaus Copernicus dilahirkan tahun 1473 di kota Torun di tepi sungai Vistula, Polandia. Dia berasal dari keluarga berada. Copernicus belajar di Universitas Cracow, selaku murid yang menaruh minat besar terhadap ihwal ilmu perbintangan. Pada usia dua puluhan dia pergi ke Italia, belajar kedokteran dan hukum di Universitas Bologna dan Padua yang kemudian dapat gelar Doktor dalam hukum gerejani dari Universitas Ferrara.
Selama berada di Italia, Copernicus sudah berkenalan dengan ide-ide filosof Yunani Aristarchus dari Samos (abad ke-13 SM). Filosof ini berpendapat bahwa bumi dan planet-planet lain berputar mengitari matahari, tatkala menginjak usia empat puluh tahun dia mulai menyebarkan tulisannya dalam bentuk tulisan-tulisan ringkas.
Copernicus memerlukan waktu bertahun-tahun untuk melakukan pengamatan, perhitungan cermat yang diperlukan untuk penyusunan buku besarnya De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi Bulatan Benda-benda Langit), yang melukiskan teorinya secara terperinci dan mengedepankan pembuktian-pembuktiannya.
Di tahun 1533, tatkala usianya menginjak enam puluh tahun, Copernicus mengirim berkas catatan-catatan ceramahnya ke Roma. Di situ dia mengemukakan prinsip-prinsip pokok teorinya tanpa mengakibatkan ketidaksetujuan Paus. Ketika umurnya sudah mendekati tujuh puluhan, Copernicus memutuskan penerbitan bukunya, dan baru tepat pada saat meninggalnya dia dikirimi buku cetakan pertamanya tanggal 24 Mei 1543.
Dalam buku itu Copernicus dengan tepat mengatakan bahwa bumi berputar pada porosnya, bahwa bulan berputar mengelilingi matahari dan bumi, serta planet-planet lain semuanya berputar mengelilingi matahari. Teori heleosentrisme menyatakan bahwa bumi memiliki dua macam gerak, yaitu berputar pada porosnya setiap hari dan mengelilingi matahari setiap tahun, (Surajiyo, 2010: 86). Tapi, seperti halnya para pendahulunya, dia membuat perhitungan yang kurang tepat mengenai skala peredaran planet mengelilingi matahari dan melakukan kekeliruan besar dengan menyatakan bahwa orbit mengandung lingkaran-lingkaran.
Meskipun teorinya memiliki kekeliruan secara matematik, tetapi bukunya mendapat perhatian besar dari para astronom, terutama astronom kebangsaan Denmark, Tycho Brahe, yang melakukan pengamatan yang lebih teliti mengenai gerakan-gerakan planet. Dari data-data hasil pengamatan inilah yang membuat Johannes Kepler akhirnya mampu merumuskan hukum-hukum gerak planet yang tepat, (Anonim. 2009. Biografi Nicolaus Copernicus. Tersedia: http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-nicolaus-copernicus.html.).




Johannes Kepler (1571-1630)
Johannes Kepler lahir pada tanggal 27 Desember tahun 1571 di kota Weil der Stadt, Jerman. Meskipun keluarganya miskin, beasiswa dari para bangsawan lokal memungkinkan Johannes mendapatkan pendidikan yang baik. Ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Tubingen untuk memperoleh Gelar Serjana. Johannes Kepler adalah seorang tokoh penting dalam revolusi ilmiah, ia adalah seorang Astronomi Jerman, Matematikawan Dan Astrolog. Dia sangat dikenal melalui hukum pergerakan planetnya.
Pada usia 29 tahun, Johannes Kepler menjadi matematikawan kekaisaran untuk kaisar Romawi Suci. Kepler juga seorang Profesor matematika di Universitas Graz. Karir Kepler juga bersamaan dengan karir Galilei Galileo. Pada awal karirnya, kepler adalah asisten Tycho Brahe.
Kepler sangat dihargai bukan hanya dalam bidang matematika, ia menjadi sangat dikenal dibidang Optik dan astronomi. Kepler, meski perawakannya kecil, memiliki kecerdasan yang memukau dan juga kepribadian yang gigih, ia didiskriminasi sewaktu ia dipaksa untuk pindah agama ke Katolik Roma, sekalipun di bawah tekanan hebat.
Kepler adalah penemu hukum Kepler, teleskop Kepler, penyusun katalog bintang, serta dijuluki optika modern, bapak astronomi modern dan penemu Nova (bintang meledak). Bidang yang diguluti oleh kepler bukanlah Optik melainkan astronomi. Para astronom masa awal yakin bahwa langit adalah bulatan kosong dengan bintang-bintang yang menempel dibagian dalamnya seperti berlian yang berkilau. Ptolemaus menganggap bumi sebagai pusat alam semesta, sedangkan Copernicus yakin bahwa planet-planet semuanya mengitari matahari yang telah bergerak. Brahe memperkirakan bahwa planet-planet lain berputar mengelilingi matahari, yang selanjutnya mengorbit bumi. Karena berbeda dengan bumi, semua planet lainnya adalah benda langit, benda-benda ini dianggap sempurna. Satu-satunya bentuk gerakan yang dianggap cocok untuk planet-planet itu ialah bentuk lingkaran sempurna, setiap planet bergerak dengan kecepatan konstan. Berkat penemuannya mengenai lintasan planet, nama Kepler diabadikan dalam hukum Kepler.
Mengenai kedudukan planet-planet, Johannes Kepler mendasarkan pemahamannya pada filsafat dan matematika bangsa Yunani Kuno. Gagasan ini diungkapkan dalam buku yang berjudul “Mysterium Cosmographycum”, yang diterbitkan pada tahun 1595. Buku ini berhasil menarik perhatian para ilmuwan lain. Misalnya ahli astronomi dari Denmark yang bernama Tycho Brahe. Tycho Brahe sangat kagum dan tertarik pada kemampuan Johannes Kepler dibidang matematika juga keinginannya untuk menerapkan hukum matematika pada astrologi. Mulai saat itulah Tycho mengajak Johannes Kepler menjadi satu tim dalam usaha akbar tersebut.
Pada tahun 1600, Kepler bergabung dengan Tycho di Observatoriumnya di Praha. Saat itu Johannes Kepler ditugaskan untuk meneliti lintasan planet Mars. Dan pada tanggal 17 Oktober 1904 Kepler mengamati Bintang Super Nova yang disebut “Bintang Kepler” Setelah Johannes Kepler mempunyai akses yang kuat untuk meneliti orbit setiap planet secara ilmiah, hasil penelitian ilmiahnya itu sampai pada kesimpulan bahwa “Mars berputar menurut orbit elips, dan matahari menduduki salah satu kedua fokusnya”. Padahal para ilmuwan lain mengatakan bahwa orbit setiap planet adalah berbentuk lingkaran atau gabungan lingkaran. Hasil penelitiannya dipublikasikan dalam sebuah buku yang berjudul “The Stella Nova” tahun 1906, dan “Astronomia Nova” yang di terbitkan pada tahun 1609.
Planet Mars yang pertama-tama menarik perhatian Kepler. Mars mengorbit matahari tetapi bukan dalam lingkaran sempurna. Satu-satunya bentuk orbit yang cocok dengan pengamatan itu ialah bentuk elips (lonjong) dengan matahari sebagai salah satu titik fokusnya. Akan tetapi, Kepler sadar bahwa kunci untuk menyibakkan rahasia langit bukanlah Mars, melainkan Planet Bumi.

Sekarang, Kepler mengerti bahwa matahari bukan sekedar pusat dari tata surya. Matahari juga berfungsi seperti sebuah magnet, berputar pada porosnya dan mempengaruhi gerakan planet-planet. Bagi Kepler, semua planet adalah benda-benda fisik yang dengan harmonis diatur oleh serangkaian hukum yang beragam. Apa yang telah ia pelajari dari Planet Mars dan Bumi pasti berlaku juga atas semua planet. Jadi, ia menyimpulkan bahwa setiap planet mengitari matahari dalam orbit elips pada kecepatan yang bervariasi sesuai dengan jaraknya dari matahari.
Pada tahun 1609, Kepler menerbitkan buku dengan judul “New Astronomy” (Astronomi Baru), yang diakui sebagai buku astronomi modern yang pertama dan salah satu buku terpenting yang pernah ditulis tentang subjek itu. Mahakarya ini memuat dua hukum Kepler yang pertama tentang planet dimana “Tiap planet bergerak mengitari matahari dalam orbit oval atau elips dengan matahari pada satu fokus”. Hukumnya yang ke dua “Planet bergerak lebih cepat ketika berada lebih dekat dengan matahari”. Dan hukumnya yang ketiga diterbitkan melalui buku Harmonies of the World (Keharmonisan Dunia) pada tahun 1619 sewaktu ia tingga di Linz, Austria, dimana “Makin jauh jarak sebuah planet dari matahari maka semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu putaran”.
Pada tahun 1611, Kepler mengemukakan cara untuk meningkatkan kemampuan teleskop dengan menggunakan dua lensa cembung. Ia juga menunjukkan bahwa cermin parabolic dapat memfokuskan cahaya datang sejajar. Hal ini ditulis dalam bukunya yang berjudul “Dioptrice”. Dan pada tahun 1619, Kepler menerbitkan bukunya yang berjudul “Harmonices Mudi Libri V” atau “lima buku tentang Kesetimbangan Dunia”.
Pada tahun 1627, ia menerbitkan buku dengan judul “Rudolphine Tables (Tabel-Tabel Rudolphin), yang ia anggap sebagai karya utamanya dibidang astronomi. Buku ini menjadi buku wajib bagi para astronomi dan navigator. Akhirnya pada tanggal 15 November 1630, kepler meninggal dunia di Regensburg, Jerman, (Jamaluddin,2011.Sejarawan Fisika Johannes Kepler.Tersedia:http://jamaluddink1.blogspot.com/2011/01/sejarawan-fisika-johannes-kepler.html ).
Galileo Galilei (1564-1642)
Galileo Galilei dilahirkan di Pisa, Tuscany pada tanggal 15 Februari 1564 sebagai anak pertama dari Vincenzo Galilei, seorang matematikawan dan musisi asal Florence yang merupakan guru musik dan istrinya bernama Giulia Ammannati. Galileo belajar di Universitas Pisa namun terhenti karena masalah keuangan. Untungnya, ia ditawari jabatan di sana pada tahun 1589 untuk mengajar matematika. Saat kuliah berlangsung, Galileo aktif bertanya kepada dosen mengenai hal-hal yang tidak dimengertinya.
Pendapat yang diyakini masyarakat saat itu adalah kecepatan benda yang beratnya berbeda akan berbeda-beda bergantung pada berat benda tersebut. Pendapat ini dikemukakan Aristoteles. Namun menurut Galileo, setiap benda jatuh mempunyai kecepatan yang sama, walaupun mempunyai berat yang berbeda-beda. Tegasnya, berat benda tidak mempengaruhi kecepatan jatuh suatu benda.
Galileo memberikan pendapat seperti itu berdasarkan pengalamannya ketika berjalan di tengah hujan salju. Galileo mengamati butir-butir salju yang nampak jatuh berbarengan di permukaan. Galileo menduga bahwa kecepatan jatuh setiap benda sama. Penasaran akan hal tersebut, Galileo kemudian melakukan percobaan menjatuhkan bola dengan berbagai ukuran dari Menara Pisa. Dugaannya benar. Setiap bola mempunyai kecepatan jatuh yang sama.
Sumbangan besar Galileo lainnya ialah penemuannya mengenai hukum kelembaman. Sebelumnya, orang percaya bahwa benda bergerak dengan sendirinya cenderung menjadi makin pelan dan sepenuhnya berhenti kalau saja tidak ada tenaga yang menambah kekuatan agar terus bergerak. Tetapi percobaan-percobaan Galileo membuktikan bahwa anggapan itu keliru. Bilamana kekuatan melambat seperti misalnya pergeseran, dapat dihilangkan, benda bergerak cenderung tetap bergerak tanpa batas.
Suatu hari, Galileo sedang mengikuti sebuah acara di Katedral Pisa. Ia memperhatikan biarawan yang sedang mengayunkan dupa untuk menebarkan asap yang keluar dari dupa tersebut. Galileo menghitung waktu ayunan dengan menggunakan denyut nadinya. Dia merasakan denyut jantung yang teratur di pergelangan tangannya. Hal yang mengejutkannya, setiap ayunan, besar atau kecil, memiliki jumlah detak yang sama. Kemudian, Galileo melakukan beberapa percobaan mengayunkan pendulum.
Ia memasang beban yang sama pada setiap pendulum dengan panjang tali yang berbeda. Galileo menemukan, berat tidak membuat perbedaan terhadap waktu ayunan, tetapi panjang tali dari pendulum yang membuat ayunan pendulum berbeda. Menggandakan panjang tali pendulum akan membuat ayunan empat kali lebih panjang dan membagi dua panjang tali akan memotong waktu menjadi seperempat. Galileo memberikan ide kepada dokter agar menggunakan pendulum khusus untuk mengukur denyut nadi seorang pasien. Penyakit meningkatkan kecepatan denyut nadi seseorang, sehingga para dokter harus memeriksanya secara rutin.
Alat Galileo disebut sebuah pulsilogium. Alat ini membantu para dokter untuk menghitung denyut nadi seseorang secara tepat. Galileo terus berpikir mengenai penggunaan ayunan pendulum untuk menjaga jam agar berjalan dengan teratur.
Galileo tidak menciptakan teleskop tapi ia telah menyempurnakan alat tersebut. Ia menjadi orang pertama yang memakainya untuk mengamati langit. Awalnya, ia membuat teleskop hanya berdasarkan deskripsi tentang alat yang dibuat di Belanda pada 1608. Ia membuat sebuah teleskop dengan perbesaran 3x dan kemudian membuat model-model baru yang bisa mencapai 32x. Pada 25 Agustus 1609, ia mendemonstrasikan teleskop pada pembuat hukum dari Venesia. Selain itu, hasil kerjanya juga membuahkan hasil lain karena ada pedagang-pedagang yang memanfaatkan teleskopnya untuk keperluan pelayaran. Pengamatan astronominya pertama kali diterbitkan di bulan Maret 1610, berjudul Sidereus Nuncius.
Galileo menemukan tiga satelit alami Jupiter -Io, Europa, dan Callisto- pada 7 Januari 1610. Empat malam kemudian, ia menemukan Ganymede. Ia juga menemukan bahwa bulan-bulan tersebut muncul dan menghilang, gejala yang ia perkirakan berasal dari pergerakan benda-benda tersebut terhadap Jupiter, sehingga ia menyimpulkan bahwa keempat benda tersebut mengorbit planet.
Di bulan Desember 1633, ia diperbolehkan pensiun ke vilanya di Arcetri. Buku terakhirnya, Discorsi e dimostrazioni matematiche, intorno à due nuove scienze diterbitkan di Leiden pada 1638. Di saat itu, Galileo hampir buta total. Pada tanggal 8 Januari 1642 ketika Galileo berusia 77 tahun, Galileo wafat di Arcetri saat ditemani oleh Vincenzo Viviani, salah seorang muridnya yang juga merupakan anaknya. Idenya mengenai jam pendulum belum juga terwujud.
Ide Galileo mengenai jam pendulum akhirnya terwujud. Adalah seorang ilmuwan Belanda, Christian Huygens (1629–1695), yang berhasil membuat jam pendulum pertama pada 1656. Jam pendulum yang idenya dicetuskan Galileo, menjaga dunia berjalan tepat waktu selama hampir tiga abad, (Harys, 2010. Biografi Galileo Galilei. Tersedia: http://bloggersejutaumat.blogspot.com/2010/12/biografi-galileo-galilei.html).
Leonardo Da Vinci (1452-1519)
Leonardo da Vinci lahir di Vinci, propinsi Firenze, Italia, 15 April 1452 anak dari Ser Piero Da Vinci dan Caterina. Leonardo da Vinci adalah arsitek, musisi, penulis, pematung, dan pelukis Renaisans Italia. Leonardo terkenal karena lukisannya yang piawai, seperti Jamuan Terakhir dan Mona Lisa. Ia juga dikenal karena mendesain banyak ciptaan yang mengantisipasi teknologi modern tetapi jarang dibuat semasa hidupnya, sebagai contoh ide-idenya tentang tank dan mobil yang dituangkannya lewat gambar-gambar dwiwarna. Selain itu, ia juga turut memajukan ilmu anatomi, astronomi, dan teknik sipil bahkan juga kuliner, (Anonim, 2012. Leonardo da Vinci. Tidak tersedia : www.leonardodavinci.net).
Pada tahun 1476 tertuduh dengan kasus homoseksual dengan seorang model laki-laki berusia belasan tahun yang bernama Jacopo Saltarelli. Sehingga beberapa tahun itu Leonardo selalu berada di bawah pengawasan yang berwenang.
Pada usia belia, ia belajar melukis dengan Andrea del Verrocchio dan mulai melukis di Firenze. Ada kabar mengisahkan Verrochio menyatakan pensiun melukis setelah menyaksikan bahwa lukisan muridnya yang satu ini lebih bagus dari lukisannya sendiri. Hasil karyanya selama di Milan yang paling termashur adalah Kuda Sforza yang dikerjakannya selama kurang lebih 11 tahun. Ia juga mengubah jalan-jalan sungai dan membangun kanal-kanal, serta menghibur Duke dengan memainkan lut dan bernyanyi. Lalu ia bekerja untuk Raja Louis XII dari Perancis di Milan dan untuk Paus Leo X di Roma.
Leonardo sangat tertarik pada ilmu pengetahuan. Ia mulai mempelajari burung terbang dan mulai merancang mesin terbang. Pemikirannya itu terdapat dalam buku catatanya sebanyak 7.000 halaman. Didalam buku itu juga terdapat sketsa tentang studi tubuh manusia. Pada zaman itu, anatomi tubuh manusia sekadar kira-kira karena siapapun dilarang keras membedah jenazah. Dengan kenekatannya mencuri-curi kesempatan membedah-bedah tubuh orang mati, yang di kemudian hari memberikan kontribusi yang sangat besar bagi dunia kedokteran.






Gambar 34. Jamuan terakhir
Mahakaryanya, Jamuan Terakhir (The Last Supper) pada tahun 1495 sampai tahun 1497 yang dilukis pada dinding biara Santa Maria di Milan.








Gambar 35. Lukisan Monalisa
Lukisan terkenal lainnya adalah Mona Lisa yang kini terdapat di musium Louvre Paris. Sebuah spekulasi yang beredar tentang siapa sesungguhnya Mona Lisa antara lain menyatakan bahwa citra perempuan tersebut merupakan hasil rekaan wajah Da Vinci sendiri. Spekulasi yang lain menyatakan bahwa perempuan tersebut memang pernah ada, seorang istri pedagang, (Tjahyaningtyas, 2012: 34).
Leonardo da Vinci pernah memegang peranan sebagai orang terkuat di sebuah organisasi rahasia bernama Priory of Sion merupakan sebuah organisasi yang menjaga ketat-ketat rahasia sejarah kristiani menurut versi yang berbeda dari kitab Injil yang beredar di masyarakat. Yang dirahasiakan adalah mengenai siapa mesias yang sesungguhnya dan kemungkinan Yesus tidak menjalankan hukum selibat.
Michaelangelo Buonarroti (1475-1564)
Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni, merupakan seorang pelukis, pemahat, pujangga, dan arsitek zaman Renaissance. Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine's Chapel, (Sculp, 2012. Michelangelo. Tersedia: www.sculptorsam.com).
Ia lahir dekat Arezzo, di Caprese, Toscana, Italia tahun 1475 M. Ayahnya Lodovico di Leonardo di Buonarotti di Simoni seorang pegawai hukum di Caprese. Ibunya Francesca di Neri del Miniato di Siena. Michaelangelo menyukai seni rupa sehingga Ghirlandaio merekomendasikannya kepada Lorenzo de Medici. Untuk usianya yang masih belasan tahun, ia membuat beberapa karya yang cukup mengagumkan, di antaranya Madonna de la Salsa (1490-1492) dan Battle of the Centaurs (1491-1492), (Anonim, 2012. The Battle Of Centaurs. Tidak tersedia: www.italian-renaissance-art.com).








Gambar 37. Battle of the Centaurs
Sejak kritik-kritik yang dilancarkan Lorenzo de Medici, Ciri perfeksionisme Michaelangelo mulai berkembang. Pada November 1497, duta besar Perancis meminta Michaelangelo membuat Pietà, patung Bunda Maria yang menangisi kematian Yesus. Karya ini menjadi pelopor dicantumkannya nama pematung langsung di karya yang dibuat.
Di masa ini, karya-karya Michaelangelo mulai mendapatkan apresiasi yang baik. Pada tahun 1504, ia mulai mengerjakan karyanya yang paling terkenal, David yang dipajang di Piazza della Signoria. Karya ini dimaksudkan sebagai simbol kekuatan Republik atas ancaman dari fraksi-fraksi yang bertikai di daerah Romawi.

Michaelangelo kembali mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan bagian terakhir dari Fresko Sistine's Chapel, yaitu Last Judgement. Karya ini kemudian menimbulkan kontroversi karena ketelanjangan. Karya ini diperbaiki oleh asistennya Daniele da Volterra dengan menambahkan lukisan kain penutup di bagian yang dianggap penting.
Kecenderungan karya Michaelangelo menampilkan objek nudity tubuh laki-laki membuat ia diduga mengalami kelainan homoseksualitas. Selain itu, pada masa Medici homoseksualitas memang menjadi budaya yang lazim terjadi walaupun tetap dianggap amoral.
Michaelangelo meninggal pada 18 Februari 1564 di usia 88 tahun. Ia sempat membuat parodi Pietà, dengan mengganti Bunda Maria dengan sosok yang diduga adalah dirinya sendiri.
Ajaran dan Karya kefilsafatan Gerakan Renainsans
Sejarah Renaissance muncul sebagai gerakan kultural, pada awalnya merupakan pembaharuan di bidang kejiwaan, kemasyarakatan, dan kegerejaan di Italia pada pertengahan abad XIV, berakar pada cita-cita keksatriaan abad pertengahan yang menginginkan kemewahan, kemegahan, keperkasaan dan kemasyuran, mereka mensintesakan gagasan Kristiani dengan pemikiran klasik (Yunani-Romawi). Tujuan utama gerakan ini adalah mempersatukan kembali gereja yang terpecah-belah akibat skisma (perang agama). Timbulnya kota-kota dagang yang makmur akibat perdagangan mengubah perasaan pesimistis (zaman Abad Pertengahan) menjadi optimistis.

Dukungan dari keluarga saudagar kaya semakin menggelorakan semangat Renaissance sehingga menyebar ke seluruh Italia dan Eropa. Pemikiran yang muncul bersifat konkret, realistis dan nyata, memuja manusia sendiri sebagai pencipta, fokus pada dunia, kebendaan, nilai-nilai filosofis yang dianut dipengaruhi oleh kebendaan. Semboyan Carpe Diem sebagai antithesa Momento Morie dan seni pada zaman Renaissance mendorong kebebasan, (Hadiwijono, 1980: 12).
Batas yang jelas mengenai kapan dimulainya penghabisan Abad Pertengahan sulit ditentukan. Yang dapat ditentukan ialah bahwa Abad pertengahan itu telah selesai tatkala datangnya Zaman Renaissance yang meliputi kurun waktu abad abad ke-15 dan dan ke-16. Abad Pertengahan adalah abad ketika alam pikiran didukung oleh Gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran amat terbatas, perkembangan sains sulit terjadi, juga perkembangan filsafat, bahkan dikatakan manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif. Di dalam perenungan mencari perenungan itu, orang teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak dikungkung, sains maju, yaitu zaman dan peradaban Yunani kuno. Usaha ini sebenarnya telah dimulai di dalam karya orang-orang Italia di dalam kesastraan.
Dengan semakin kuatnya Renaissance sekularisasi berjalan makin kuat. Hal ini menyebabkan agama semakin diremehkan bahkan kadang digunakan untuk kepentingan sekulerisasi itu sendiri. Semboyan mereka “religion was not highest expression of human values”. Bahkan salah seorang yang dilukiskan sebagai manusia ideal renaissance Leon Batista Alberti (1404-1472), secara tegas berani mengatakan “Man can do all things if they will”. Renaissance mengajarkan kepada manusia untuk memanfaatkan kemampuan dan pengetahuannya bagi pelayanan kepada sesama. Manusia hendaknya menjalani kehidupan secara aktif memikirkan kepentingan umum bukan hidup bersenang-senang dalam belenggu moral dan ilmu pengetahuan di menara gading. Manusia harus berperan aktif dalam kehidupan, bukan sifat pasif seraya pasrah pada takdir. Namun, manusia menjadi pusat segala hal dalam kehidupan atau Antoposentrisme.
Manusia renaisans harus berani memuji dirinya sendiri, mengutamakan kemampuannya dalam berfikir dan bertindak secara bertanggung jawab, menghasilkan karya seni dan mengarahkan nasibnya kepada sesama. Keinginan manusia untuk menonjolkan diri baik dari keindahan jasmani maupun kemampuan intelektual-intelektualnya. Keinginannya itu dituangkan dalam berbagai karya seni sastra, seni lukis, seni pahat, seni musik dan lain-lain. Ekspresi daya kemampuan manusia terus berkembang sampai saat ini sehingga di zaman modern ini pun tidak ada lagi segi kehidupan manusia yang tidak ditonjolkan.
Zaman ini sering disebut juga sebagai Zaman Humanisme. Maksud ungkapan ini adalah manusia diangkat dari abad pertengahan. Pada Abad Pertengahan itu manusia dianggap kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari Gereja (Kristen), bukan ukuran haruslah manusia. Karena manusia mempunyai kemampuan bepikir, maka humanisme menganggap manusia mampu mangatur dirinya dan mengatur dunia, (Tafsir, 2008: 125).
Jadi, ciri utama Renaisans ialah humanisme (manusia mampu mangatur dirinya dan mengatur dunia), individualisme (filsafat yang memiliki pandangan moral, politik atau sosial yang menekankan kemerdekaan manusia serta kepentingan bertanggungjawab dan kebebasan sendiri), lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama), empirisme (suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal), dan rasionalisme (Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam filsafat), (Sofyan, 2010: 70-75).
Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah pengetahuan rasional berkembang. Filsafat berkembang bukan pada Zaman Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, ini karena semangat humanisme itu. Ini kelihatan dengan jelas kelak pada zama modern. Rupanya setiap gerakan pemikiran mempunyai kecenderungan menghasilkan yang positif, tetapi sekaligus yang negatif. Contohnya gerakan Muhammad yang mengajarkan Islam dan gerakan Kant juga.
Sumbangan Filsafat Renainsans Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Selama abad ke-14 dan ke-15 di Italia muncul keinginan yang kuat akan penemuan-penemuan baru dalam seni dan sastra. Mereka telah melihat pada pertama bahwa kemajuan itu telah terjadi. Ketika itu dunia barat telah biasa membagi tahapan sejarah pemikiran menjadi tiga periode, yaitu ancient, medieval, dan modern. Pada zaman ancient atau zaman kuno itu mereka melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan. Zaman Renaisans rupanya dianggap juga sebagai suatu babak penting dalam sejarah peradaban. Voltaire, orang yang membagi babak sejarah peradaban menjadi empat, menganggap Renaisans merupakan babak ketiga dari keempat babak itu. Pada abad ke-19 M.
Sejarahwan Perancis terkenal bernama Jules Michelet yang menyatakan bahwa Renaisans adalah periode penemuan manusia dan dunia. Dialah yang mula-mula menyatakan bahwa Renaisans lebih dari sekedar kebangkitan peradaban yang merupakan permulaan kebangkitan dunia modern. Sejarahwan ini diikuti oleh Jacob Burckhardt yang menginterpretasikan Renaisans sebagai periode sejak Dante sampai Michelangelo di Italia yang merupakan kelahiran spirit modern dalam transformasi idea dan lembaga-lembaga, (Tafsir, 2003: 125).
Dari berbagai perdebatan tentang Renaisans. yang dapat diambil ialah bahwa Renaisans ialah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah Abad Kegelapan sampai muncul Abad Modern.
Perkembangan itu terutama sekali dalam bidang seni lukis dan sastra. Akan tetapi, di antara perkembangan itu terjadi juga perkembangan dalam bidang filsafat. Renaisans telah menyebabkan manusia mengenali kembali dirinya, menemukan kembali dunianya. Akibat dari sini ialah munculnya penelitian-penelitian empiris yang lebih giat.
Berkembangnya penelitian empiris merupakan salah satu ciri Renaissance. Oleh karena itu, ciri selanjutnya adalah munculnya sains. Di dalam bidang filsafat, Zaman Renaissance tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Perkembangan sains ini dipacu lebih cepat setelah Descartes berhasil mengumumkan rasionalismenya. Humanisme dan Individualisme merupakan ciri Renaissance yang penting. Humanisme adalah pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya. Ini suatu pandangan yang tidak menyenangkan orang-orang yang beragama.
KEUNGGULAN DAN KEKURANGAN GERAKAN RENASAINS
Renaisans merupakan periode penemuan manusia dan dunia, maksudnya, pada abad renaisans manusia telah menemukan dirinya sendiri, pemikiran tidak dikungkung, sains maju, selain itu juga muncul keinginan yang kuat akan penemuan-penemuan baru dalam seni dan sastra, (Tafsir, 2008: 125).
Renaisans ialah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah Abad kegelapan sampai muncul abad modern. Perkembangan itu terutama sekali dalam bidang seni lukis dan sastra. Akan tetapi, di antara perkembangan itu terjadi perkembangan dalam bidang filsafat. Renaisans telah menyebabkan manusia mengenali kembali dirinya, menemukan dunianya. Akibat dari sinilah muncul penelitian-penelitian empiris yang lebih signifikan.
Berkembangnya penelitian empiris merupakan salah ciri renaisans. Oleh karena itu, ciri selanjutnya adalah munculnya sains. Di dalam bidang filsafat, zaman renaisans tidak menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan karya seni dan sains.
Namun sayangnya pada zaman ini mereka lepas dari agama (tidak mau diatur oleh agama). Rupanya setiap gerakan pemikiran mempunyai kecenderungan menghasilkan yang positif, tetapi sekaligus yang negatif.

BAB VII
FILSAFAT ISLAM

Faktor yang Mendorong Timbulnya Filsafat di Dunia Islam
Filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia, yang berarti philos = cinta, suka (loving), dan Sophia = pengetahun, hikmah (wisdom). Maka philosophia ini mengartikan tentanng cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang-orang yang cinta kepada pengetahuan disebut juga Philosopher, dalam bahasa Arabnya failusuf. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau dengan, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan, (Poerwantana, 1987:1-3).
Kata Islam, mempunyai konotasi dengan dan diartikan sebagai “agama Allah”. Agama artinya jalan Agama Allah berarti jalan Allah, yaitu jalan menuju kepada-Nya dan bersumber daripada-Nya. Allah adalah Tuhan seru sekalian alam. Ada yang menginterpretasikan filsafat Islam sebagai hasil pemikiran filusuf tentang ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis.
Adapun jika filsafat dinamai dengan filsafat Islam, akan mengesampingkan pemikiran filsuf non-muslim yang punya andil di dalam filsafat ini. Kedua, penamaan filsafat Arab merupakan penamaan yang pas dan sesuai dengan realita karena karya-karya para filsuf ini tertulis dengan bahasa arab.
Jadi, dinamakan filsafat Islam karena unsur yang paling berpengaruh di dalam filsafat ini adalah Islam. Selain itu, filsafat ini juga mencakup unsur-unsur Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Para punggawa filsafat ini berusaha menyinergikan antara unsur Yunani dan unsur Islam. Mereka mengakulturasikan pemikiran-pemikiran tersebut kedalam frame baru yang dinamakan dengan Filsafat Islam.
Pada zaman berikutnya muncullah sekelompok kaum penyangga yang mengartikan islam tidak hanya agama saja, tetapi merupakan suatu yang lebih luas, yakni suatu peradaban tertentu. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Profesor Bouzanni dari Italia, yang mengartikan Filsafat Islam sebagai Peradaban, bukan sebagai Agama, (Alhawani, 1997: 14).
Oleh sebab itu, Filsafat Islam bukan sekedar imitasi dari pemikiran Yunani, karena Filsafat Islam pertama-tama dan secara khususnya menggarap masalah-masalah yang berasal dari dan mempunyai relevansi bagi umat Islam, hal ini tidak berarti menyangkal hutang budi pemikiran muslim kepada bangsa Yunani, melainkan hanya dimaksudkan untuk meluruskan persoalan saja.
Munculnya filsafat Islam jika ditilik dari sejarahnya, terdapat faktor dari Islam sendiri (internal) maupun yang dari luar (eksternal).
Faktor Internal
Faktor internal yang mendorong munculnya filsafat Islam adalah al-Qur’an, yang di dalamnya terdapat ayat yang menyuruh manusia untuk berpikir. Terdapat sebuah asumsi bahwa filsafat Islam tidak akan lahir jika pemikiran-pemikiran Yunani tidak masuk ke negeri-negeri Islam dengan ajaran-ajarannya yang berbeda dengan Islam adalah tidak benar, padahal sumber inspirasi yang sesungguhnya dan asli bagi pemikir dan intelektual Islam adalah al-Qur’an dan Hadis.
Faktor Eksternal
Adanya penerjemahan buku-buku bahasa Yunani ke bahasa Arab. Sebagaimana dalam sejarah, bahwa filsafat awalnya berasal dari Yunani. Ketika di Romawi sudah mengalami perkembangan, Alexander the Great lalu berinisiatif memperlebar wilayah kekuasaannya ke Afrika Utara dan Asia, ia tak hanya membawa segerombolan tentara, tetapi mengikut sertakan para ilmuan.
Setelah kemenangan dalam genggamannya, kemudian Alexander mencoba mengkombinasikan antara kebudayaan Yunani dengan kebudayaan negeri-negeri yang baru di kuasainya. Terbukti dengan didirikannya pusat-pusat kebudayaan dengan mewujudkan kebudayaan Yunani sebagai intinya. Untuk bagian Barat didirikan pusat kebudayaan yang tepatnya di Athena dan Roma, sedangkan untuk bagian Timur didirikan pusat kebudayaan yang tepatnya di Alexandria (Iskandariyah) Mesir, Antioch di Suriah, Jundisyabur di Mesopotamia, dan Bactra di Persia, bersamaan dengan pristiwa tersebutlah filsafat mulai masuk ke Timur.
Ketika pemerintahan berada di bawah kekuasaan Khulafaur rasyidin mereka dapat menaklukan kota-kota penting seperti Mesir, Suriah, Irak, dan Persia dengan sendirinya pun pusat-pusat kebudayaan yang berada di sana dapat beralih tangan kepada mereka. Namun yang menjadi permasalahan pada waktu itu umat Islam belum memberikan perhatian yang lebih terhadap ilmu pengetahuan disertai ketidakbisaan mereka dalam berbahasa Yunani.
Pada masa selanjutnya tepatnya di masa Daulah Abbasiyah berkuasa, terjadi perubahan yang sangat signifikan, yang dulunya umat Islam kurang perhatiannya terhadap Ilmu Pengetahuan berevolusi menjadi umat yang penuh antusias terhadap ilmu pengetahuan. Harun ar-Rasyid merupakan khalifah di masa Daulah Abbasiyah yang pada waktu itu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pengetahuan dan filsafat Yunani, terbukti dengan pernahnya beliau belajar filsafat di Persia dibawah asuhan Yahya ibn Khalid ibn Barmak. Di masa pemerintahannya ia mengadakan kegiatan penerjemahan secara resmi. Buku-buku mengenai kedokteranlah yang didahulukan didalam penerjemahan, kemudian baru ilmu pengetahuan-pengetahuan lainnya termasuk filsafat. Awalnya kedalam bahasa Suryani kemudian ke dalam bahasa Arab, namun pada akhirnya penerjemahan langsung ke bahasa Arab.
Kegiatan tersebut terus sampai mencapai puncak kemajuannya di masa pemerintahan khalifah al-Makmun, beliau adalah seorang intelektual yang sangat gandrung terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat.Kemudian mendirikan sebuah wadah penerjemahan sekaligus sebagai perpustakaan yang membantu perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Untuk kepentingan tersebut al-Makmun mengutus para prajuritnya ke pelbagai daerah untuk menemukan buku-buku pengetahuan dan filsafat yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan adanya kegiatan penerjemahan tersebut tanpa disadari mulai menarik minat para intelektual dan pemikir Islam untuk mempelajarinya. Sebagian dari mereka setelah mempelajari dan menyerap pemikiran-pemikiran rasional filsafat Yunani tersebut, mulai menciptakan pikiran-pikiran yang rasional juga, dan diwaktu itulah filsafat Islam mulai dikenal. (Aryasupang. 2012. Faktor-Faktor Lahirnya Filsafat Islam. Tersedia: http://Aryasupang.wordpress.com/.)
Sumber Filsafat Islam Suatu Pendidikan Holistik
Secara garis besar, dalam ilmu pengetahuan terdapat hubungan antara subyek dengan obyek kesadaran, antara ilmuan dan pengetahuan alam dengan batasan pengetahuan. Kondisi itu memberikan arti bagaimanakah cara memperoleh ilmu pengetahuan yang holistik dan cara empiris.
Filsafat Islam memiliki pandangan yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, merupakan sebuah Rekonstruksi Holistik, yang terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya penerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitas-entitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui keabsahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu.
Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama.
Ada beberapa sumber ilmu pengetahuan yang kita ketahui yaitu: kepercayaan yang berdasarkan tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan agama, kesaksian orang lain, panca indra/pengalaman, akal pikiran dan intuisi pemikiran. Akan tetapi pada hakekatnya sumber ilmu pengetahuan itu ada dua yaitu Wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dan Alam semesta.
Wahyu
Wahyu merupakan ayat-ayat Allah yang tersurat, berupa kalam atau firman-Nya yang datang melalui Rasulullah saw, kemudian dikenal dengan ayat kauliayah. Wahyu dijadikan sumber pengetahuan Karena dalam Islam, pedoman hidup seseorang muslim adalah al-Qur’an dan Sunnah, (Anonim, 2012. http://pendidikanterpadu.wordpress.com).
Keduanya merupakan wahyu Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw, secara tegas Allah mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan untuk menjadi hudan lil muttaqin (petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa) atau hudan linnas (petunjuk bagi ummat manusia). Ia juga merupakan al-Bayyinah (Penjelas) segala sesuatu dan al-Furqan (pembeda) antara yang haq dan yang bathil. Petunjuk kejalan yang lurus.
Akal
Pengetahuan segala hakekat segala keadaan. Akal itu ibarat sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati. Pengertian kedua ialah memperoleh pengetahuan itu dan itu adalah hati, (Rosali, 1987: 116).
Sa’adi bin Yoseph, tokoh yahudi abad pertengahan, mengatakan bahwa agama memerrlukan akal untuk menjelaskan dan mempertahankanya. Dengan kata lain bahwa akal dibandingkan dengan wahyu maka akal mempunyai peranan kedua. Oleh karena itu wahuyu tidak perlu takut kepaada akal, bahkan akal merupakan sandaran.



Indera
Indra merupakan sumber pengalaman yang diperoleh melalui proses penalaran suatu permasalahan dan seseorang dapat menemukan jawabannya dengan menggunakan indra.
Kaum positivis, karena itu, hanya mengakui indera (melalui observasi) sebagai satu-satunya sumber ilmu yang sah dan dapat dipercaya. Sumber-sumber ilmu pengetahuanyang lain, seperti wahyu dan intuisi, tidak dapat dipercaya karena tidak berpijak pada realitas tapi pada ilusi manusia. Alasan mereka mengatakan begitu adalah karena wahyu dan pengalaman mistik selalu mengandaikan adanya hubungan yang erat dengan dunia metafisik, sehingga validitasnya tergantung pada status eksisitensi (ontologis) dunia metafisik itu sendiri, (Ahamad, 2012. Indra. Tersedia: http://ahmadsamantho.wordpress.com/about/).
Intuisi
Merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui peroses penalaran tertentu. Karena seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawabannya atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui peroses berfikir yang berliku-liku tiba-tiba saja ia sudah sampai di situ.
Intuisi bagi al-Attas adalah pemerolehan ilmu di peringkat yang tinggi, iaitu di peringkat istimewa yang hanya dialami oleh orang-orang tertentu (khawas atau khawas al-khawas), di mana sampainya ilmu merupakan proses yang cepat dan langsung tanpa batas-batas sujek-objek, partikular-partikular, dan keberagaman pada aspek eksternal manusia. Inilah intuisi yang merupakan kondisi ihsan bagi kalangan Sufi.
Melalui informasi dari wahyu, al-Attas menyatakan, intuisi ini sangat mungkin terjadi kepada manusia. Ini bisa dilihat dari tiga konsep yang berkaitan erat dengan pembahasan intuisi ini, yakni tentang kosmologi (cosmology), tentang eksistensi manusia (human existence), dan tentang adanya peran dominan di luar akal diri manusia (beyond human mind). Dari sisi kosmologi, manusia dan makluk yang lain adalah entitas terendah dari tingkatan-tingkatan kewujudan dalam kosmos Allah.
Oleh karena itu, apabila menyadari tentang hal ini, maka ada kemungkinan besar, berdasarkan sudut pandang eksistensi diri manusia yang boleh melintasi pengalaman fisik, maka kemungkinan sampainya manusia kepada makna-makna intuitif itu sangat besar. Belum lagi, ketika dominasi peranan di luar diri manusia memang tidak boleh dibantah lagi, apakah itu yang disebut Ruh al-Quds, ’Alam al-Mithal dan al-Mala’ al-A’la, apabila manusia betul-betul menyadari ini dan mencoba melaksnakan peraturan agama dengan baik, menghindari diri dari larangan Allah, maka ilmu intuitif itu akan semakin nyata baginya. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengalaman intuitif ini, perlu persiapan, latihan, dan pendisiplinan diri seseorang, (Muhakbarilyas. 2012. Konsep Intuisi Menurut Al-attas. Tersedia: http://muhakbarilyas.blogspot.com/2012/04/konsep-intuisi-menurut-al-attas_27.html/).
Filosof Muslim
Ibnu Sina
Riwayat Hidup
Ibnu Sina, dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Bagi banyak orang, beliau adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya di bidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. George Sarton menyebut Ibnu Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada semua bidang, tempat, dan waktu.”, (Anwar Khoirul, 2013. Tersedia: http://Pemikiran filosof muslim.com).
Nama lengkap adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina.Ia dikenal sebagai seorang filosof Islam terbesar dengan gelar Syaikh ar-Ra’is. Dilahirkan dalam keluarga bermazhab Syi’ah pada tahun 370 H./797 M. Di rumah ibunya Afshana, di desa Efsyanah (Kawasan Bukhara) sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara. Di Bukhara ia dibesarkan dan belajar falsafah, kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Dalam usia sepuluh tahun, ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal al-Qur’an seluruhnya.
Selain itu, ia juga mempelajari ilmu astronomi, matematika, fisika, metafisika, logika dan kedokteran. Dalam usia enam belas tahun, ia telah dikenal sebagai seorang dokter yang ahli dalam berbagai penyakit. Kemudian ia mengembangkan teori yang diperolehnya dengan berbagai percobaan empiris melalui pengobatan orang sakit. Dalam usia delapan belas tahun, ia telah menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti falsafah, matematika, logika, astronomi, musik, mistik, bahasa dan ilmu hukum Islam. Namanya semakin menanjak dalam ilmu kedokteran, terutama setelah ia mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh penguasa Bukhara, Nuh ibn Mansur (387 H./997 M.). Sebagai imbalannya, Sultan ini mengizinkan Ibn Sina memanfaatkan perpustakaannya yang penuh berisi buku-buku yang sukar diperoleh dalam perpustakaan lain. Namun nasib buruk menimpanya karena perpustakaan itu terbakar, sehingga ia dipenjarakan karena dituduh sebagai pelakunya.
Kegemarannya, dalam ilmu falsafah telah membuatnya penuh kesungguhan untuk mempelajarinya selama dua tahun penuh. Ia banyak mengalami kesulitan memahami ilmu ini, sehingga ia sering keluar masuk masjid untuk beribadat dan berdoa kepada Allah pada saat-saat menghadapi kesulitan memahaminya. Dalam-dalam tahun tersebut, ia menghabiskan waktu siangnya untuk bekerja dan malamnya untuk membaca hingga larut malam. Diriwayatkan bahwa ia pernah membaca buku Metafisika karangan Aristoteles sebanyak empat puluh kali, tapi tidak dipahaminya sama sekali. Kemudian secara kebetulan, ia ditawarkan sebuah buku oleh seorang penjual buku loak dengan harga yang sangat murah, lalu dibelinya seharga tiga dirhamsetelah ia menolaknya beberapa kali. Alangkah gembiranya, setelah diketahui bahwa buku tersebut, adalah karya al-Farabi, sehingga membantunya dengan mudah untuk memahami buku Aristoteles tersebut, (Ahmad Daudy, 1992: 66-67).
Dalam usia dua puluh tahun, ayahnya meninggal dunia. Musibah ini telah menimbulkan beban berat atas kehidupan ibn Sina, sehingga ia meninggalkan Bukhara menuju Jurjan, dimana ia berjumpa dengan Abu ‘Ubaid al-Juzajani yang kemudian menjadi seorang muridnya yang menulis sejarah hidupnya. Tidak lama ia menetap dikota Jurjan karena kekacauan politik yang melanda, lalu ia pergi ke Hamazan dimana penguasa wilayah ini, Raja Syamsuddaulah telah mengangkatnya sebagai menteri yang merupakan imbalan atas keberhasilan ibn Sina menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Pada saat itu muridnya al-Juzajani, meminta ibn Sina menulis suatu buku yang lengkap dalam falsafah Aristoteles. Lalu ia menulis, “Bagian Alam” dari kitab asy-Syifa’, disamping itu juga ia melanjutkan penulisan kitab tentang ilmu kedokteran, al-Qanun fi al-Thibb yang bagian pertamanya telah ditulis di Jurjan.
Kehidupan ibn Sina penuh dengan aktifitas dan kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia ditimpa sakit perut (maag) yang tidak sanggup ia mengobatinya. Pada bulan-bulan terakhir dari hayatnya, ia menanggalkan pakaiannya untuk diganti dengan pakaian putih, memerdekakan semua budaknya dan menyedekahkan harta kekayaannya untuk beribadat kepada Allah. Pada tahun 428 H./ 1037 M. Ibn Sina meninggal dunia pada hari Jum’at pada bulan Ramadhan, dalam usia 58 tahun dan dikuburkan di Hamazan, (Ahmad Daudy, 1992: 68).
Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Dalam pemikiran klasik, falsafah merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan.Darinya segala jenis ilmu berasal. Konsep ini berasal dari pemikiran Yunani, terutama dari Aristoteles, dan kemudian mulai mempengaruhi para pemikir Islam, termasuk ibn Sina.
Jika dilihat dari sisi zaman, maka ilmu yang beragam jenis itu menurut ibn Sina dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ilmu yang berlaku pada zaman tertentu saja karena sering berubah-ubah, dan ilmu yang tidak terkait dengan zaman, berlaku sepanjang masa. Ilmu inilah yang disebut “ilmu hikmah”.
Adapun ilmu hikmah menurut ajaran Ibnu Sina, terdiri dari ilmu dasar dan ilmu cabang, seperti kedokteran, pertanian, ilmu nujum dan lain-lain. Ilmu dasar merupakan bagian terpenting dalam ilmu hikmah dan Ibn Sina membaginya kedalam dua bagian yaitu ilmu mantik (ilmu alat dalam berpikir) dan ilmu yang bukan alat yang digunakan dalam hal-hal yang empiris dan metafisis, dan ini terbagi menjadi dua bagian :
Ilmu teoritis yang bertujuan untuk membersihkan jiwa melalui makrifah, yaitu ilmu fisika, matematika, ketuhanan dan ilmu kulli.
Ilmu praktis yang bertujuan untuk beramal sesuai dengan makrifah, yaitu ilmu akhlak, mengatur pergaulan keluarga dalam rumah tangga (tadbir al-manzil), mengatur pergaulan umat dalam negara (tadbir al-madinah) dan kenabian.
Yang pertama berupaya untuk mengetahui kebenaran, dan yang kedua untuk mengetahui kebaikan.
Dengan demikian, ilmu hikmah menurut Ibnu Sina terdiri dari delapan bagian, yaitu logika, matematika, ketuhanan, ilmu kulli, akhlak, mengatur pergaulan keluarga dalam rumah tangga, mengatur pergaulan umat dalam negara, dan kenabian, (Ahmad Daudy, 1992: 70).
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan ilmu hikmah, manusia akan memperoleh kesempurnaan, dan kesempurnaan itu akan diperoleh tidak hanya sekedar mengetahui hal-hal teoritis, tapi juga harus bekerja dan berusaha agar hidupnya sesuai dengan apa yang diketahuinya.
Diantara karya-karya buku karangan Ibnu Sina adalah :
As- Syifa’. Kitab ini adalah karangan Ibnu Sina yang terpenting tentang falsafah, dan terdiri atas empat bagian yaitu logika, fisika, matematika dan metefisik (Ilahiyyat); suatu ensiklopedia besar dalam ilmu falsafah yang terdiri atas delapan belas jilid tebal, (Ahmad Daudy, 1992: 68).
Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
Qanun, buku ini adalah buku ilmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia). Buku ini sangat tebal dan terdiri dari lima bagian (kitab). Dalam kitab ini Ibnu Sina menjelaskan cara-cara pengobatan yang pernah dilakukan oleh para dokter dahulu hingga zamannya. Juga menguraikan ilmu anatomi, jenis-jenis penyakit, cara menjaga kesehatan, penyakit menular yang terjadi lewat air dan debu. Juga tentang penyakit lever, jantung, syaraf, dan serangan jantung.
An-Najah, buku ini merupakan ikhtisar kitab Al-Syifa’, dan ditulis bagi orang-orang khusus yang terpelajar yang ingin mengetahui dengan lengkap dasar-dasar ilmu hikmah.
Al-Isyara, kitab ini berukuran kecil, tetapi padat isinya dan sukar dipahami. Isinya mengandung perkataan mutiara dari berbagai ahli pikir dan rahasia yang berharga yang tidak terdapat dalam kitab-kitab lain, diantaranya uraian tentang ilmu logika dan hikmah serta kehidupan dan pengalaman kerohanian.
Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
Al-Musiqa. Buku tentang musik.
Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid. Danesh Namesh. Buku filsafat.
Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap, (Ahmad Daudy, 1992: 68).
Sumbangan Filsafat Ibnu Sina Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair.Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini kemudian menjadi buku teks (text book) dalam Ilmu Kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit.
Kitab lainnya berjudul Al-Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan nama Avendauth-Ben Daud) di Toledo. Oleh karena Al-Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika dan De Anima.
Ibnu Rusyd
Riwayat Hidup
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam ketiga tebesar dibelahan barat dunia Islam. Ibnu Rusyd (1126-1198) dalam bahasa Latin dikenal dengan nama Averroes, adalah seorang filsuf dari Spanyol (Andalusia). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Kakeknya dikenal sebagai ulama fiqih dalam mazhab Maliki dan pernah menjadi hakim agung Cordova, pengaruhnya sangat besar sebagai seorang politikus, sebagai tokoh budaya dan sebagai seorang ahli fiqih juga ulama besar. Latar belakang keagaman inilah yang memberi ibn Rusyd kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam studi-studi keislaman, (Syarif, 1998 : 140).
Ibn Rusyd adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta, sehingga dalam usia yang masih muda, ia telah mampu menghafal kitab al-Muwaththa’, karangan Imam Malik yang dipelajarinya bersama ayahnya abu al-Qasim. Selain itu, ia juga belajar al-Qur’an beserta penafsirannya, Hadist Nabi, Ilmu Fiqh, bahasa dan sastra Arab dipelajarinya secara lisan dari seorang ahli (‘alim) dan mendalami banyak ilmu, seperti matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan, (Syarif, 1998 : 140-141).
Ibn Rusyd hidup dalam situasi politik yang sedang berkecamuk. Ia lahir pada masa pemerintahan Almurafiah yang digulingkan oleh golongan Almuhadiah di Marrakusy pada tahun 545 H./1147 M., yang menaklukan Cordova pada tahun 543 H./ 1148 M. Tiga orang pewarisnya dari golongan Almuhadiah adalah ‘abd al-Mu’min, abu Ya’qub dan Yusuf, yang diabdi oleh ibn Rusyd, terkenal karena semangat berilmu dan berfilsafat mereka, (Syarif, 1998 : 142).
Ketika abu Ya’qub menjadi Amir (pemimpin) beliau memerintahkan ibn Rusyd untuk menulis ulasan-ulasan mengenai buku-buku Aristoteles yang berisi ungkapan-ungkapan yang sulit untuk dipahami seperti, “Bagaimana pendapat mereka mengenai surga?”. Yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ yaitu para filosof. Pengulasan ini bertujuan untuk mempermudah bagi banyak orang untuk memahami buku-buku tersebut. Semenjak itu, ibn Rusyd disebut sebagai “Juru Ulas” dan dengan sebutan itulah ia dikenal masyarakat Eropa pada abad pertengahan, (Syarif, 1998 : 143-144).
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Diriwayatkan bahwa hanya dua malam yang dilewatkan begitu saja tanpa membaca dan menulis, yaitu malam meninggal ayahnya dan malam perkawinannya. Pada tahun 1169 M., ia diangkat menjadi hakim di Sevilla dan di Cordova. Pada tahun 1171 M, ia banyak menulis buku, terutama buku tentang filsafat, (Ahmad Daudy, 1992 :154).
Ibn Rusyd lebih dikenal dan dihargai di Eropa Tengah daripada di Timur dikarenakan beberapa sebab :
Tulisan-tulisannya banyak diterjemahkan kedalam bahasa latin dan diedarkan serta dilestarikan, sedangkan teks yang asli dalam bahasa Arab dibakar atau dilarang diterbitkan lantaran mengandung semangat anti filsafat dan filosof.
Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metode ilmiah sebagaimana dianut oleh ibn Rusyd, sedangkan di Timur ilmu dan filsafat mulai dikorbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan, (Syarif, 1998 : 145).
Aib dan siksaan yang diterimanya serta diusirnya ia dari tanah kelahirannya pada tahun 593 H./1196 M., merupakan akibat dari adanya pertentangan ilmu dan filsafat dengan agama, dimana agama-lah yang memenangkan pertikaian di Timur dan ilmu memenangkannya di Barat. Pertarungan antara kaum agamawan dan filosof untuk mendapatkan kekuasaan politik, tidak pernah reda sejak abad ke-3 H./ke-9 M, (Syarif, 1998 : 145).
Tipu daya yang dilancarkan oleh kaum agamawan kepada ibn Rusyd seperti tuduhannya mengenai ibn Rusyd telah mengemukakan di dalam tulisannya bahwa Venus itu suci, dan mengemukakan bahwa ia menyangkal kebenaran historis mengenai orang-orang ‘Ad yang disebut-sebut di dalam al-Qur’an yang mengakibatkan ibn Rusyd dibuang dari tanah kelahirannya dan juga tulisan-tulisannya dibakar di muka umum, (Syarif, 1998 : 145-146).
Namun aib yang diderita oleh ibn Rusyd tidak berlangsung lama, ia diampuni dan dipanggilnya kembali (dibebaskan) oleh al-Mansur, sekembalinya dari Marrakusy. Kemudian ibn Rusyd akhirnya pergi ke Marrakusy dan ia meninggal pada tanggal 9 shafar, tahun 595 H./11 Desember 1198 M, dalam usia 72 tahun. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan diperkuburan keluarganya, (Syarif, 1998 : 146).
Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Salah satu ajarannya seperti tentang syara’, menurutnya tidak bertentangan dengan filsafat karena filsafat itu pada hakikatnya tidak lebih daripada bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya Pencipta. Secara sederhana dapat diartikan bahwa bagaimana kita dapat merasakan agama melalui akal seperti alam semesta ini ada karena adanya pencipta. Dalam hal ini, syara’ pun telah mewajibkan orang mempergunakan akal, seperti yang jelas dalam firman Allah : ”Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar) tentang kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan Allah”, (al-A’raf: 185).
Di antara karya-karya buku karangan ibn Rusyd adalah :
Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih yang dipakai sebagai buku acuan dalam bahasa Arab)
Kulliyaat fi At-Tib (buku yang membahas ilmu pengobatan yang sama pentingnya dengan Canon-nya ibn Sina dan telah diterjemahkan dalam bahasa latin, namun buku tersebut tidak begitu terkenal sebagaimana buku ibn Sina).
Sumbangan Filsafat Ibnu Rusyid Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Sumbangan ibnu Rusyid terhadap ilmu pengetahuan diawali pada abad petengahan yaitu pada dunia barat dalam hal filsafat. Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator fikiran-fikiran Aristoteles, karenanya dijuluki Aristoteles II, pengaruhnya sangat menonjol atas pendukung filsafat skholastik Kristen diabad pertengahan dan fikiran-fikiran sarjana Eropa pada Abad pertengahan.
Karya-karya Ibnu Rusyd meliputi bidang filsafat, kedokteran dan fikih dalam bentuk karangan, ulasan, essai dan resume. Hampir semua karya-karya Ibn Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga kemungkinan besar karya-karya aslinya sudah tidak ada.

BAB VIII
FILSAFAT BARAT MODERN

Filsafat modern berawal pada paruh kedua abad ke 16 masehi setelah terlebih dulu dimulai oleh gerakan Renaissance dan Humanisme di Eropa barat (pertengahan tahun 1300-an hingga 1600) (Abidin, 2011:110).
Para humanis bermaksud meningkatkan suatu perkembangan yang harmonis dari keahlian-keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia dengan mengupayakan kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik (Achmadi, 1995:107). Pada masa ini, obyek kajian utama filsafat adalah manusia (antroposentris). Perbedaan obyek besar kajian inilah yang menyebabkan adanya pengklasifikasian dalam sejarah Filsafat Barat. Pada Abad Modern, persoalan-persoalan tentang hakikat manusia terus diungkap, mengenai apa sebenarnya yang disebut manusia itu. Dari sinilah lahir bermacam-macam disiplin ilmu yang membahas tentang manusia seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran dll. semua ini memperlihatkan betapa problema manusia benar-benar merupakan pembicaraan yang menarik sepanjang masa (Muhammad, 2005:96).
Abad Pertengahan adalah abad ketika alam pikiran dikungkung oleh Gereja. Dalam keadaan seperti itu kebebasan pemikiran amat dibatasi, sehingga perkembangan sains sulit terjadi, demikian pula filsafat tidak berkembang, bahkan dapat dikatakan bahwa manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif. Dalam perenungan mencari alternatif itulah orang teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju, pemikiran tidak dikungkung, sehingga sains berkembang, yaitu zaman Yunani Kuno. Pada zaman Yunani Kuno tersebut orang melihat kemajuan kemanusiaan telah terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan kembali (Tafsir, 1998:109). Oleh karena itu munculah Gerakan Renaissance, dan Humanisme. Gerakan Renaissance dan Humanisme merupakan reaksi atas kekuasaan Greja. Menurut gerakan ini, manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari alam semesta sehingga memiliki kebebasan untuk mencari kebenarannya sendiri. Berbeda dari pandangan filsafat yang berkembang pada Abad Pertengahan, pada zaman ini banyak filsuf berpegang teguh pada pendirian bahwa manusia pada hakikatnya bukan sebagai viator mundi (penjiarah dimuka bumi), melaikan sebagai vaber mundi (pekerja atau pencipta dunianya). Manusia harus mencari sendiri kebenaran, bukan bersandar pada ajaran yang telah diberikan oleh gereja dan agama. Upaya melepaskan diri dari kekuasaan Gereja membawa mereka pada penggalian karya-karya lama dari zaman Yunani Kuno. Doktrin-doktrin heliosentris dari Phytagoras (582-496 M) pada waktu itu digali dan dikaji ulang (Abidin, 2011:111). “Ajaran Phytagoras meliputi agama, filsafat, etika sosial dan politik. Ajaran Phytagoras tentang filsafat lebih banyak diwarnai oleh ajaran agama, yang lebih menyerupai aliran mistik. Ajaranya mengakui adanya gejala reinkarnasi untuk memperkuat prinsip bahwa jiwa tidak pernah mati dan akan abadi” (Saefullah, 1982:62-63).
Dalam filsafat Abad Modern, muncul berbagai aliran pemikiran seperti Idialisme (Hegel), Realisme (Aristoteles), Rasionalisme (Descartes dsb), Empirisisme (Thomas Hobbes dsb), Kritisisme (Kant dsb), Positivisme (Auguste Comte), dan Materialisme (Marx dsb).
Idealisme
Idealisme adalah suatu ajaran kefilsafatan yang berusaha menunjukan agar manusia dapat memahami materi atau tatanan kejadian-kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada hakikatnya yang terdalam (Sumarna, 2004:48). Adapun tokoh dari aliran filsafat Idealisme, yaitu:
Riwayat Hidup Plato
Plato dilahirkan di Athena, di tengah kekacauan perang Peloponesos tahun 427 S.M., dan meninggal di sana tahun 347 S.M. Ia berasal dari keluarga aristokrat yang turun-temurun memegang peranan penting dalam politik Athena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi politik negara. Tetapi perkembangan politik di masanya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mengikuti jalan hidup yang diinginkannya itu. Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itu yang memberi kepuasan baginya (Brouwer, 1986:28-34).
Pengaruh Sokrates semakin lama semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Sokrates yang setia. Sampai akhir hayatnya, Sokrates tetap menjadi pujaannya. Sokrates bagi Plato adalah seorang yang sejujur-jujurnya dan seadil-adilnya, orang yang tak pernah berbuat salah. Hukuman yang ditimpakan kepada Sokrates dipandangnya suatu perbuatan zalim semata-mata. Ia sangat sedih dan menamakan dirinya sebagai seorang anak yang kehilangan bapak. Ia sedih, tetapi terpaku karena pendirian Sokrates yang menolak kesempatan untuk melarikan diri dari penjara, dengan memperingatkan ajarannya, "Lebih baik menderita kezaliman daripada berbuat zalim." Plato mempunyai kedudukan istimewa sebagai seorang filsuf. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filosofi. Pandangan yang dalam dan abstrak sekalipun dapat dilukiskannya dengan gaya bahasa yang indah. Tidak ada seorang filsuf sebelumnya yang dapat dibandingkan dengannya dalam hal ini, juga sesudahnya tak ada. Sesudah Sokrates dihukum mati, Plato bersama teman-teman yang sealiran pindah ke Megara untuk meneruskan cita-cita guru mereka.
Pada umur 40 tahun Plato pindah ke istana Dionysios I di kota Sirakus, Sisilia. Melalui raja itu ia ingin merealisasikan cita-citanya tentang penguasa yang adil. Namun, ia gagal total dan hampir saja dijual sebagai budak di pasar kota Aegina andaikata tidak kebetulan dilihat dan ditebus oleh seorang temannya. Plato akhirnya kembali ke Athena. Waktu temannya itu menolak untuk menerima kembali uang tebusan, Plato memakai uang itu untuk mendirikan Akademia, sekolah tersohor tempat ia mengajar. Karena itu, dapat dikatakan bahwa universitas Eropa pertama didirikan dengan uang harga penjualan seorang filsuf.
Plato kembali ke Sisilia dua kali dan mencoba untuk mempengaruhi para penguasa di sana, tetapi selalu gagal. Tahun-tahun terakhir hidupnya dipergunakannya untuk mengajar di Akademia. Selama kehidupan yang cukup ramai itu, Plato rajin menulis. Hampir semua tulisan Plato berupa dialog, dalam dialog itu pada umumnya Plato memakai Sokrates untuk mengemukakan pandangan-pandangannya. Semua karya Plato, lebih dari 25 jumlahnya dan masih ada. Yang paling terkenal adalah 10 buku Politeia ("Negara"), yang memuat ajaran Plato yang termasyur tentang negara. Tulisan-tulisan itu amat berpengaruh terhadap pemikiran Eropa selanjutnya (Brouwer, 1986:28-34).
Ajaran dan Karya Filsafatnya
Filsafat Plato yang sampai kepada kita melalui karyanya itu bertitik pangkal pada adanya pertentangan antara Ada dan Menjadi, antara Satu dan Banyak, antara Tetap dan Berubah-ubah. Dalam dialog-dialognya, Plato menampilkan Sokrates beserta cara kerjanya supaya mereka yang menjadi kawan dialognya menemukan dalam diri mereka suatu kepastian pengetahuan. Pengetahuan itu berasal dari dalam jati dirinya yang bersifat bawaan sejak lahir. Pengetahuan itu mengalahkan segala keragu-raguan yang muncul berdasarkan segala penampilan dan pengalaman jasmani atau inderawi yang bermacam-macam (berganti-ganti, berubah-ubah). Oleh karena itu, terdapatlah pertentangan antara jati diri dengan penampilan yang dialami setiap manusia (Brouwer, 1986: 27).
Jadi, untuk lebih memahami pikiran Plato tentang idea, kita dapat memakai perumpamaan yang terdapat di buku ketujuh Politeia, yaitu "perumpamaan tentang gua". Bayangkan sebuah gua, di dalamnya ada sekelompok tahanan yang tidak dapat memutarkan badan, duduk, menghadap tembok belakang gua. Di belakang para tahanan itu, di antara mereka dan pintu masuk, ada api besar. Di antara api dan para tahanan (yang membelakangi mereka) ada budak-budak yang membawa berbagai benda, patung, dan lainnya. Yang dapat dilihat oleh para tahanan hanyalah bayang-bayang dari benda-benda itu. Karena itu, mereka berpendapat bahwa bayang-bayang itulah seluruh realitas. Namun, ada satu dari para tahanan dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa para budak dan api itu. Sesudah ia susah payah keluar dari gua dan matanya membiasakan diri pada cahaya, ia melihat pohon, rumah, dan dunia nyata di luar gua. Paling akhir ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Akhirnya ia mengerti, bahwa apa yang dulunya dianggap realitas bukanlah realitas yang sebenarnya, melainkan hanya bayang-bayang dari benda-benda yang hanya tiruan dari realitas yang sebenarnya di luar gua. Plato memakai perumpamaan itu dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Sesuatu yang bukan lagi realitas inderawi, yang hanya cerminan realitas yang sebenarnya dalam medium materi (patung-patung yang meniru apa yang nyata-nyata ada). Melainkan sesuatu realitas yang sebenarnya, yang bersifat rohani.
Diantara karyanya yang terkenal dalam kefilsafatannya adalah sebagai berikut :
Filsafat Manusia
Plato bersifat dualistis. Jiwa itu paling utama, "dipenjarakan" dalam tubuh. Uraian-uraian Plato harus dimengerti sebagai usaha berbentuk sastra untuk mengungkapkan suatu intuisi tentang hakikat manusia. Tetapi juga dalam usaha-usaha lainnya Plato tidak seluruhnya luput dari dualisme, umpamanya dalam perumpamaan tentang penunggang kuda dan kudanya, atau tentang manusia bersayap yang kehilangan sayap-sayapnya. Jasa Plato terletak dalam upayanya menyatupadukan pertentangan-pertentangan para filsuf pra-Sokrates. Namun ia belum selesai menyajikan suatu gambaran tentang pengetahuan manusia dan tentang manusia itu sendiri sebagai suatu gejala yang tunggal dan esa (Brouwer, 1986: 27).
Etika
Etika Plato didasarkan pada etika Sokrates, amat menekankan unsur pengetahuan. Bila orang sudah cukup tahu, pasti ia akan hidup menurut pengetahuannya itu. Oleh karena itu, dalam rangka dialog-dialognya Sokrates seringkali cukup bagus menyadarkan orang akan adanya suara batin. Pendapat Plato seterusnya tentang etika bersendi pada ajarannya tentang idea. Tanda dunia idea adalah tidak berubah-ubah, pasti dan tetap dan merupakan bentuk yang asal. Itulah yang membedakannya dari dunia yang nyata, yang berubah senantiasa. Dalam perubahan itu dapat ditimbulkan bentuk-bentuk tiruan dari bangunan yang asal, dari dunia idea. Sebab itu ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk melaksanakan dasar etika:
Pertama, melarikan diri dalam pikiran dari dunia yang lahir dan hidup semata-mata dalam dunia idea. Kedua, mengusahakan berlakunya idea itu dalam dunia yang lahir ini. Dengan perkataan lain: melaksanakan "hadirnya" idea dalam dunia ini. Tindakan yang pertama adalah ideal, yang kedua kelihatan lebih riil. Kedua jalan itu ditempuh oleh Plato. Pada masa mudanya, seperti tersebut dalam bukunya Phaedros, Gorgias, Thaetet dan Phaedon, ia melalui jalan pertama. Pelaksanaan etikanya didasarkan pada memiliki idea sebesar-besarnya dengan menjauhi dunia yang nayata. Hidup diatur sedemikian rupa, sehingga timbul cinta dan rindu kepada idea. Plato mungkin merasakan kemudian, bahwa ideal itu sukar dilaksanakan. Dalam bagian kedua hidupnya ia berpaling ke jalan yang kedua. Sungguhpun bangunan-bangunan tiruan dari idea jauh lebih sempurna, sikap hidup diatur sedemikian rupa, supaya dunia yang lahir "ikut serta" pada idea. Cara itu dibentangkan di dalam bukunya Republik, dengan menciptakan suatu negara ideal (Brouwer, 1986: 28).
Filsafat Negara
Plato menjadi amat terkenal. Pemikirannya tentang filsafat negara malah menjadi acuan atau motivasi untuk mengembangkan epistemologi, filsafat manusia maupun etikanya lebih lanjut. Dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1. Pemikran tentang Filsafat Negara
SUSUNAN MANUSIA KEUTAMAAN-KEUTAMAAN SUSUNAN NEGARA
akal budi
kehendak yang kuat
tubuh kebijaksanaan
keberanian
keadilan
keugaharian para pemimpin
para prajurit
para hakim
petani dan tukang
Seperti halnya akal budi dan pengetahuan manusia adalah sumber hikmat dan kebijaksanaan yang menentukan segala keutamaan etis yang hendak dikembangkan, demikianlah para filsuf hendaknya dijadikan pemimpin negara dengan para prajurit, dan, pada tahap yang lebih rendah, para petani dan tukang di bawah mereka. Dan sama seperti keseimbangan, antara segala keutamaan diatur keadilan, demikianlah para hakim menjamin kekuatan dan kemakmuran negara di bawah pimpinan para filsuf (Brouwer, 1986: 28-29).
Sumbangan Filsafat Idealisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Idealisme sangat memberikan perhatian terhadap keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual. Filsafat idealisme diturunkan dari filsafat metafisik yang menekankan pertumbuhan rohani. Kaum idealis percaya bahwa anak adalah bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensialitasnya. Oleh karena itu pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan alam spiritual. Pendidikan harus memperhatikan kesesuaian antara anak dengan alam semesta. Dalam hal pendidikan guru seharusnya memandang anak sebagai tujuan bukan sebagai alat. Tujuan pendidikan akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan (Sadulloh, 2011:101).
Dalam hubungannya dengan pendidikan, idealisme memberikan sumbangan yang besar terhadap teori perkembangan pendidikan, khususnya filsafat pendidikan. Filsafat idealisme diturunkan dari filsafat metafisik yang menekankan pertumbuhan rohani. Kaum idealis percaya bahwa anak adalah bagian dari alam spiritual, yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensialitasnya. Oleh karena itu pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan alam spiritual. Pendidikan harus memperhatikan kesesuaian antara anak dengan alam semesta. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Kneller yaitu “it must emphasize the innateharmony between man and the universe.” Selanjutnya menurut Horne pendidikan merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dan perkembangan mental maupun fisik, bebas, sadar, terhadap Tuhan dimanifestasikan dalam kehidupan intelektual, emosional dan berkemauan. Pendidikan merupakan pertumbuhan kearah tujuan, yaitu pribadi manusia yang ideal.
Meurut Power (Dalam Sadulloh, 2011:102-103) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme ada empat yaitu sebagai berikut:
Tujuan pendidikan
Pola pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik.
Kedudukan Siswa
Bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya atau bakatnya.
Peranan Guru dan Siswa
Para filsuf idealisme mempunyai harapan yang tinggi dari para guru. Keunggulan harus ada pada guru, baik secara moral maupun intelektual. Tidak ada satu unsur pun yang lebih penting di dalam sistem sekolah selain guru. Guru hendaknya “bekerjasama dengan alam dalam proses menggabungkan manusia, bertanggung jawab menciptakan lingkungan pendidikan bagi para siswa. Sedangkan siswa berperan bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya”. Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran idealisme berfungsi sebagai:
Guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa;
Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar;
Guru harus rajin beribadah, sehingga menjadi insan yang bisa menjadi teladan para siswanya;
Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif;
Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar;
Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil;
Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi;
Kurikulum
Pendidikan idealisme berisikan pendidikan liberal dan pendidikan vokasional/praktis. Pendidikan vokasional dimaksudkan untuk pengembangan kemampuan suatu kehidupan/pekerjaan. Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Agar pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual. Bogosluosky menjelaskan kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
Universum : Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala memanifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya.
Sivilisasi : Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, serta hidup aman dan sejahtera.
Kebudayaan : Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
Kepribadian : Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agara faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional dan intelektual sebagai keseluruhan dapat berkembang harmonis dan organis.
REALISME
Aliran filsafat Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani (Sadulloh, 2003:104). Adapun tokoh dari aliran filsafat Realisme, yaitu:
Riwayat Hidup Filosof Aristoteles
Aristoteles lahir tahun 384 S.M. di Stagyra di daerah Thrakia, Yunani Utara. Delapan belas tahun kemudian ia masuk Akademia di Athena dan sampai 347 S.M. menjadi murid Plato. Pada 342 S.M. ia diangkat menjadi pendidik Iskandar Agung muda di kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 335 ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang namanya Lykaion, nama salah satu gelar dewa Apolo. Karena caranya mengajar dan caranya bertukar pikiran dengan kelompok-kelompok kecil, berlangsung sambil berjalan-jalan, maka sekolahnya dijuluki juga peripatetik, yang sebenarnya adalah pusat penelitian ilmiah. Tahun 332, setelah kematian Iskandar Agung, ia harus melarikan diri dari Athena karena ia, seperti Sokrates 80 tahun sebelumnya, dituduh menyebarkan ateisme. Ia meninggal tahun 322 S.M, (Brouwer, 1986:35-40).
Meskipun 20 tahun menjadi murid Plato, Aristoteles menolak ajaran Plato tentang idea. Menurutnya, tidak ada idea-idea abadi. Apa yang dipahami Plato sebagai idea sesungguhnya adalah bentuk abstrak yang tertanam dalam realitas inderawi sendiri. Dari realitas inderawi konkret, akal budi manusia mengabstraksikan paham-paham abstrak yang bersifat umum. Begitu, misalnya, akal budi mengabstraksikan paham "orang" atau "manusia" dari orang-orang konkret-nyata yang kita lihat, yang masing-masing berbeda satu sama lain. Akal budi mampu untuk melihat bahwa si Azis, si Tuti, Profesor Aleksander, dan Ibu Meli sama-sama manusia, manusia dalam arti yang sepenuhnya, sepenuhnya manusia. Menurut Aristoteles, ajaran Plato tentang idea-idea merupakan interpretasi salah terhadap kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal yang empiris. Untuk menjelaskan kemampuan itu tidak perlu menerima alam idea-idea abadi. Aristoteles menjelaskannya dengan kemampuan akal budi manusia untuk membuat abstraksi, untuk mengangkat bentuk-bentuk universal dari realitas empiris individual. Pendekatan Aristoteles adalah empiris. Ia bertolak dari realitas nyata inderawi. Itulah sebabnya ia begitu mementingkan penelitian di alam dan mendukung pengembangan ilmu-ilmu spesial. Begitu pula, Aristoteles menolak paham Plato tentang idea Yang Ilahi, dan bahwa hidup yang baik tercapai dengan kontemplasi atau penyatuan dengan idea yang ilahi itu.
Menurut Aristoteles, paham Yang Ilahi itu sedikitpun tidak membantu seorang tukang untuk mengetahui bagaimana ia harus bekerja dengan baik, atau seorang negarawan untuk mengetahui bagaimana ia harus memimpin negaranya. Jadi, tidak ada gunanya. Apa yang membuat kehidupan menusia menjadi bermutu harus dicari dengan bertolak dari realitas manusia sendiri, harus mulai dengan suatu pengamatan. Salah satu pengantar dan prasyarat filsafat pengetahuan yang dihargai dan dikembangkan Aristoteles ialah logika. Logika dimengerti sebagai kerangka atau peralatan teknis yang diperlukan menusia supaya penalarannya berjalan dengan tepat. Dasar logika Aristoteles adalah uraian keputusan yang kita temukan dalam bahasa "the analysis of the judgement as found and expressed in human language". Uraian keputusan itu mencakup penegasan - pemungkiran - universal - partikular dan beberapa pertanyaan berikut ini. Seluruh logika tradisional Aristoteles itu mempunyai keistimewaan ganda. Di satu pihak, berasal dari pengamatan yang teliti tentang susunan bahasa (Yunani). Di lain pihak sekaligus mengangkat unsur-unsur keniscayaan (necessity) dalam uraian bahasa itu. Dalam bahasa modern dapat dikatakan bahwa dalam logikanya, Aristoteles menggabungkan unsur empiris-induktif dan rasional-deduktif. Selain itu dalam Topyka, karyanya dalam bidang logika, ia merintis penyelidikan tentang cara kerja ilmu-ilmu empiris dalam mencari hukum-hukum universal berdasarkan pengamatan, (Brouwer, 1986:35-40).


Ajaran dan Karyan Kefilsafatannya
Berbagai macam cabang ilmu pengetahuan yang menjadi karya Aristoteles bila diperinci terdiri dari delapan cabang yang meliputi Logika, Filsafat Alam, Psikologi, Biologi, Metafisika, Etika Politik, Ekonomi, Retorika dan Poetika (Brouwer, 1986:38).
Logika
Aristoteles terkenal sebagai bapak logika, tapi tidaklah berarti bahwa sebelumnya tidak ada logika. Aristoteleslah orang pertama yang memberikan uraian secara sistematis tentang Logika. Logika adalah ilmu yang menuntun manusia untuk berfikir yang benar dan bermetode. Dengan kata lain logika adalah suatu cara berfikir yang secara ilmiah yang membicarakan bentuk-bentuk fikiran itu sendiri yang terdiri dari pengertian, pertimbangan dan penalaran serta hukum-hukum yang menguasai fikiran tersebut (Brouwer, 1986:38-40).
Aristoteles membagi ilmu pengetahuan atas tiga bagian;
Ilmu pengetahuan praktis, yang meliputi etika dan politik;
Ilmu pengetahuan produktif, yaitu teknik dan seni;
Ilmu pengetahuan teoritis yang meliputi phisika, matematika dan filsafat.
Dalam hal ini Aristoteles tidak memasukkan Logika sebagai cabang ilmu pengetahuan, melainkan hanya suatu alat agar kita dapat mempraktekkan ilmu pengetahuan(Brouwer, 1986:38-40).
Metafisika
Dalam uraian ini Aristoteles mengkritik ajaran gurunya tentang idea-idea. Menurut Aristoteles ; yang sungguh ada itu bukanlah yang umum melainkan yang khusus, satu persatu. Bukanlah manusia pada umumnya yang ada, melainkan manusia ini, itu, Anas, dan lain-lain. Semuanya ada, jadi Aristoteles bertentangan dengan gurunya Plato yang mengatakan “bahwa semua yang nampak hanyalah merupakan bayangan semata”. Menurut Aristoteles, tidak ada idea-idea yang umum serta merupakan realita yang sebenarnya. Dunia idea di ingkari oleh Aristoteles sebagai dunia realitas, karena tidak dapat di buktikan. Jadi Aristoteles berpangkal pada yang kongkrit saja, yang satu persatu dan bermacam-macam, yang berubah, itulah yang merupakan realitas sebenarnya (Brouwer, 1986:38-40).
Abstraksi
Bagaimana budi dapat mencapai pengetahuan yang umum itu sedangkan hal-hal yang menjadi obyeknya tidak umum. Menurut Aristoteles ; obyek yang diketahui itu memang kongkrit dan satu persatu, jadi tidak umum. Yang demikian itu ditangkap oleh indera dan indera mengenalnya. Pengetahuan indera yang macam-macam itu dapat diolah oleh manusia (budi). Manusia itu menanggalkan yang bermacam-macam dan tidak sama, walaupun tidak di ingkari. Yang dipandang hanya yang sama saja dalam permacaman itu. Pengetahuan yang satu dalam macamnya oleh Aristoteles dinamai idea atau pengertian (Brouwer, 1986:39).
Jadi Aristoteles tidak mengingkari dunia pengalaman, sedangkan idea juga dihargainya serta diterangkan bagaimana pula mencapainya dengan berpangkal pada realitas yang bermacam-macam. Maka selayaknya aliran Aristoteles disebut “Realisme”.
Politik
Tujuan negara.
Aristoteles dalam bukunya menyatakan “bahwa manusia menurut kodratnya merupakan “Zoion Politikon”atau mahluk sosial yang hidup dalam negara.
Tujuan negara adalah memungkinkan warga negaranya hidup denga baik dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain lembaga-lembaga yang ada di dalamnya, keluarga di dalam suatu negara, hubungan antar negara tetangga semua baik.
Susunan negara yang paling baik.
Negara yang paling baik ialah negara yang diarahkan buat kepentingan umum. Susunan negara yang paling baik menurut Aristoteles ialah “Politeia”. Poiteia adalah demokrasi moderat atau demokrasi yang mempunyai undang-undang dasar.
Etika
Dalam karya Aristoteles “Ethika Nicomachea” mengatakan ; dalam segala perbuatannya manusia mengejar suatu tujuan. Ia selalu mencari sesuatu yang baik baginya. Dari sekian banyak tujuan yang ingin dicapai manusia, maka tujuan yang tertinggi dan terakhir dari manusia adalah kebahagiaan. Tugas Etika ialah mengembangkan dan mempertahankan kebahagiaan itu. Menurut Aristoteles; manusia hanya disebut bahagia jika ia menjalankan aktivitasnya dengan baik. Dengan kata lain agar manusia berbahagia ia harus menjalankan aktivitasnya dengan baik (Brouwer, 1986:39-40)
Sumbangan Filsafat Realisme terhadap Ilmu Masa Kini
Kondisi masyarakat kontemporer saat ini sudah mulai di gelisahkan oleh berbagai problem kemanusiaan dan ekologi sebagai dampak daru berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Kita lihat misalnya dari semaraknya seminar-seminar yang membahas tentang pemanasan global, kerusakan sumber air, limbah nuklir dan sebagainya atau mungkin yang lebih mutakhir munculnya dampak dampak dari limbah kebudayaan yang telah mencemari hampir di seluruh kawasan dunia melalui cyberspace. Pemikiran Aristoteles, dalam konteks ini masih mempunyai relevansi pada dimensi-dimensi tertentu hal ini tentunya untuk memberikan solusi terhadap persoalan persoalan yang telah di uraikan tadi. Dalam persoalan persoalan ini, coba kita konteks kan ajaran etika Aristoteles tentang keutamaan (arete) dengan keadaan dunia kita saat ini, jika ajaran ini di aplikasikan maka akan memberikan dampak yang sangat baik bagi kehidupan manusia. Sebab, konsep yang di ajarkan oleh aristoteles tersebut berusaha untuk memberikan bingkai dalam berperilaku (kebijakan praktis, phronesis) dan berpikir (kebijaksanaan intelektual, sophia) bagi manusia, dalam konteks sosial (human as zoon politicon) maupun individual (human as zoon logon echon) (Brouwer, 1986:39-40).
Pada aspek lain, pemikiran etik Aristoteles yang mengedepankan konsep aktus akan potensi, dapat di lihat sebagai upaya strategis untuk ethos pengembangan diri manusia. Kebahagiaan manusia tidak di ukur oleh bagaimana kita mengejar nikmat (hedonis) tapi tergantung pada seberapa jauh kita telah mengaplikasikan dan mengaktualisasikan diri secara bijaksana. Berkenaan dengan pokok-pokok pemikiran Aristoteles tersebut, berikut dapat di berikan beberapa catatan kecil sebagai berikut:
Etika Aristoteles yang mengedepankan aspek “kebahagiaan” sebagai finalitas tujuan hidup manusia pada satu sisi mempunyai kemiripan dengan konsep yang terdapat dalam agama Islam. Bedanya, bahwa konsep kebahagiaan Aristoteles berdimensi “kedisinian” sedangkan konsep kebahagiaan dalam Islam mencakup juga dimensi “kedisanaan” atau eskatologis.
Konsep jalan tengah (mesotes) yang di tawarkan sebagai hal keutamaan moral pada satu sisi terdapat kebenarannya wlaupun hal itu merupakan sesuatu yang menyederhanakan dimensi keutamaan moral. Hal tersebut tidak lain karena keutamaan moral mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya mengedepankan aspek mesotes.
Sebagai tokoh aliran teleologis, bagi Aristoteles, tindakan adalah betul sejauh mengarah kepada kebahagiaan, dan salah sejauh mencegah kebahagiaan. Etika Aristoteles ini dapat di golongkan kedalam egososialistik karena yang di utamakan adalah aspek kebahagiaan pelaku dan pada saat bersamaan ia ber-praxis, artinya berpartisipasi dalam menjalankan kehidupan warga polis.
Berpijak dari pemikiran Aristoteles bahwa upaya pengembangan diri manusia dapat di tempuh melalui proses self actualization atau aktualisasi diri manusia. Aktualisasi diri pada manusia , menurut Aristoteles mencakup dua aspek yaitu aspek intelektual dan aspek sossial. Aspek intelektual dapat di tempuh dengan jalan ber-theoria yaitu mengembangkan secara maksimal kemampuan manusia sebagai makhluk yangt berfikir, sedag aspek sosial dapat di tempuh dengan jalan praxis yaitu mengembangkan potensi manusia sebagai mahluk sosial.
Habitus (pembiasaan) adalah hal yang sangat penting dalam pembentukan keutamaan bagi manusia, secara intelektual maupun moral. Hal ini berarti bahwa dalam upaya pengembangan diri manusia pembiasaan untuk melakukan hal-hal yang utama dalam dimensi intelektual dan tindakan adalah hal yang niscaya. Hal ini berarti bahwa untuk membentuk manusia yang berkualitas membutuhkan waktu yang tak sebentar (Brouwer, 1986:39-40).
Ide-ide kaum realis seperti ini sangatlah kontributif pada abad 19 dalam menjembatani antara ilmu alam dan humaniora, terutama dalam konteks perdebatan antara klaim-klaim kebenaran dan metodologi yang disebut sebagai ‘methodenstreit’ (Calhoun, 2002). Kontribusi lain dari tradisi realisme adalah sumbangannya terhadap filsafat kontemporer ilmu pengetahuan, terutama melalui karya Roy Bashkar, dalam memberikan argument-argument terhadap status ilmu pengetahuan spekulatif yang diklaim oleh tradisi empirisme.
RASIONALISME
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes biasanya disebut sebagai aliran rasionalisme, karena aliran ini sangat mengutamakan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas diluar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya diwarisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi, kedua, masalah hubungan antara jiwa dan tubuh. Descartes dianggap sebagai bapak aliran dari filsafat modern. Selain seorang tokoh rasionalisme, ia pun sebagai tokoh filosof yang ajaran filsafatnya sangat populer, dengan pandangannya yang tidak pernah goyah mengenai kebenaran tertinggi yang berada pada akal atau rasio manusia (Hakim, 2008:246).
Menurut Hakim (2008:247), Rene Descartes merupakan seorang filosof yang tidak puas dengan filsafat Scholastik yang pandangan-pandangannya saling bertentangan, dan tidak ada kepastian yang disebabkan oleh miskinnya metode berfikir yang tepat. Descartes mengemukakan metode baru, yaitu sebuah metode keragu-raguan. Jika seorang ragu-ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu jelas, maka ia sedang berfikir. Sebab yang sedang berfikir itu tentu ada dan jelas terang benderang.
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio yang dapat membawa orang pada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderang yang disebutnya Ideas Claires el Distinctes (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Maksudnya, idea terang benderang ini merupakan pemberian Tuhan, maka tidak mungkin tidak benar (Pradja, 2000: 91).
Rasionalisme adalah sebuah paham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) merupakan alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Aliran ini berpendapat bahwa suatu pengetahuan dapat diperoleh dengan cara berpikir (Tafsir, 2010:127).
Dalam perkembangannya Rasionalisme diusung oleh banyak tokoh, masing-masing dengan ajaran-ajaran yang khas, namun tetap dalam satu koridor yang sama. Tokoh-tokoh rasionalisme pada abad XVII adalah: Rene Descartes (1596 -1650), Nicholas Malerbranche (1638 -1775), Baruch De Spinoza (1632 -1677 M), Gottfried Wilhelm von Leibniz (1946-1716), Christian Wolff (1679 -1754), Blaise Pascal (1623 -1662 M) (Pradja, 2005: 93). Namun, hanya satu tokoh/filosof yang akan dijelaskan yaitu, : Rene Descartes (1596 -1650).
Riwayat Hidup Filosof Rene Descartes
Rene Descartes (Renatus Cartesius) adalah putra keempat dari Joachim Descartes, seorang anggota parlemen kota Britari, Provinsi Renatus di Prancis. Kakeknya, Piere Descartes, adalah seorang dokter. Neneknya juga berlatar belakang kedokteran. Dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye (sekarang disebut La Haye Descartes), Provinsi Teuraine. Descartes kecil yang mendapat nama baptis Rene, tumbuh sebagai anak yang menampakkan bakatnya dalam bidang filsafat, sehingga ayahnya pun memanggilnya dengan julukan Si Filsuf Cilik (Harun, 1980:12).
Pendidikan pertama yang diperoleh Descartes yaitu dari sekolah Yesuit d La Fleche dari tahun 1604-1612. Disinilah ia memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Prancis, music dan acting, logika Aristoteles dan etika Nichomacus, fisika, matematika, astronomi dan ajaran metafsika dari filsafat Thomas Aquinas. Konon, selama Descartes belajar di perguruan ini ia sudah merasa kebingungan dan ketidakpuasan tentang apa-apa yang diterima dari para gurunya serta apa yang diperolehnya dari buku teks. Ketidakpuasan terutama dalam bidang filsafat yang penuh pertentangan antara berbagai aliran dan pemikiran (Pradja, 2005: 93).
Pada tahun 1612, Rene Descartes pergi ke Paris untuk mendapatkan kehidupan social dan mengucilkan diri di Faobourg Saint German untuk mengerjakan ilmu ukur. Tahun 1617, masuklah Descartes ke dalam tentara Belanda dan selama dua tahun ia mengalami suasana damai dan tentram sehingga ia dapat mengerjakan renungan filsafatinya. Tahun 1619, Descartes bergabung dengan tentara Bavaria. Dan selama musim dingin tahun 1619-1620, ia memiliki pengalaman yang dituangkan kedalam buku pertamanya yaitu Descours de la Methode, salah satu pengalamannya yang unik adalah tentang mimpi yang dialami sebanyak tiga kali dalam satu malam, yang dilukiskan oleh sebagian penulis bagaikan Ilham dari Tuhan (Pradja, 2005: 93).
Tahun 1621 Descartes berhenti dari medan perang, kemudian ia menetap di Paris tahun 1925. Dan pada akhirnya ia masuk kembali menjadi tentara dan memutuskan hidup di Negara Belanda selama 20 tahun. Di negeri inilah ia secara leluasa menyusun karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat. Descartes menghabiskan masa hidupnya di Swedia saat ia memenuhi undangan Ratu Cristine yang menginginkan pelajaran-pelajaran yang diharuskan diajarkan setiap jam lima pagi menyebabkan Descartes jatuh sakit yang menjemput ajalnya pada tahun 1650, ketika ia belum sempat menikah (Pradja, 2005: 94).


Ajaran dan Karya Filosof Rene Descartes
Ajaran Filsafat Descartes
Rene Descartes mengajukan argumentasi yang kukuh untuk pendekatan rasional terhadap pengetahuan. Dia memutuskan bahwa “jika ingin menemukan suatu alasan yang meraguan suatu kategori atau prinsip pengetahuan, maka kategori itu akan dikesampingkan”. Keraguan Descartes inilah yang kemudian dikenal sebagai keraguan metodis universal. Pengetahuan-pengetahuan yang harus diragukan dalam hal ini adalah berupa, segala sesuatu yang kita dapatkan di dalam kesadaran kita sendiri, karena semuanya mungkin adalah hasil kekhayalan atau tipuan, dan segala sesuatu yang hingga kini kita anggap sebagai benar dan pasti. Misalnya pengetahuan yang telah didapatkan melalui pengindraan, pengetahuan tentang adanya benda-benda dan adanya tubuh kita, pengetahuan tentang Tuhan, bahkan juga pengetahuan tentang ilmu pasti. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, “cagito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Akan tetapi yang dimaksud Descartes dengan berpikir disini ialah “menyadari”. Dalam filsafat modern, kata “cagito” sering kali digunakan dalam arti kesadaran. Cagito ergo sum itulah menurut Descartes suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku. Mengapa kebenaran ini benar-benar bersifat pasti. Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly). Jadi, hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah saja yang harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebanaran (Pradja, 2000:65).
Dalam sebuah karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Karyanya yang berjudul A Discourse on Methode mengemukakan perlunya memperhatikan empat hal yaitu :
Kebenaran baru dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas (clearly and distinctly), sehingga tidak ada keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satupun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu. (Pradja, 2008:255).
Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis. Cogito dimulai dari metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, bahwa tuhan ada) (Pradja, 2008:255).
Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian,apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga “ide bawaan” (Inggris: innate ideas). Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir masing-masing ialah “Pemikiran, Tuhan, dan Keluasan”.
Pemikiran
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
Tuhan
Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempuna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan.
Keluasan
Materi sebagai keluasan atau ekstensi ( extension ), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatny adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk memebuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan dmikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna (Pradja, 2008:256).
Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis ( sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes sendiri (Pradja, 2008:256)
Karya Filsafat Descartes
Karya-karya filsafat Descartes yaitu cukup banyak. Beberapa karyanya antar lain adalah Discours de la Methode (1637) yang artinya “Uraian tentang metode yang isinya melukiskan perkembangan intelektualnya. Di dalam karyanya inilah ia menyatakan ketidakpuasan atas filsafat dan ilmu pengetahuan yang menjadi bahan penyelidikannya. Menurut Descartes, dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatupun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga. Dan satu-satunya pengecualian adalah ilmu pasti. Selain salah satu karya Descartes yang cukup terkenal, karya lainnya yaitu Dioptrique, La Philosophia, Les Meteores Meditationes de Prima Philosophia, Principia Philosophia, Le Monde, L’Homme, Regulae ad Dirsctionem Ingnii, de la Formation de foetus, dan sebagainya. Buku-buku yang bahasa Prancis ini pada umumnya telah diterjemahkan kedalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris (Pradja, 2005: 94).
Sumbangan Filsafat Rasionalisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Selain mencurahkan perhatiannya dalam bidang filsafat, Descartes juga dikenal sebagai seorang Polimath, yaitu seorang yang mempunyai perhatian luas dalam bidang ilmu pengetahuan, khusunya dalam ilmu pasti. Sumbangannya yang besar dalam dunia ilmu adalah keberhasilannya menemukan ilmu ukur koordinat (coordinate geometry) (Pradja, 2005: 94).
EMPIRISME
Empirisme merupakan salah satu aliran dalam filosof yang menekankan pada peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme diambil dari bahas Yunani empiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal (Syadali, 2004:116).
Menurut John Locke dalam buku (Hakim, 2008:266), salah seorang penganut empirisme, yang juga sebagai “Bapak Empirisme” mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan keadaan akalnya masih bersih, ibarat kertas yang kosong yang belum bertuliskan apapun (tabula rasa). Pengetahuan baru muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman indrawi.
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke (1632-1704) Berkeley (1685-1753) dan David Hume (1711-1776) (Hakim, 2008:266).
Pada pembahasan ini akan kita fokuskan pada pemikiran David Hume yang dianggap merupakan pemikiran puncak dari aliran empirisme. Adapun tokoh dari aliran filsafat Empirisme, yaitu:
Riwayat Hidup Filosof David Hume (1711-1776 M)
Hume seorang Skot, lahir didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia pernah mengajar di Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga tidak akan diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa terutama di Perancis. Buku yang ia tulis ketika berumur dua puluh tahunan adalah Kretise Of Human Nature (1739), namun tidak banyak menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses, kemudian ia beralih menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang sangat terkenal, An Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751). Hume meninggal pada tahun 1776 (Hakim, 2008:266).

Ajaran Filosof David Hume
Ia menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang tetap–substansi–itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada. Manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas). Yang dimaksud dengan impressions atau kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Adapun ideas adalah gambaran tentang pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasikan dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman. Perbedaan kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk dengan kekuatan besar dan kasar disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran (Hakim, 2008:267-268).
Sumbangan Filsafat Empirisme terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini
Aliran emperisme berpendapat bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewan indera (empiri) dan empirilah satu-satutnya sumber pengetahuan aliran Emperis sampai saat ini, bahwa pada dasarnya budi dan empiri saling berkaitan (Hakim, 2008:268).

KRITISME
Adapun Tokoh dari aliran filsafat Materialisme, yaitu:
Riwayat Hidup Filosof Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah seroang filosof besar yang muncul dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad 18. Ia lahir di Koningsbergen, sebuah kota kecil di Prussia Timur (sesudah Perang Dunia II dimasukkan ke Uni Soviet dan namanya diganti menjadi Kaliningrad), pada tanggal 22 April 1724 di Jerman. Kant lahir sebagai anak keempat dari suatu keluarga miskin. Orang tua Kant adalah pembuat pelana kuda dan penganut setia gerakan Peitisme. Pada usia 8 tahun Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat Peitisme (Hakim, 2008:279).
Kant adalah orang yang yang hidupnya selalu teratur, ia hidupnya disiplin dan tenang, dan ia hampir tidak berpergian. Kant melanjutkan studinya tentang teologi di Universitas Konigsberg. Namun perhatiannya justru tercurah pada filsafat, ilmu pasti dan fisika. Kant meninggal pada tanggal 12 Februari tahun1804 di Koningsbergen pada usia 80 tahun. Kant mengalami tiga periode dalam hidupnya yaitu:
Kant melaksanakan ilmu alam dan filsafat alam menurut gaya Newton dan Wolff. Periode rasionalistis ini berlaku sampai tahun 1755 (copleston VI, 185).
Setelah karya Hume diterjemahkan dalam bahasa Jerman (1756), ia sangat dipengaruhi Hume. Ia berpotensi skeptis tentang pengetahuan filosofis.
Sekitar tahun 1770 mulailah periode kritis. Ia mendapat penerangan besar tentang nilai hukum-hukum ilmiah, dengan konsekuensinya. Lalu ia mulai merencanakan membuat buku mengenai hal itu. Namun baru pada tahun 1781 diterbitkan buku Kritik der reinen Vernunft. Dan tahun 1787 diterbitkan buku edisi kedua. Kemudian dalam waktu singkat diterbitkanlah buku yang berjudul “kritik-kritik” yang memuat tentang kehendak, penilaian estetis, dan tentang Agama (Hakim, 2008:279).
Secara harafiah kata kritik berarti ”pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud untuk membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterkaitannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Sehingga dalam filsafatnya dimaksudkan sebagai penyandaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman kepercayaan (Hadiwijono, 1980: 64).
Isi utama dalam kritisisme yaitu gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan tersebut muncul karena ada pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yaitu:
Apa yang dapat saya ketahui?
Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
Apa yang harus saya lakukan?
Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”, contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
Apa yang boleh saya harapkan?
Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia (Hadiwijono, 1980:64).
Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Ajaran Filsafat Immanuel Kant
Ajarannya tentang pengetahuan
Ajaran Immanuel Kant tentang pengetahuan ialah pendapat-pendapat sintesis dengan suatu pertanyaan; bagaimana mungkin orang dapat menetapkan pendapat yang apriori (terlepas dari pengalaman) tentang suatu objek dengan mempergunakan logika (Pradja, 2000:78).
Ajarannya tentang kesusilaan
Ajaran Immanuel Kant tentang kesusilaan adalah bertentangan dengan ajaran etika/kesusilaan. Maka ajaran etikanya berprinsip bahwa segala sesuatu hanya tergantung pada kehendak/suasana yang menjadi dasar perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan baik dari sudut susila adalah berdasarkan keinsafan kewajiban dengan pengertian bahwa setiap perbuatan kita bisa menjadi hukum umum yang berlaku. Asas pokok kesusilaan adalah imperatif kategoris, artinya suatu imperatif/ perintah dari dalam diri kita yang memerintahkan kepada kita tanpa memandang sebab dan akibatnya, cara berbuatnya, dsb. Berbuat baik adalah berbuat dengan berpangkal pada hukum kesusilaan yang dibuat oleh diri kita sendiri secara otonom karena menghormati hukum kesusilaan (Pradja, 2000:78).
Ajarannya tentang kesenian
Rasa estetis itu khususnya berupa suatu rasa senang/ nikmat yang bercampur dengan perasaan tak senang. Dapat mengikat menjadi perasaan luhur yang berlebih-lebihan yang dapat membuat kita merasa luhur/ mulia (Pradja, 2000:78).
Karya Filsafat Immanuel Kant
Immanuel Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni, dan Kant mewujudkan pemikirannya tersebut ke dalam beberapa buku yang sangat penting yaitu tentang kritik. Buku-bukunya antara lain berjudul:
Kritik atas Rasio murni (kritik der reimem Vernunft) tahun 1781
Dalam kritik ini, atara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu:
Putusan analitis apriori; dimana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (msialnya, setiap benda menempati ruang).
Putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu bagus” di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah (=post, bhs latin) mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.
Putusan sintesis apriori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak, namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab di dalam pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat apriori ini.Tiga tingkatan pengetahuan manusia, yaitu :
Pada Taraf Indra
Unsur a priori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori memainkan peranan materi. Menurut Kant unsur a priori itu sudah terdapat pada tarap indra. Ia berpendapat bahwa dalam pengatahuan indrawi selalu ada dua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Jadi ruang tidak merupakan ruang kosong, dimana benda-benda diletakkan; ruang tidak merupakan “ruang dalam dirinya”(ruang an sinch). Waktu bukan merupakan suatu arus tetap, dimana pengindraan-pengindraan bisa ditempatkan. Dengan kata lain keduanya berakar dalam struktur subyek sendiri (Pradja, 2000:79).
Pada Taraf Akal Budi
Bersamaan dengan pengamatan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan suatu putusan-putusan. Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi tadi dengan bentuk-bentuk apriori yang dinamai Kant dengan ‘kategori’, yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia (Pradja, 2000:82).
Pada Taraf Rasio
Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi itu dengan dipimpin tiga ide, yaitu jiwa, dunia dan Allah. Ide menurut Immanuel Kant ialah cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala psikis (jiwa), kejadian jasmani (dunia), dan segala galanya yang ada (Allah). Ketiga ide tersebut mengatur argumentasi kita tentang pengalaman., tetapi ketiga ide itu sendiri tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori akal budi hanya berlaku pada pengalaman, dan kategori itu tidak berlaku pada ide-ide, hal tersebutlah yang diusahakan dalam metafisika (Pradja, 2000: 82).
Kritik Atas Rasio Praktis
Rasio murni yang dimaksudkan Immanuel Kant adalah rasio yang dapat menjalankan roda pengetahuan. Akan tetapi diasmping rasio murni terdapat rasio praktis, yaitu rasio yang mengatakan “apa yang harus kita lakukan” atau dengan kata lain “rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita”. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebut sebagai imperatif kategori. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal tersebut dibuktikan, hanya dituntut, yang disebut Kant ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga itu adalah kebebasa kehendak, inmoralitas jiwa, dan adanya Allah. Menerima ketiga hal tersebut dinamakan Kant sebagai Gloube alias kepercayaan, dengan demikian Kant berusaha untuk mempengaruhi keyakinannya atas Yesus Kritus dengan penemuan filsafatnya (Pradja, 2000:82).
Kritik atas Daya Pertimbangan
Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memaduakan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substanstial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat selalu dijadikan tolak ukur, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata dan rasional, sebagaimana mimpi nyata, tetapi “tidak real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran (Hakim, 2008:279).
POSITIVISME
Adapun Tokoh dari aliran filsafat Materialisme, yaitu:
Riwayat Hidup Auguste Comte
Isidore Marie Auguste François Xavier Comte atau yang lebih dikenal Auguste Comte. Auguste Comte adalah tokoh filsafat aliran positivisme (1798-1857 M). Aguste Comte dilahirkan di Montpellier (Perancis) pada tanggal 19 Januari 1798, ia belajar di sekolah Politeknik di Paris. Tetapi Auguste Comte dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis (Hadiwijoyo, 1980:109).
Agus Comte terlahir dilingkungan keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Di kalangan teman-temannya Auguste Comte adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. (Hakim, 2008:289). Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon, Comte mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak Sosiologi. Selama hidup Comte tidak pernah diberi kesempatan untuk mengajar di Universitas. Comte juga senantiasa hidup dalam kemiskinan. Hal ini karena pekerjaannya sebagai pengarang dan guru pribadi tidak cukup untuk hidup. Hanya berkat sumbangan-sumbangan pengikutnya, antara lain dari Filosof Inggris John Stuart Mill, Aguste Comte bisa makan (Wibisono, 1996:5).
Auguste Comte menikah dengan seorang perempuan yang bernama Caroline Messin, ia adalah bekas pelacur. Selama menikah dengan Comte, Caroline Messin merasakan menderita serta menanggung beban emosional dan ekonomi. Setelah Comte keluar dari Rumah Sakit, dengan sabar istrinya (Caroline Messin) berusaha memenuhi kebutuhan dan merawat Comte sampai sembuh. Meskipun tanpa penghargaan dari Comte, dan kadang-kadang disertai perlakuan kasar. Stelah terjadi perpisahan untuk beberapa saat, akhirnya Caroline Messin meninggalkan Comte dan membiarkan Comte sengsara sendirian. Pada tahun 1844, ketika Comte berumur 43 tahun bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang ibu yang mengubah kehidupan Comte. Clothilde de Vaux berumur beberapa tahun lebih muda dari Comte. Ketika Comte bertemu pertama kalinya dengan Clothilde de Vaux, wanita tersebut sedang ditinggalkan oleh suaminya. Ketika petama kalinya Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, Comte langsung mengetahui bahwa Clothilde de Vaux adalah perempuan yang istimewa. Namun, Clothilde de Vaux tidak terlalu meluap-luap seperti Comte. Akhirnya Comte dan Clothilde de Vaux menjalin hubungan cinta melalui surat, akan tetapi sebenarnya Clothilde de Vaux menganggap hubunganya dengan Comte hanyalah persaudaraan saja. Akhirnya Clothilde de Vaux menerima hubungan khusus dengan Comte karena terdesak oleh keprihatinan akan kesehatan mental Comte dan dari situlah Comte secara radikal mengurangi kegiatan membacanya. Namun, romantika ini tidak berlangsung lama karena Clothilde de Vaux mengidap penyakit TBC dan beberapa bulan setelah bertemu dengan Comte, Clothilde de Vaux meninggal dunia. Kehidupan Comte sangat terguncang, Comte bersumpah untuk membangkitkan hidupnya untuk mengenang “bidadari-nya” Clothilde de Vaux (Hakim, 2008:290-191). Auguste Comte meninggal di Perancis pada tanggal 5 September tahun 1857 pada umur 59 (Yusuf, 2012:http://.com/2012/12/teori-sosiologi-klasik-kumpulan-teori_761.html).
Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Abad ke-19 muncullah filsafat yang disebut positivisme yang diturunkan dari kata “Positif”. Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual dan yang positif (Tafsir, 1992:23). Positivisme berasal dari kata “Positif”. Kata “Positif” disini artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta (Hakim, 2008:296). Menurut aliran positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh Empirisme. Positivisme juga mengutamakan pengalaman, hanya saja berbeda dengan Empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan, Postivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut, hanya mengandalkan fakta-fakta belaka (Praja, 2005:89). Aliran positivisme menyempurnakan Empirisme dan Rasionalisme (Syadali, 1997:133).
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyakinan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Auguste Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan atau kesalahan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Dan eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan dan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, dan kopi panas. Tetapi, kita juga memerlukan ukuran yang teliti dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai (Sumarna, 2004: 25). Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles Lyell, dan Charles Darwin. Kata “rasional” bagi Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni pengetahuan riil yang diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi), eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh hukum yang sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme, tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio untuk mengolah fakta menjadi pengalaman (Yusuf, 2012:http://.com/2012/12/teori-sosiologi-klasik-kumpulan-teori_761.html).
Jadi, setelah fakta diperoleh fakta-fakta tersebut kita atur sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Auguste Comte anti metafisika dan hanya menerima fakta yang ditemukan secara positif ilmiah. Adapun semboyan Auguste Comte yaitu “Savoir Pour Prevoir” yang berati tahu untuk bertindak. Filsafat positif Comte juga disebut Empireisme Kritis yaitu bahwa pengamatan dan teori berjalan seiring (Kebung, 2011:129).
Jadi, pengetahuan yang kita dapatkan tidak sekedar tahu tetapi harus dibuktikan dan orang positivis percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat dipergunakan sebagai dasar untuk mengadakan pembaruan-pembaruan sosial dan politik untuk menyelaraskan intuisi-intuisi masyarakat dengan hukum-hukum. Hasilnya suatu masyarakat yang rasionya dapat menghasilkan kerja sama dengan menghilangkan kepercayaan terhadap takhayul, ketajutan, kebodohan, paksaan, dan konplik sosial.
Karya-karya Auguste Comte diantaranya adalah:
Cours de Philosophie Positive
Karya utama Aguste Comte adalah buku yang berjudul Cours de Philosophie Positive yaitu khusus tentang filsafat positif yang diterbitkan dalam enam jilid terbit pada tahun 1830-1842. Karya Aususte Comte ini mengajarkan bahwa cara berfikir manusia berlandaskan pada tahap positif yaitu menerangkan tentang yang benar itu adalah yang nyata, konkrit, eksak, akurat dan memberi nilai manfaat secara langsung kepada kehidupan umat manusia (Sumarna, 2006:29). Buku ini juga dapat dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia. Comte berpendapat bahwa perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu tahap teologis, metafisis, dan ilmiah/positif. Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga di bidang ilmu pengetahuan. (Hakim, 2008:291).
Comte menyatakan bahwa perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positif ilmiah (Surajiyo, 2011:158).
Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati (supernatural) yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani biasa. Pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah.
Pada taraf pemikiran Teologis terdapat tiga tahap yaitu:
Animisme, tahap ini merupakan tahapan yang paling primitif, karena orang menganggap benda-benda sendiri dianggapnya mempunyai jiwa.
Politeisme, tahap ini merupakan perkembangan dari tahap pertama, dimana pada tahap ini manusia percaya pada banyak dewa-dewa. tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatar belakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya (Praja, 2005:134).
Monoteisme
Monoteisme adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme (Ali Maksum,2004). Jadi, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah. Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu (Akhmadi, 2001:117).
Tahap Metafisik
Tahap metafisik (abstrak) bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Jadi, semua kekuatan dapat disimpulkan dalam konsep “alam” sebagai asal mula semua gejala (Hakim, 2008:303).
Tahap Positif Kritis
Pada tahap positif, ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya (tidak mutlak), semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi sangatlah penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Comte mengakui bahwa perubahan dari satu tahap ke tahap yang berikutnya tidak pernah terjadi secara tiba-tiba, sehingga memperlihatkan suatu garis pemisah yang jelas dengan yang sebelumnya, serta memperlihatkan suatu awal tahap yang baru (Hakim, 2008:303).
Orang tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum (Maksum, 2004:80).Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Jadi ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif (Yusuf,2012:http://.com/2012/12/teorisosiologiklasikkumpulanteori_761.html).
Jadi, Auguste Comte pada intinya menyatakan bahwa pemikiran setiap manusia, setiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap. Yaitu tahap Teologis, Metafisis dan Positif. Dalam hal ini Auguste Comte memberikan pandangan bahwa manusia muda atau suku-suku primitif berada pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan. Meningkat pada masa remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.
The System Of Positive Politics
Karya kedua Auguste Comte yaitu The System Of Positive Politic. Buku Auguste Comte yang berjudul The System Of Positive Politic ini merupakan bentuk perayaan cinta, karena buku tersebut dimaksudkan untuk mengenang bidadarinya “Clothhilde de Vaux”. Dalam bukunya Comte menegaskan bahwa kekuatan yang sebenarnya, yang dapat mendorong orang dalam kehidupannya adalah perasaan. Bukan pertumbuhan inteligensi manusia yang mantap, Comte menyerukan pada suatu masyarakat agar membangkitkan cinta murni dan tidak egoistis demi kebesaran manusia. Tujuannya adalah “Agama Humanitas” yang merupakan sumber-sumber bagi perasaan-perasaan manusia serta mengubahnya dari cinta diri dan egoisme menjadi altruisme (menganggap bahwa soal utama bagi manusia adalah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain) dan cinta. Dan sekaligus tidak membenarkan secara intelektual ajaran-ajaran agama tradisional yang bersifat supernaturalisik. Menurut Auguste Comte bahwa pengintegrasian kembali masyarakat atas dasar prinsip-psrinsip positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui agama gaya baru, yaitu agama sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari-hari raya, dan orang-orang “Kudus”-nya. Hanya agama yang akan mampu menyemangati baik akal-budi maupun perasaan dan kemauan. Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan agama baru Humanitas. Yang disembah sebagai Yang Maha Tinggi bukan Tuhan, melainkan humanitas atau kemanusiaan. Orang harus mencintai humanitas, dengan humanitas tidak dimaksudkan untuk semua orang, tidak termasuk bagi yang jahat dan tidak becus, melainkan untuk orang-orang terbaik yang pernah dihasilkan sejarah dan masih hidup melalui karya dan pengaruh mereka. Menurut Comte, cinta inilah yang akan memulihkan keseimbangan dan keintegrasian baik dalam diri pribadi individu maupun dalam masyarakat. Cinta ini akan melahirkan pemerintahan sipil, menjinakkan, dan mengendalikan tiap-tiap kekuasaan duniawi (Hakim, 2008:308-309).
The Cours Of Positive Philosophy
Karya ketiga Auguste Comte yaitu The Cours Of Positive Philosophy (ilmu pengetahuan yang positif). Menurut Comte, suatu ilmu pengetahuan bersifat positif. Apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan konkrit, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif. Serta sejauh mana ilmu tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Hierarki atau tingkatan ilmu-ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalisasi dan penambahan kompleksitasnya adalah sebagai berikut:
Logika (Matematika Murni)
Ilmu pasti merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan, karena sifatnya yang tetap, abstrak, dan pasti.
Ilmu Pengetahuan Empiris
Ilmu pengetahuan empiris terbagi lagi menjadi lima tingkatan ilmu pengetahuan yaitu:
Astronomi (Ilmu Perbintangan);
Fisika (Ilmu Alam);
Kimia (Ilmu Pengamatan dan Percobaan);
Biologi (Ilmu Hayat);
Sosiologi, (Hakim, 2008:314).
Dan hal yang menonjol dari sistematika Comte adalah penilaiannya terhadap sosiologi, yang merupakan ilmu pengetahuan yang paling kompleks. Dan merupakan suatu ilmu pengetahuan yang akan berkembang dengan pesat. Sosiologi merupakan studi positif tentang hukum-hukum dasar dari gejala sosial. Comte kemudian membedakan antara Sosiologi Statis dan sosiologi dinamis(Hakim, 2008:314).
Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis, yang menjadi dasar dari masyarakat. Studi ini merupakan semacam anatomi sosial yang mempelajari aksi-aksi dan reaksi timbal balik dari sistem-sistem sosial (sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga kemasyarakatan). Semua gejala sosial saling berkaitan yang berarti bahwa percuma untuk mempelajari salah satu gejala sosial secara tersendiri. Karena unit sosial yang penting bukanlah individu tetapi, keluarga yang bagian-bagian terikat oleh simpati. Sisiologi dinamis merupakan teori tentang perkembangan, dalam arti pembanguan. Ilmu pengetahuan ini menggambarkan cara-cara pokok dalam hal terjadinya perkembangan manusia, dari tingkat inteligensi yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Comte yakin bahwa masyarakat akan berkembang menuju suatu kesempurnaan (Hakim, 2008:314-315).
Dari hal tersebut, Comte dikenal sebagai bapak Sosiologi. Karena Comte adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi, Ia percaya bahwa studi sosiologi haruslah ilmiah. Masyarakat positivis percaya bahwa masyarakat merupkan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum yang sudah tersebar luas di lingkungan intelektual diman Comte hidup. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat ilmiah ini sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui semua ilmu-ilmu lain yang sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk pemkiran teologis, metafisis yang pada akhirnya samapi terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif. Dan bidang Sosiologi (Fisika Sosial) adalah paling akhir melewati tahap-tahap ini, karena pokok permasalahnnya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan biologi.
(Elfilany, 2011:http://www.elfilany.com/2011/03/auguste-comte-dan-aliran-positivisme.html)
Jadi, Buku Comte yang berjudul The Course of Positive Philosophy merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu persyaratan yang sistematis tentang filsafat positif, yang semua itu terwujud dalam tahap terakhir perkembangan.
Sumbangan Filsafat Positivisme Terhadap Ilmu Pengetahuan
Sebagai contoh: hukum, etika dan norma yang menjadi konsensus bersama di dalam masyarakat . Jika seseorang menyatakan kebenaran atau kesalahan sesuai dengan hukum, etika dan norma yang berlaku, baik secara tertulis ataupun secara lisan, hanya dipandang sebagai simbol saja. Dilakukan atau tidak dilakukan tergantung kepada siap yang berbicara dan siapa yang mendengarkan. Ini merupakan pengingkaran atas realitas hidup manusia sesungguhnya.
MATERIALISME
Adapun Tokoh dari aliran filsafat Materialisme, yaitu:
Riwayat Hidup Filosof Kerl Marx
Kerl Marx merupakan seorang tokoh filsafat Barat modern yang memimpin filsafat meterialisme. Marx lahir diTrier (traves) Jerman tahun 1818. Ayahnya berasal dari agama Yahudi dan merupakan seorang pengacara yang cukup berada, ia masuk protestan ketika Marx berusia enam tahun. Setelah tamat dari gymnesium, Marx melanjutkan studinya ke Universitas di Bonn, kemudian melanjutkan S2 nya di Berlin dan ia memperoleh gelar Doktor dengan desertasinya tentang filsafat Euphicurus dan Demoktirus. Namun Marx harus mengubur dalam-dalam harapanya untuk menjadi profesor karna tidak tercapai. Ahirnya ia pun menjadi pengikut Hegelian sayap kiri dan pengikut Feurbach. Dalam usia 24 tahun Marx menjadi redaktur di salah satu koran Rheinich Zeitung yang dibrendel pemerintahanya karena dianggap revolusioner (Hakim, 2008:363).
Karl Marx menikah dengan Jenny von Westphalen pada tahun 1843. Setelah menikah Marx pergi ke Paris dan disinilah ia bersahabat dengan F.Engels pada tahun 1847. Marx dengan Engels bergabung dengan liga komunis, dan atas permintaan liga inilah mereka mencetuskan Manifesto Komunis pada tahun 1848.
Karl Marx (1818-1883) merupakan tokoh utama yang mengaitkan filsafat dengan ekonomi. Dalam pandangannya, filsafat tidak boleh statis, tetapi harus aktif membuat perubahan-perubahan karena yang terpenting adalah perbuatan dan materi, bukan ide-ide (hal ini berbeda dengan Hegel). Manusia selalu terkait dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan yang melahirkan sejarah. Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, yang beraktivitas, terlibat dalam suatu proses produksi. Hakikat manusia adalah kerja (homo laborans, homo faber) Jadi, ada kaitan yang erat antara filsafat, sejarah dan masyarakat (Hakim, 2008:363-364).
Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Istilah meterialisme dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Pertama, materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal kesadaran (conciouness) termasuk didalamnya segala proses fisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua, bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains fisik. Dari kedua definisi tersebut mempunyai implikasi yang sama, walaupun cenderung untuk menjanjikan bentuk materealisme yang tradisional. Materialisme dapat mengambil salah satu dari dua bentuk materialisme tersebut, yaitu yang Pertama tentang mekanisme atau materialisme mekanik, dan yang Kedua tentang materialisme dialektik (dialectical materialism) yang merupakan filsafat resmi dari Rusia, Cina, dan kelompok-kelompok komunis lainnya diseluruh dunia (Hakim, 2008:366).
Materialisme Mekanik
Dalam arti sempit, materialisme ini adalah teori yang mengatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi dan gerak. Menurut mekanisme mekanik akal dan aktifitas-aktifitasnya merupakan bentuk-bentuk behavior (tindak tanduk makhluk hidup), oleh karena itu psikologi menjadi suatu penyelidikan tentang behavior, dan akibatnya otak dan kesadaran dijelaskan sebagai tindakan-tindakan otot, urat saraf atau kelenjar. Bagi pengikut aliran materialisme mekanik, semua perubahan didunia baik perubahan yang menyangkut atom ataupun perubahan yang menyangkut manusia yang semuanya bersifat kepastian semata-mata. Seorang pengikut aliran materialisme mekanik berpendirian bahwa semua fenomena dapat dijelaskan dengan cara yang dipakai dalam sains fisik (Hakim, 2008:375).
Daya tarik materialisme mekanik
Materialisme mekanik mempunyai daya tarik yang sangat besar karena kesederhanaanya. Karena kebanyakan orang banyak berhubungan dengan benda-benda material yang sangat menarik bagi mereka. Filsafat ini yang menganggap bahwa hanya benda-benda itulah yang real, tentunya mempunyai daya tarik bagi orang banyak (Hakim, 2008:375).
Implikasi materialisme mekanik
Banyak ahli fikir berpendapat bahwa jika sains dapat menjelaskan segala sesuatu dengan sebab mekanik saja, tak ada alasan untuk percaya kepada tuhan dan tujuan alam (Hakim, 2008:375).
Materialisme Dialektika
Materialisme dialektika merupakan ajaran Karl Marx mengenai hal ihwal secara umum. Materialisme dialektika timbul dari perjuangan sosial yang hebat, yang muncul sebagai akibat dari revolusi industri. Menurut materialisme ini, tidak ada sesuatu selain benda dalam gerak (matter in motion) di Dunia ini, benda tidak akan bergerak kecuali jika benda tersebut di Dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu dalam materialisme dialektika ini merupakan buah dari teori gerak dan perkembangan. Dengan demikian pandangan Marx dalam materialisme dialektik ini bahwa dunia materil yang kosntan ini baik dalam gerak, perkembangan maupun regenerasinya. Dialetika Marx diambil dari hegel, Marx dan Engels sama-sama menolak idealisme Hegel akan tetapi mereka menerima hampir seluruh metodologi idealisme Hegel. Filsafat Hegel bedasarkan idealis sedangkan filsafat Marx bedasarkan meterialisme. Prinsip aliran materialisme dialektika memandang bahwa alam semesta ini bukan tumpukan yang terdiri dari segala sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah-pisah, tetapi merupakan satu keseluruhan yang bulat dan saling berhbungan, menurutnya alam ini bukan suatu yang diam akan tetapi akan selalu dalam keadaan bergerak terus menerus dan selalu berkembang. Perkembangan tersebut disebabkan oleh adanya pertentangan didalam benda itu sendiri. Asas-asas dialektika menurut Engels yaitu “the law transformations of quality into quality, vice versa, the law of interpretations of opossite, the law of negation of negation”. Intinya ciri-ciri materialisme dialektika mempunyai asas gerak, asas saling berhubungan, asa perubahan dari kuantitatif ke kualitatif, dan asas kontradiksi intern (Hakim, 2008:378).
Asas Gerak
Gerak atau (motion) diartikan sebagai perubahan pada umumnya. Gerak merupakan salah satu tanda adanya benda. Setiap benda mulai dari yang terkecil hingga sampai yang terbesar selalu bergerak, artinya selalu adanya perubahan, perkembangan, dan pasti akan lenyap.
Asas Saling Berhubungan
Perubahan dan perkembangan gerak disebabkan oleh alam sementara ini berhubungan satu sama lain. Perubahan dalam satu bagian akan menyebabkan perubahan pada bagian lainya. demikian pula suatu hubungan itu terjadi diantara masa lampau dan masa kini (Hakim, 2008:379).
Asas Perubahan Dari Kuantitatif Kepada Kualitatif
Menurut Marx perubahan dari kuantitas dapat mengakibatkan dapat berubah menjadi perubahan kualitas. Perubahan kuantitatif selalu berlangsung kontinu dan berangsur-angsur secara berevolusi. Titik perubahan dari satu kualitas pada kualitas lainya yang dinamakan sebagai revolusi (Hakim, 2008:380).
Asas Kontradiksi Intern
Perubahan dan perkembangan pun disebabkan oleh adanya suatu kontradiksi didalam dirinya yang selalu terjadi dalam segala hal (Hakim, 2008:380).
Materialistis Historis
Dialektika Hegel digunakan untuk memahami gejala masyarakat dimana materialisme historis disini ialah,”roh” yang merupakan manusia atau alam yang merupakan antitesis roh dan alam di Sini diartikan dalam sintesis, Seni, Agama, Dan Filsafat. Menurut Marx tindakan demikian merupakan bahwa manusia bukan roh yang terjun dalam materi, Akan tetapi manusia bergantung pada alam yang mempunyai sifat aktif terhadap alam. Manusia dan alam saling bekerja sama yang akan menghasilkan pakaian, Makanan,Tempat tinggal, dan sehingga alam dihumanisasi oleh manusia dan manusia menaturalisasi alam. Bedasarkan asas tersebut Marx menyatakan bahwa dalam kehidupan itu adanya masyarakat (social being). Kesadaran masyarakat yaitu merupakan ide, teori, Pandangan, Yang diwujudkan dari gambarannya cermin kehidupan yang nyata. Dengan demikian social being merupakan infra struktur yang dapat di jumpai dalam cara berproduksi barang-barang material atau faktor ekonomi (Hakim, 2008:382).
Karya marx berdasarkan pengakuan implisit perbedaan antara apa yang baik yang menunjukan diri dalam kerjasama dan komonikasi bebas ,dan apa yang jahat yang slalu ada unsur penindasan. Berikut adalah beberapa karya Marx semasa hidupnya:
Economic and Philosophical Manusript.
Tulisan ini terinspisrasi karena Marx banyak mengenal tulisan-tulisan ahli ekonomi politik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Marx dalam hal ini mengambil isu individualisme pendekatan ini dengan mengatakan bahwa deengan individualisme manusia dikesampingkan.
The German Ideology
Karya ini merupakan hasil pemikirannya dengan Engles. Karya ini mengenai suatu interpretasi komprehensif tentang perubahan dan perkembangan sejarah sebagai alternatif terhadap interpretasi Hegel mengenai sejarah.
The Class Strruggles in France dan The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.
Kedua esai ini menerapkan metode materialis historisnya Marx dengan berusaha untuk mengungkapkan kondisi-kondisi sosial dan material yang mendasar yang terdapat di bawah permukaan perjuangan-perjuangan ideologis yang dinyatakan hanya dengan kondisi-kondisi sosial dan materil.
The Communist Manifesto
Sebuah tulisan yang ditugaskan kepada Marx oleh organisasi Communist League setelah perdebatan antara Marx dan Weikting dalam organisasi itu mengenai waktu yang tepat untuk revolusi proletariat. Dan ini merupakan pernyataan yang akan menjadi program teoretis untuk organisasi itu.
Das Kapital
Dalam Das Kapital Marx mengembangkan dan mensistematisasi sebagian besar ide-ide yang sudah diuraikan sebelumnya secaara singkat dari karya-karya sebelumnya (Hakim, 2008:395).
Sumbangan Filsafat Materialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan.
Saya meneliti sistem ekonomi borjuis dengan urutan sebagai berikut: kapital, kepemilikan tanah, buruh-upahan; Negara, perdagangan luar negeri, pasar dunia. Kondisi ekonomi dari keberadaan tiga kelas besar, yang mana membagi masyarakat borjuis modern, dianalisis di bawah ketiga judul yang pertama; hubungan dari ketiga judul yang lain sudah tidak perlu dibuktikan. Bagian pertama dari buku yang pertama, yang membahas mengenai Kapital, terdiri dari bab-bab berikut ini: 1. Komoditas, 2. Uang atau sirkulasi sederhana, 3. Kapital secara umum. Bagian yang sekarang ini terdiri dari dua bab. Seluruh bahan terletak di depan saya dalam bentuk monografi, yang ditulis bukan untuk publikasi melainkan untuk klarifikasi-diri pada periode-periode yang sangat terpisah; pembentukannya ke dalam suatu keseluruhan yang terintegrasi, sesuai dengan rencana yang telah saya tunjukkan, akan tergantung dari keadaan.
Sebuah pengantar yang umum, yang telah saya susun, telah saya hilangkan, karena berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut, pengantar tersebut tampak membingungkan bagi saya untuk mengantisipasi hasil-hasil yang masih perlu diperkuat, dan pembaca yang ingin mengikuti saya harus memutuskan untuk maju dari yang khusus ke yang umum. Beberapa catatan tentang studi-studi politik-ekonomi yang saya lakukan sendiri mungkin pada tempatnya di sini.
Subjek studi-studi profesional saya ialah ilmu hukum, tetapi yang saya ambil dalam hubungannya dengan, dan sekunder terhadap, studi-studi filsafat dan sejarah. Dalam tahun-tahun 1842-1843, sebagai editor Rheinische Zeitung, saya mula-mula canggung pada waktu saya harus ikut serta dalam diskusi-diskusi mengenai apa yang disebut kepentingan-kepentingan material. Jalannya sidang-sidang pada Majelis Rhein berhubungan dengan pencurian-pencurian kayu di hutan, dan pembagian lanjutan dari hak milik tanah yang bersifat ekstrim; pertentangan resmi tentang keadaan kaum tani di Mosel, di mana Herr von Schaper, saat itu menjabat Presiden Provinsi Rhein, bersengketa melawan Rheinische Zeitung; akhirnya perdebatan mengenai perdagangan bebas dan proteksi; semuanya ini memberi rangsangan pertama kepada saya untuk memulai studi mengenai masalah-masalah ekonomi. Pada waktu yang sama, gema yang lemah dan bersifat filosofis-semu dari sosialisme dan komunisme Prancis terdengar dalam Rheinische Zeitung waktu itu, tatkala maksud-maksud baik untuk "maju terus" jauh melebihi pengetahuan tentang fakta. Saya bertekad melawan pendekatan yang amatir itu, tetapi harus mengakui serta-merta dalam suatu pertentangan dengan Allgemeine Augsburger Zeitung bahwa studi-studi saya sebelumnya tidak memungkinkan saya untuk mencoba mengemukakan penilaian mandiri mengenai isi dari pemikiran aliran-aliran Perancis itu. Karena itu, tatkala para penerbit Rheinische Zeitung mempunyai ilusi bahwa dengan kebijakan yang kurang agresif surat kabar itu dapat diselamatkan dari hukuman mati yang dijatuhkan pada harian itu, maka dengan senang hati saya memanfaatkan kesempatan itu untuk mengundurkan diri dari kehidupan umum dan masuk ke dalam ruangan studi saya.
Karya pertama yang saya kerjakan untuk memecahkan masalah yang merisaukan saya ialah suatu tinjauan kembali atas karya Hegel: Philosophy of Law (Filsafat Hukum); Pengantar bagi karya itu tercantum dalam Deutsch-Franszosiche Jahrbücher yang diterbitkan di Paris dalam tahun 1844. Berkat studi-studi saya, saya berkesimpulan bahwa hubungan-hubungan hukum, dan dengan demikian pula bentuk-bentuk negara, tidak dapat dipahami secara tersendiri, pun tidak dapat diterangkan atas dasar apa yang disebut kemajuan umum pikiran manusia, tetapi bahwa hal-hal itu berakar dalam kondisi-kondisi materiel dari kehidupan, yang oleh Hegel disimpulkan menurut cara Inggris dan Prancis abad kedelapan belas di bawah sebutan civil society (masyarakat sipil); anatomi masyarakat itu harus dicari di dalam teori ekonomi. Studi mengenai bidang ini, yang saya mulai di Paris, saya lanjutkan di Brussel, yaitu kota ke mana saya pindah setelah adanya perintah pengusiran yang dikeluarkan oleh Tuan Guizot. Kesimpulan umum yang saya capai dan yang, sekali dicapai, terus berfungsi sebagai garis penuntun dalam studi-studi saya, secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam produksi sosial yang orang-orang lakukan, mereka mengadakan hubungan-hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan yang tidak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi materiel mereka. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat-dasar yang nyata, di atas mana timbul struktur-struktur atas (superstructures) hukum dan politik dan dengan mana cocok pula bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan materiel menentukan sifat umum dari proses-proses sosial, politik, dan spiritual dari kehidupan. Bukan kesadaran manusialah yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya; eksistensi sosialnyalah yang menentukan kesadarannya.
Pada suatu tahap dalam perkembangannya, kekuatan-kekuatan produksi materiel dalam masyarakat bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada, atau-yang hanya merupakan bahasa hukum bagi hal yang sama-bertentangan dengan hubungan-hubungan hak milik di tempat orang itu bekerja sebelumnya. Hubungan-hubungan ini berubah dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan-kekuatan produksi menjadi belenggu-belenggu mereka. Kemudian sampailah masa revolusi sosial. Dengan perubahan fondasi ekonomi, maka seluruh struktur atas yang sangat besar cepat atau lambat akan berubah. Dalam memikirkan perubahan-perubahan seperti itu, harus selalu dibedakan antara perubahan materiel dari kondisi-kondisi ekonomi bagi produksi yang dapat ditentukan dengan kecermatan ilmu pengetahuan alam, dan bentuk-bentuk hukum, politik, keagamaan, estetika, atau filsafat-pendek kata, bentuk-bentuk ideologis-dalam bentuk-bentuk mana orang menjadi sadar tentang konflik ini dan berjuang untuk menyelesaikannya. Seperti pun kita tidak mendasarkan pendapat kita tentang individu atas apa yang dipikirkannya tentang dirinya, demikian pula kita tidak dapat menilai masa perubahan seperti itu atas dasar kesadarannya sendiri; bahkan sebaliknya, kesadaran ini harus lebih dijelaskan dari segi kontradiksi-kontradiksi kehidupan materiel, dari segi konflik yang ada antara kekuatan-kekuatan sosial yang berproduksi dan hubungan-hubungan produksi.
Tidak ada tata sosial pernah lenyap sebelum semua kekuatan produktif yang bisa ditampungnya telah berkembang semuanya dan hubungan-hubungan produksi baru yang lebih tinggi tidak akan pernah timbul sebelum kondisi-kondisi materiel bagi eksistensinya telah matang di dalam kandungan masyarakat lama. Karena itu, manusia hanya selalu menangani masalah-masalah yang dapat dipecahkannya, karena-jikalau kita meninjau masalahnya secara lebih cermat-kita akan selalu melihat bahwa masalahnya sendiri timbul hanya apabila kondisi-kondisi materiel yang perlu bagi pemecahannya sudah ada atau sekurang-kurangnya dalam proses pembentukan. Secara garis besar kita dapat menyatakan cara-cara berproduksi Asia, feodal, dan borjuis modern sebagai sekian banyak zaman di dalam kemajuan pembentukan ekonomi masyarakat. Hubungan-hubungan produksi borjuis merupakan bentuk antagonistis yang terakhir dari proses sosial dalam produksi-bersifat antagonistis bukannya dalam arti antagonisme individual, melainkan antagonisme yang timbul dari kondisi-kondisi yang mengelilingi kehidupan individu-individu dalam masyarakat; pada waktu yang sama kekuatan-kekuatan produktif yang berkembang di dalam kandungan masyarakat borjuis menciptakan kondisi-kondisi materiel bagi pemecahan antagonisme itu. Karena itu, formasi sosial ini merupakan bagian penutup dari tahap prehistoris masyarakat manusia.
Friedrich Engels yang terus-menerus bersurat-suratan dan tukan menukar gagasan-gagasan dengan saya sejak essai kritisnya yang sangat pandai perihal kategori-kategori ekonomi (dalam Buku-Buku Tahunan Perancis [Deutsch-Französiche Jahrbücher]), sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang sama dengan kesimpulan saya walaupun ia melalui jalan lain (lihat bukunya: Kondisi Kelas Pekerja di Inggeris [Condition of the Working Class in England]). Tatkala ia pun menetap di Brussel dalam musim semi 1845, kami memutuskan untuk menggarap bersama tentang kontras antara pandangan kami dan filsafat idealisme Jerman; sesungguhnya, kami hendak membereskan hutang kami kepada hati nurani filosofis kami yang dahulu. Rencana itu dilaksanakan dalam bentuk kritik terhadap filsafat sesudah Hegel. Naskah dalam dua jilid oktavo yang tebal telah lama sampai pada penerbit di Westphalia ketika kami menerima informasi bahwa keadaan sudah begitu berubah sehingga penerbitan karya itu tidak mungkin dilakukan. Kami tinggalkan manuskrip itu dan membiarkannya dikritik tikus-tikus dengan giginya yang tajam karena kami telah mencapai tujuan utama kami-yaitu menjernihkan persoalan itu bagi kami sendiri. Dari tulisan-tulisan kami yang tersebar mengenai berbagai subyek di mana kami menyajikan pandangan-pandangan kami kepada khalayak ramai pada waktu itu, saya hanya ingat Manifesto Partai Komunis (Manifesto of the Communist Party), yang ditulis oleh Engels dan saya, dan Pembahasan tentang Perdagangan Bebas (Discourse on Free Trade) yang saya tulis sendiri. Gagasan-gagasan utama dari teori kami itu mula-mula disajikan secara ilmiah walaupun dalam bentuk polemik, dalam karya saya Kesengsaraan Filsafat (Misere de la Philosophie), dan sebagainya, yang diarahkan kepada Proudhon dan diterbitkan pada tahun 1847. Satu essai tentang Tenaga Kerja Upahan (Wage Labor) yang saya tulis di Jerman, dan di mana saya mengumpulkan kuliah-kuliah saya mengenai subjek itu di depan Perkumpulan Kaum Buruh Jerman di Brussel, dicegah pencetakannya dalam revolusi Februari dan oleh pengusiran saya dari Belgia sebagai akibat revolusi itu.
Penerbitan Neue Rheinische Zeitung di tahun 1848 dan tahun 1849, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian, menghentikan studi-studi saya mengenai ekonomi, yang baru saya bisa mulai lagi pada tahun 1850 di London. Bahan yang luar biasa banyaknya tentang teori ekonomi yang bertumpuk di British Museum; pemandangan yang menguntungkan yang disajikan London untuk mengamati masyarakat borjuis; dan akhirnya, tahap perkembangan baru yang nampaknya mulai dimasuki masyarakat borjuis itu dengan ditemukannya emas di Kalifornia dan Australia berakibat bahwa saya memulai studi-studi saya dari awal sama sekali dan terus menggarap bahan baru itu dengan kritis. Studi-studi ini sebagian mengungkapkan apa yang nampak sebagai masalah-masalah sampingan yang, bagaimanapun, perlu saya perhatikan selama jangka waktu yang panjang ataupun pendek. Lebih-lebih lagi waktu yang tersedia saya terpaksa dikurangi oleh keharusan mutlak untuk bekerja demi penghidupan. Pekerjaan saya sebagai penyumbang bagi surat kabar Anglo-Amerika yang terkemuka, yaitu New York Tribune, pekerjaan mana telah saya pegang selama delapan tahun ini, telah menyebabkan interupsi yang besar bagi studi-studi saya, karena selama ini saya hanya kadang kala saja benar-benar bekerja untuk surat kabar. Namun artikel tentang peristiwa-peristiwa ekonomi yang penting di Inggris dan di daratan Eropa merupakan bagian yang begitu besar dari sumbangan-sumbangan saya sehingga saya terpaksa menekuni detil-detil praktis yang terletak di luar bidang studi saya yang sesungguhnya, ialah teori ekonomi.
KEUNGGULAN DAN KEKURANGAN FILSAFAT BARAT
Keunggulan Filsafat Barat Modern
Dalam kehidupan modern, keunggulan dari berbagai pendapat yaitu filsafat telah berhasil mengubah pola fikir manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Filsafat memberikan landasan filosofi dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah.
Zaman modern merupakan zaman tegaknya corak pemikiran filsafat yang berorientasi antroposentrisme, sebab manusia menjadi pusat perhatian. Pada masa Yunani dan Abad Pertengahan filsafat selalu mencari substansi prinsip induk seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologi sebagai prinsip induk segala sesuatu yang ada.
Filsafat dengan demikian sejak kemunculanya sampai sekarang telah memberikan warna menarik, terutama dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan sambil memberikan jawaban-jawaban kepada kita sebagai manusia yang hidup pada Abad Modern ini.
Kehadiran filsafat Abad Modern yang diawali oleh gerakan Renaissance berusaha mengembalikan eksistensi kemanusia yang hilang oleh tidur pajang 1000 tahun lebih. Abad Modern ditandai oleh penemuan-penemuan besar dalam bidang ilmu pengetahun sehingga Abad Modern menjadi abad kembalinya subjektivitas dengan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada peranan akal. Munculnya aliran-aliran berbeda menunjukkan bahwa abad modern telah memperbaharui sudut pandang dogmatis manusia kepada pemahaman pluralis yang didukung oleh data dan fakta rasional dan empiris.
Kekurangan Filsafat Barat Modern
Filsafat untuk abad sekarang bukan lagi barang baru dan momok yang harus ditakutkan oleh banyak orang, tetapi yang menjadi kendala dalam menyampaikan maksud-maksud filsafat kepada masyarakat secara luas yaitu bahasa. Filsuf dalam kondisi seperti itu harus menaruh perhatian besar guna menjelaskan kaidah-kaidah bahasa dalam filsafat agar mudah dipahami oleh masyarakat.

BAB IX
FILSAFAT KONTEMPORER

Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, dari kata ‘pragma’ , yang berarti perbuatan atau tindakan. Isme di sini berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal membawa akibat praktis. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Pragmatisme berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki fungsi dan kegunaan bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak.
Secara umum pragmatisne berarti hanya idea (pemikiran, pendapat, teori) yang dapat dipraktekannlah yang benar dan berguna. Idea-idea yang hanya ada di dalam idea (seperti idea pada Plato, pengertian umum pada Socrates, definisi pada aristoteles), juga kebimbangan terhadap realitas obyek indera (pada descartes), semua itu nonsense bagi pragmatisme. Yang ada ialah apa yang real ada, (Syadali, 2004: 69).
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu :
Menolak segala intelektualisme;
Menolak absolutisme;
Meremehkan logika formal.
Para pemikir yang membahas religiousitas dan spiritualitas manusia selalu berusaha menunjukkan keberadaan Tuhan dengan berbagai argumen rasional. Namun, bagi pragmatisme, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah kegunaan dari kepercayaan kita terhadap adanya Tuhan?.
Gagasan mengenai adanya Tuhan dan kepercayaan terhadap agama merupakan gagasan yang benar jika memiliki efek-efek praktis. Tindakan manusialah yang akan membuktikan apakah keyakinannya terhadap Tuhan merupakan suatu kebenaran. Dalam hal ini, keyakinan kita kepada Tuhan dan agama memang diperlukan, karena dengan keyakinan tersebut manusia akan memiliki ketenangan dalam menghadapi kehidupannya. Dengan ketenangan itulah ia akan bisa melakukan tindakan-tindakan yang berguna dengan cara yang “benar”. Doktrin-doktrin agama benar, jika perbuatan para penganutnya sesuai dengan doktrin tersebut dan terarah pada suatu kesuksesan dalam bertindak,(Anonim. 2010. http://librarianship umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-pragmatisme.html#,uds-searchresults.).
Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
Filosof yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.
William James (1842-1910 M)
Riwayat Hidup
James lahir di New York City pada tahun 1842 M, akan tetapi menghabiskan masa kecilnya di Eropa. Ayahnya bernama Henry James, Sr. Beliau adalah seorang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikiran yang kreatif. Henry James, Sr. Merupakan kepala rumah tangga yang memang menekankan kemajuan intelektual. Ia mengembangkan anak-anaknya secara luas sedapat- dapatnya dengan kebebasan dan individualisme, dan ia pun memberikan ide-idenya dan pengalamannya yang penting kepada anak-anaknya. Pendidikan dasarnya tidak seperti anak kebanyakan dan cenderung berganti-ganti, dikarenakan seringnya berpindah dari satu kota ke yang lain dan juga keinginan ayahnya agar dia lebih berkembang. Dia melewatkan masa pendidikannya disekolah umum dan dari guru bimbingan pribadinya di Swiss, Prancis, Inggris dan Amerika. Sejak 1872 M hingga 1907 M, ia menuntut ilmu di Harvard. Pada mulanya James mempelajari fisiologi, kemudian beralih ke psikologi, dan terakhir filsafat. Pragmatisme William James memiliki pengaruh yang cukup dominan dalam filsafat pragmatisme, yang merupakan pemikiran khas Amerika, (Anonim. 2010.http://librarianship umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-pragmatisme.html# uds-search-results.).
Selama tahun-tahun itu, ia hanya bisa membayangkan bagaimana kehidupan di sekolah sebenarnya. Setelah mendalami seni selama beberapa tahun, dia menyadari bahwa seni bukanlah bidangnya, dan pada tahun 1861 M, ia masuk ke Lawrence Scientific School di Cambridge, yang memberikan karir di bidang sains dan koneksi dengan Universitas Harvard yang terus berlangsung seumur hidupnya, (Syadali:2004 hal 69).
Saat berusia 35 tahun, ia telah menjadi dosen di Universitas Harvard. Beliau menjadi instruktur fisiologi dan anatomi selama 7 tahun, guru besar filsafat selama 9 tahun, dan menjadi guru besar psikologi sampai 10 tahun. James adalah penulis yang produktif dan berbakat dibidang filsafat, psikologi dan pendidikan, dan pengaruhnya pada kehidupan pendidikan di Amerika sangatlah mengesankan.
Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Mengenai kebenaran, ada satu kalimat dari William James yang cukup padat dalam menggambarkannya, yaitu “truth happens to an idea”. Berbeda dengan konsepsi tradisional mengenai kebenaran yang memandang kebenaran sebagai sesuatu yang pasti dan tetap, James meyakini bahwa kebenaran itu terjadi pada suatu gagasan. Dalam hal ini, kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang dinamis. Maka kebenaran suatu gagasan tidaklah dikatakan sebagai “benar”, melainkan “menjadi benar”. Hal ini ditakar dari efek-efek praktis dan tindakan yang mengikuti gagasan tersebut.
Sebuah gagasan dinilai benar, jika mengarahkan manusia pada suksesnya suatu tindakan. Dengan kata lain, jika gagasan itu mengarahkan kita pada tindakan yang membawa manfaat. Bagi James, benar dan bermanfaat merupakan satu hal yang sama. Hal ini berkaitan dengan verifikasi yang dikenakan kepada suatu gagasan untuk menguji apakah gagasan itu benar atau tidak.
Terlihat pula bahwa bagi James, kemauan mendahului kebenaran, di mana kemauan itu disertai dengan kehendak untuk percaya. Hal ini dikarenakan kebenaran merupakan sesuatu yang diaktualisasikan oleh manusia kepada gagasan tertentu yang ia jadikan pedoman untuk tindakannya, (Tafsir, 2009: 173).
Karya-karya William James diantaranya, yaitu:
The Principles Of Psychology
Karangannya, Essay in Radical Empirism a Pluralistic Universe, dan karyanya, Some Problems of Philosophy, membicarakan pertumbuhan pandangannya tentang pragmatisme di dalam metafisika dan epistemologi. Pragmatisme, menurut pendapatnya, memberikan suatu jalan untuk membicarakan filsafat dengan melalui pemecahan lewat pengalaman indera. Akan tetapi, ini ternyata tidak mencukupi untuk James karena ia menyadari bahwa pragmatisme juga mampu menghubungkan satu dengan lainnya. Jawaban yang harus diberikan ialah mengenai pandangan yang pasti tentang alam semesta. Pandangan ini tentu saja suatu metafisika, (Anonim. 2010. http://librarianship umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-pragmatisme.html# uds-search-results).
Talks to Teacher
William James adalah seorang yang individualis. Didalam bukunya Talks to Teacher tidak terdapat pernyataan mengenai pendidikan sebagai fungsi sisa. Baginya pendidikan lebih cenderung kepada “ organisasi yang ketertarikan mendalam terhadap tingkah laku dan ketertarikan akan kebiasaan dalam tingkah laku dan aksi yang menempatkan individual pada lingkungannya”. Teori perkembangan diartikannya sebagai susunan dasar dari pengalaman mental untuk bertahan hidup. Pemikirannya ini dipengaruhi oleh insting dan pengalamannya mempelajari psikologi hewan dan doktrin teori evolusi biologi. Ketertarikan James akan insting dan pemberian tempat untuk itu dalam pendidikan, menjadikan para pembaca bukunya percaya akan salah satu tujuan terpenting didalam pendidikan adalah memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mengikuti instingnya. Yang nantinya akan menjadi peribahasa teori pendidikan, (Anonim. 2010. http://librarianship umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-pragmatisme.html# uds-search-results).
The will to be believe, (1897)
Di dalam buku ini menegaskan bahwa ada waktu-waktu ketika kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus membuat keputusan tanpa memiliki semua bukti yang mungkin kita kuasai. Kehidupan tidak selalu memberi kita kemewahan menunggu hingga kita mendapatkan data yang meyakinkan, yang mendukung jalan tindakan yang benar. Tujuan James adalah menggambarkan beberapa karakteristik dasar situasi semacam itu, dan mempertahankan pandangan bahwa arah tindakan rasional di lingkungan ini tidaklah berarti melarikan diri dari realitas dengan mengklaim perlunya keharusan menunggu bukti yang lebih obyektif sebelum memutuskan apa yang harus dilakukan.
The Variety of Religious Experience (1902)
The Varieties of Religious Experiences memuat usaha besar James untuk menilai arti agama dalam kehidupan manusia. Seperti Nietzsche, James menilai agama dari segi kontribusinya pada keutamaan manusia, tetapi kesimpulan yang diambil James berbeda dari para filosof Jerman pada masanya. Perbedaan ini sebagian besar dikarenakan fakta bahwa ideal James lebih demokratis dibandingkan ideal Nietzsche. James tentu memuji nilai individu-individu yang istimewa, tetapi ia memberi penekanan yang lebih jelas dan lebih kuat pada arti penting dan integritas setiap kehidupan manusia, perlunya manusia bekerja bersama guna menghasilkan yang terbaik, dan kebutuhan untuk menetapkan sebuah lingkungan di mana kebebasan personal dan kesatuan sosial melengkapi satu sama lain (Tafsir, 2009: 169).
Sumbangan William James terhadap ilmu masa kini
Teori James akan insting sangatlah bersifat individualis dan sangatlah kolot pada pelaksanaannya. Mengesampingkan pernyataannya mengenai perubahan insting, yang berlawanan dengan diskusinya pada “Iron Law of Habit/Hukum Utama Kebiasaan” dan kepercayaannya akan tujuan dasar pendidikan sebagai pengembangan awal kebiasaan individual dan kelompok, dalam pembentukan masyarakat yang lebih sempurna. Singkatnya, James menegaskan, dasar dari semua pendidikan adalah mengumpulkan semua insting asli yang dikenal oleh anak-anak, dan tujuan pendidikan adalah organisasi pengenalan kebiasaan sebagai bagian dari diri untuk menjadikan pribadi yang lebih baik. Sumbangan James yang paling berpengaruh terhadap metode pendidikan adalah hubungannya dengan susunan kebiasaan. James mengtakan: `
“Hal yang paling utama, disemua tingkat pendidikan, adalah untuk membuat ketakutan kita menjadi sekutu bukan menjadi lawan. Untuk menemukan dan mengenali kebutuhan kita dan memenuhi kebutuhan dalam hidup. Untuk itu kita harus terbiasa, secepat mungkin, semampu kita, dan menjaga diri dari jalan yang memberi kerugian kepada kita, seperti kita menjaga diri dari penyakit. Semakin banyak dari hal itu didalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita lakukan dengan terbiasa, semakin banyak kemampuan pemikiran kita yang dapat digunakan untuk hal yang penting lainnya.”, (Anonim. 2010. http://librarianshipumir.blogspot.com/2010/08/pendekatanpragmatisme.html# uds-search-results).






John Dewey (1859-1952 M)
Riwayat hidup John Dewey
John Dewey adalah seorang filosof dari Amerika Serikat, yang termasuk Mazhab Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.
Dewey dilahirkan di Burlington pada tahun 1859 M. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas. Sepanjang karirnya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an artikel. Dewey meninggal dunia pada tahun 1952 M.
Dari tahun 1884-1888 M, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 M ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894 M, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhinya. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika, (Syadali, 2004: 76).
Ajaran dan Karya Kefilsafatannya
Menurut Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata dalam kehidupan. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisik belaka. Filsafat harus berpijak pada pengalaman, dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara kritis. Dengan demikian, filsafat dapat menyusun suatu sistem nilai atau norma.
Cara-cara non-ilmiah (unscientific) membuat manusia tidak meruasa puas sehingga mereka menggunakan cara berpikir deduktif atau induktif. Kemudian orang mulai memadukan cara berpikir deduktif dan induktif, dimana perpaduan ini disebut dengan berpikir reflektif (reflective thinking).
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk insting-insting biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture". Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan. - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain, (Tafsir, 2009: 179).
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyrakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial sekitar manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi sekitar, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarnya, (Syadali, 2004: 80).
Dewey juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sisitem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sistem pendidikan. Penyiksaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan doktrin-doktrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Tak lepas dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah. Intinya bahwa, dalam dunia pendidikan harus diterapkan sistem yang demokratis, (Tafsir, 2009: 181).
Menurutnya, proses belajar berarti menangkap makna dengan cara sederhana dari sebuah praktek, benda, proses atau peristiwa. Menangkap makna berarti mengetahui kegunaannya. Sesuatu yang mempunyai makna berarti memiliki fungsi sosial. Oleh karena itu pendidikan harus mampu mengantar kaum muda untuk memahami aktivitas yang mereka temukan dalam masyarakat. Semakin banyak aktivitas yang mereka pahami berarti semakin banyak pula makna yang mereka diperoleh. Dalam pengertian inilah ia mengatakan bahwa mutu pengetahuan mempengaruhi demokrasi.
Karya- karya John Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics dan lain- lain.
Dalam buku Dewey yang berjudul “ Democracy dan Education” yaitu tentang pendidikan, dimana mengungkapkan bahwa:
Filsafat pendidikan adalah bukan suatu pola pemikiran yang jadi dan disiapkan sebelumnya dan datangnya dari luar kedalam suatu sistem praktik,pelaksanaan yang amat sangat berbeda asal usulnya maupun tujuanya.
Filsafat pendidikan adalah suatu perumusan sacara jelas dan tegas eksplisit tentang problema-problema pembentukan pola kehidupan mental dan moral dalam kaitanya menghadapi kesulitan yang timbul dalam kehidupan.
Defenisi yang paling tepat adalah teori pendidikan dalam pengertian yang umum dan teoritis.
Sumbangan John Dewey terhadap ilmu masa kini
Mungkin kontribusi Dewey bagi perkembangan kebudayaan Amerika yang paling bessar adalah formulasinya secara batu tentang filsafat. Baginya, filsafat harus terarah pada masalah-masalah sosial dalam setiap waktu dan berusaha untuk diklarifikasikan dengan masalah filsafat politik dan ekonomi. Dalam bahasa lain, tradisi epistemologi dan problem metaisika juga patut diperhitungkan dalam tempat yang kedua. Semuanya berpengaruh pada atau membentuk konsep filsafat sosial.
Berkaitan dengan semuanya, John Dewey percaya bahwa filsafat membawa pengaruh pada perkembangan pendidikan. Sebagai akaibatnya pendidikan telah memberikan pertimbangan argumen. Liberalisme Dewey telah mempengaruhi bidang-bidang seperti religius, politik dan estetika. Hal ini juga bergesar pada ilmu pengetahuan sekaligus mewakilki potensi-potensi yang ada pada budaya Amerika.
Dewey menganggap pentingnya pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya penghormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib, Anonim. 2010. http://librarianship umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-pragmatisme.html# uds-search-results
Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran, (Syadali, 2004: 85).
Dalam evaluasi dari ilmu pengetahuan, Dewey dalam bukunya mengkombinasi tradisi dari Bacon dan Lock. Biologi yang menjadi kunci untuk membenarkan pengertian akan alam bukan ontologi. Selanjutnya dia terus pada metode pragmatismenya James dan memajukan supernatural dari pemikiran Amerika.
Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan istilah pertama yang dirumuskan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Setelah selesai Perang Dunia Kedua, penulis-penulis Amerika (terutama wartawan) berbondong-bondong pergi menemui filosof eksistensialisme, misalnya mengunjungi filosof Jerman Martin Heidegger (1839) digubuknya yang terpencil di Pegunungan Alpen sekalipun ia telah bekerja sama dengan Nazi. Tatkala seorang filosof eksistensialisme, Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengadakan perjalanan keliling Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar Amerika sebagai the King of Existentialism, (Tafsir, 2009: 191).
Akar metodelogi eksistensialisme ini berasal dari fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund husserl (1859-1938). Sedangkan munculnya filsafat eksistensialisme ini dari 2 orang ahli filsafat Soeran Kierkegaard dan Neitzche. Kedua tokoh diatas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia,(Hadiwijono, 1980: 127).
Disamping itu penyebab munculnya filsafat eksistensialisme ini yaitu adanya reaksi terhadap filsafat materialisme Marx yang berpedoman bahwa eksistensi manusia bukan sesuatu yang primer dan idealisme Hegel yang bertolak bahwa eksistensi manusia sebagai yang konkret dan subjektif karena mereka hanya memandang manusia menurut materi atau ide dalam rumusan dan system-sistem umum (kolektivitas social).
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata Latin ex yang berarti keluar dan sister yang berarti berdiri. Jadi,eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti di sana, di tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral, (Hassan, 1974 : 7).
Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealism. Materialisme dan idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang ekstrem. Kedua-duanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi kedua-duanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua ekstremitas itu, (Tafsir, 2008: 193).
Menurut Parkey (1998) aliran eksistensialisme terbagi menjadi 2, yaitu; bersifat theistic (bertuhan) dan atheistic. Menurut eksistensialisme sendiri ada 3 jenis; tradisional, spekulatif dan skeptif. Eksistensialisme sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya itu disebut objek, (Tafsir, 2009: 192). Sehingga disebutkan disini manusia adalah subyek sedangkan benda atau materi lainnya adalah obyek.
Kalau berbicara tentang eksistensialisme tentunya berbicara hakekat manusia dan segala sesuatu yang berkenaan dengan dirinya seperti bakat, keinginan, kebutuhan, kewajiban yang harus dikerjakan oleh manusia yang sebagai halifah dimuka bumi dengan kata lain adalah manusia mempunyai potensi yang harus dikebangkannya.
Dan Rene Deskates (1596-1650) seorang tokoh rasionalisme, menjelaskan bahwa jiwa adalah terpadu, rasional, dan kosisten yang dalam aktifitasnya yang selalu terjadi interaksi dengan tubuh. Interaksi jiwa dan tubuh ini dapat mangubah makna nafsu yang dimaknai dengan pengalaman-pengalaman sadar yang disertai dengan emosi jasmaniah.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki hak untuk hidup, merdeka, dan milik. Menurut Allport, sebagai makhluk individu maka manusia memiliki sifat unik yang hanya dimiliki oleh dirinya sendiri, berdiri sendiri, dan bersifat otonom. Eksistensialisme yang mendukung kebebasan manusia sesuai dengan hak manusia untuk bebas hidup dan tinggal dimana saja sesuai keinginannya.
Manusia sebagai makhluk social harus dapat bertoleransi untuk dapat menjalin kehidupan yang harmoni dengan sesamanya, orang-orang yang berada di sekitarnya. Hal ini menyebabkan manusia harus belajar untuk dapat menghormati keinginan orang lain yang berarti manusia harus bias menekan sifat egonya.
Sebagai makhluk ekonomi, manusia akan selalu mencoba mereduksi martabat manusia yang hanya sekadar alat prosuksi dan hanya bermanfaat demi kepentingan kaum kapitalis serta mengkapitalisasi segala sumber daya dari sisi ekonomi. Dari ha lini terlihat bahwa manusia tidak ingin terkekang oleh kaum kapitalis. Manusia ingin bebas dalam mengelola ekonominya. Hal ini sesuai dengan eksistensialisme yang tidak mau menurut begitu saja, tetapi harus berjuang untuk mendapatkan kebebasannya, (Muzairi, 2009: 96).
Tokoh Fisafat Eksistensialisme
Aliran pemikiran eksistensialisme ini muncul pada abad ke-19 dan ke-20 dan di pelopori oleh seorang berketurunan Yahudi, Jean-Paul Satre (Kailani, 2002). Mazhab ini juga didukung oleh individu seperti: ahli falsafah dan teologi Denmark, Soren Kierkegaard (1813-55), tokoh atheis Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900), ahli ontologi Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), ahli falsafah Katolik Perancis, Gabriel Marcel (1889-1973), ahli falsafah dan pakar psikiatri Jerman, Karl Jaspers (1883-1969), novelis dan ahli falsafah Perancis, Simone de Beauvoir (1908-86) dan ahli fenomenologis Perancis, Maurice Merleau-Ponty (1908-61) (Priest, 2001). Diantara tokoh-tokoh tersebut hanya Soren Kierkegaard dan Jean-Paul Satre yang akan dikemukakan.
Soren Aabye Kierkegaard (1813 – 1855)
Riwayat Hidup Soren Aabye Kierkegaard
Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813 dan meninggal dunia tanggal 11 November 1855 saat berumur 42 tahun. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, adalah seorang pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, serta makanan dan seseorang yang sangat saleh. Ia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Ia percaya bahwa dosa-dosa pribadinya, seperti misalnya mengutuki nama Allah pada masa mudanya dan kemungkinan juga menghamili ibu Kierkegaard di luar nikah, menyebabkan ia layak menerima hukuman ini. Meskipun banyak dari ketujuh anaknya meninggal dalam usia muda, ramalannya tidak terbukti ketika dua dari mereka melewati usia ini. Sedangkan ibu Soren Kierkegaard bernama Anne Sorensdatter Lund Kierkegaard, (Anonim,2012.http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme).
Soren Kierkegaard merupakan anak terakhir dari ketujuh bersaudaranya. Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum ayahnya meninggal dunia, ayahnya meminta Soren agar menjadi pendeta. Saat itu Soren sangat merasa terbebani dengan permintaan dari ayahnya.
Setelah mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sini pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari filsafat dan teologi. Di universitas, Kierkegaard menulis disertasinya, Tentang Konsep Ironi dengan Rujukan Terus-Menerus kepada Socrates, yang oleh panel universitas dianggap sebagai karya yang penting dan dipikirkan dengan baik, namun agak terlalu berbunga-bunga dan bersifat sastrawi untuk menjadi sebuah tesis filsafat. Kierkegaard lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri Artium, yang kini setara dengan Ph.D. Dengan warisan keluarganya, Kierkegaard dapat membiayai pendidikannya, ongkos hidupnya.
Sebuah aspek penting dari kehidupan Kierkegaard (biasanya dianggap mempunyai pengaruh besar dalam karyanya) adalah pertunangannya yang putus dengan Regine Olsen (1822 - 1904). Kierkegaard berjumpa dengan Regine pada 8 Mei1837 dan segera tertarik kepadanya.
Hingga akhirnya pada tanggal 8 September 1840, Søren resmi menikahi Regine. Namun pada akhirnya Søren merasakan kecewa dan melankolis dengan pernikahannya. Kurang dari satu tahun pernikahannya ia pun menyelesaikan pernikahannya dengan Regine. Dalam catatannya, Søren mengatakan bahwa sifat melankolis yang dimilikinya membuatnya tidak cocok untuk menikah. Walaupun sampai dia meninggal alasan mengapa dia menyelesaikan pernikahannya tidak jelas. (Anonim, 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme).
Soren Kierkegaard dianggap sebagai bapak filsuf eksistensialisme. Ajarannya beraliran eksistensialisme dan dia sangat bertentangan dengan Hegelian.
Ajaran dan Karya Kefilsafatan Soren Kierkegaard
Ajaran yang diberikan oleh Søren adalah mengenai eksistensialisme. Yang artinya adalah sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, hal ini berpusat pada manusia individu. Kebebasan ini sering ditemukan oleh manusia. Karena setiap manusia menginginkan adnaya sebuah kebebasan tanpa memikirkan yang mana yang benar dan yang tidak benar. Sesungguhnya bukan mereka tidak memikirkan hal tersebut, melainkan mereka mengetahui batas kebebasannya masing-masing. Karena kebebasan bersifat relatif. Søren juga dikenal akan filsuf yang mengajarkan akan kecemasan dan keputusasaan eksistensial, (Anonim. 2011. http://sabda.org/biokristi/soren_kierkegaard).
Ajaran-ajaran Soren baru terkenal setelah berpuluh-puluh tahun setelah kematiannya. Karyanya tersebar di daerah Eropa, khususnya di daerah Denmark. Namu saat itu Gereja-Gereja di sekitar Denmark menolak akan adanya karya-karya Soren. Karena ada pengaruh akan karya yang dibuat oleh Søren yang berjudul “Fear and Trembling”. Namun pada abad ke 20-an banyak filsuf yang ternyata menggunakan konsep Soren, mengenai pemahaman kecemasan, dan keputusasaan serta pentingnya individu manusia.
Menurut Kierkegaard, filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu pengekspresian eksistensi individual. Karena ia menentang aliran filsafat yang bercorak sistematis, dapat dimengerti mengapa ia menulis karyanya dengan menggunakan nama samaran.Pertama-tama Kierkegaard memberikan kritik terhadap Hegel. Mula-mula memang ia tertarik pada filsafat Hegel yang telah popular di kalangan intelektual di Eropa ketika itu, tetapi tidak lama kemudian ia melancarkan kritiknya.
Soren sangat bertentangan akan ajaran dari Hegelian. Sehingga dia sering menjadi kritikus akan ajaran Hegel. Pemikiran, sebagai kritik atas Hegel, menekankan pada aspek subjektivisme. Hal ini akan membuat individu melupakan tanggung jawab pribadinya secara etis, bahkan akan menghilangkan eksistensi, (Tafsir, 2009: 194).
Keberatan utama yang diajukan oleh Kierkegaard kepada Hegel ialah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkret karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain, (Tafsir, 2009: 195).
Hanya manusia yang mampu bereksistensi, dan eksistensi saya tidak saya jalankan satu kali untuk selamanya, tetapi pada setiap saat eksistensi saya menjadi obyek pemilihan baru. Bereksistensi ialah bertindak. Tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya, (Tafsir, 2009: 195).
Kierkegaard adalah seorang yang pada zamannya melancarkan reaksi terhadap hidup kemasyarakatan. Keadaan masyarakat pada waktu itu tidak menunjukkan sebuah usaha untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis sehari-hari, serta mengabaikan perkara-perkara batiniah. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang menjadi prinsip Kierkegaard, bahwasanya persoalan-persoalan praktis sehari-hari itulah yang justru menjadi persoalan hidup yang sebenarnya. Memang pada kenyataannya, sejak Kant hingga Hegel orang hanya membicarakan persoalan-persoalan besar yang bersifat umum, sedangkan untuk persoalan khusus dan praktis, pada umumnya orang berpendapat bahwa pemecahannya dapat diturunkan dari dasar-dasar yang umum itu. Kierkegaard kemudian menganggap Hegel mengaburkan hidup yang kongret, nmaka tak heran jika Kierkegaard meremehkan argumentasi abstrak mengenai metafisika yang spekulatif ala Hegel, (Hardiman, 2007:136).
Hegel berpendapat bahwa hidup yang kongret itu hanya mewujudkan suatu unsur saja di dalam proses pengembangan idea. Pandangan demikianlah yang yang ditolak Kierkegaard. Menurutnya, pertanyaan mengenai, “Apa yang harus dilakukan dalam keadaan yang kongret itu?” Justru diperhadapkan oleh manusia setiap harinya Patokan umum yang berlaku bagi umat manusia di segala zaman dan tempat tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup yang kongrit timbul sehari-hari. Sebab setiap orang dihadapkan dengan persoalannya sendiri, yang khusus hanya berlaku baginya. Persoalan-persoalan yang kongret yang timbul setiap hari itu oleh Kierkegaard disebut “persoalan-persoalan eksistensial”, (Hardiman, 2007:138).
Kritik Kierkegaard atas Hegelianisme bukan sekedar sebuah minat teoritis, melainkan didasari oleh sebuah keprihatinan praktis terhadap perilaku keagamaan di Denmark . Zaman itu, Lutheranisme menjadi agama resmi negara Denmark. Agama itu secara otomatis dianut oleh orang Denmark, dan menjadi semacam cap saja untuk kehiduoan sosial. Menurut Kierkegaard agama Kristen sungguh-sungguh menjadi sekular dan duniawi, dan orang yang menyebut dirinya Kristen tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan Allah. Dalam situasi seperti ini, agama hanya menjadi persoalan “objektif” dan “lahiriah”, hanya menyangkut perilaku yang dapat dilihat dan tidak menyangkut komitmen subjektif manusia, (Hardiman, 2007:135).
Pada titik inilah, Kierkegaard lalu menunjukkan bahwa “biang keladi” kemerosotan penghayatan iman ini tak lain adalah filsafat Hegel. Menurut Kierkegaard, realita Hegel tidaklah memiliki relasi dengan realita keberadan manusia.
Demikianlah menurut Kierkegaard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi, harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan suatu “menjadi”, yang mengandung di dalamnya suatu perpindahan dari “kemungkinan” ke “kenyataan”. Apa yang semula berada sebagai kemungkinan berubah atau bergerak menjadi suatu kenyataan. Perpindahan atau perubahan ini adalah suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan keluar dari kebebasan yaitu karena pemilihan manusia. Jadi eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan, yang harus dilakukan seyiap orang bagi dirinya sendiri.
Kierkegaard membedakan adanya tiga bentuk eksistensi, yaitu: bentuk estetis, bentuk etis dan bentuk religius.
Tahap Estetis
Pada tahap ini, manusia menaruh perhatian besar terhadap segala sesuatu yang di luar dirinya. Ia hidup di dalam dunia dan di dalam masyarakat, dengan segala sesuatu yang dimiliki dunia dan masyarakat itu. Ia menikmati segala yang jasmani dan rohani. Sekalipun demikian batinnya kosong. Senantiasa ia menghindari tiap keputusan yang menentukan. Sifat hakiki bentuk eksistensi estatis ialah tidak adanya ukuran-ukuran moral yang umum yang telah ditetapkan, dan tidak adanya kepercayaan keagamaan yang menentukan. Yang ada hanya keinginan untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu.
Tahap Etis
Pada tahap ini, manusia memperhatikan benar-benar kepada batinnya. Ia tidak hidup dari hal-hal yang kongrit ada. Sikapnya di dalam dunia, senantiasa diusahakan agar dapat ditentukan dari sudut hidup batiniahnya, menurut patokan-patokan yang umum.
Tahap Religius
Tahap religius ditandai oleh pengakuan individu akan Tuhan, dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan Tuhan. Pada tahap ini individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang disebutnya “lompatan iman”. Lompatan ini bersifat non-rasional dan biasa kita sebut pertobatan. Tokoh yang memodelkan tahap ini adalah tokoh Kitab Suci, Abraham, yang mengorbankan putranya yang tunggal karena beriman kepada Tuhan. Di sini Abraham betul-betul meninggalkan tahap etis dan melompat ke tahap religius.
Ada sebuah kalimat dari Søren Aabye Kierkegaard yang cukup menginspirasikan :
“Apa yang dibutuhkan zaman ini bukanlah seorang jenius sebab jenius sudah cukup banyak. Yang dibutuhkan adalah martir, yang rela taat hingga mati untuk mengajarkan manusia agar taat hingga mati. Apa yang dibutuhkan zaman ini adalah kebangkitan. Dan karena itu suatu hari kelak, bukan hanya tulisan-tulisan saya tetapi juga seluruh hidup saya, seluruh misteri yang membangkitkan tanda tanya tentang mesin ini akan dipelajari dan dipelajari terus. Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana Tuhan menolong saya dan karena itu adalah harapan saya terakhir bahwa segala sesuatunya adalah untuk kemuliaan-Nya”—Søren Kierkegaard, Journals (20 November 1847)
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Menurut Sutarjo (2006:142) karya-karya Sorean diantaranya:
Fear and Trembling (Frygt og Baeven) – 1844
Diambil dari contoh pengorbanan Ishak oleh Abraham. Yang dimaksudkan oleh Søren adalah ajaran atau kepercayaan bahwa segala tindakan disebabkan karena adanya tujuan yang ingin dicapai. Sampai akhirnya Soren befikir bahwa ini seperti tidak masuk akal karena manusia harus menaati perintah Allah. Namun itu merupakan ketaatan manusia kepada Allah
Either/Or (Enten/Eller) – 1843
Buku ini terdiri dari dua bagian yang mempertentangkan pandangan hidup yang estetis dengan yang etis. Karya yang panjang ini menampilkan catatan-catatan pribadi milik Søren. Karyanya yang ini berfungsi baik sebagai kritik ataupun parodi terhadap filsafat dari Hegelian.
Works Of Love (Kjerlighedens Gjerninger) – 1846
Sebuah buku yang meneliti perintah "Kasihilah sesamamu seperti kau mengasihi dirimu sendiri'. karyanya ini menjelaskan akan kekuatan cinta. Bagaimana manusia mecintai sesama, dan bagaimana cinta sejati tanpa keegoisan, yang mungkin hanya terjadi antara manusia dan Tuhan.
Jean Paul Sartre (1905 – 1980)
Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Paul Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni1905 dan meninggal di Paris, 15 April1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis.Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak–kanaknya, (Anonim, 2012. http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme).
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia seorangatheis. Ia mengaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.
Sartre adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen- komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).
Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928. Setelah tamat dari sekolah itu. Pada tahun 1929 ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycees, baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francais di Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938 terbit novelnya yang berjudul La Nausee dan Le Mur terbit pada tahun 1939. Sejak itulah muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat, (Tafsir, 2009: 196).
Selain sebagai seorang guru besar, ia juga seorang pejuang. Dalam Perang Dunia Kedua ia menjadi salah seorang pemimpin pertahanan. Sebagai novelis dan dramawan namanya amat terkenal. Tahun 1964 ia menolak menerima hadiah Nobel dalam bidang kesusastraan (Burr dan Goldinger : 520). Sekalipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan pemikiran Kierkegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang amat jauh, (Tafsir, 2009: 197).
Ajaran dan Karya Kefilsafatan Jean Paul Sartre
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dari tumbuhan, hewan dan bebatuan yang esensinya mendahului eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Di dalam filsafat idealisme, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat (essence)-nya. Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain, (Hanafi, 1981 : 90).
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).
Eksistensi mendahului esensi´, begitulah selalu filosof-filosof eksistensialis berkata,´dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanyamasalah ³Ada´ merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme.Bagi Sartre, manusia menyadari Ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yanglainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusiayang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan ³kesadaran akansesuatu´. Baik kita ajukan contoh: Saat ini saya menyadari tengah duduk dalam sebuahforum diskusi, bersama dengan orang lain, serta benda-benda lain, sekaligus menyadari ahwa saya berbeda dengan orang lain, dan juga bukan sekedar benda. Saya meniadakan (mengobjekkan orang dan benda lain). Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre.
Untuk memperjelas masalah ini,ia menciptakan dua buah istilah;être-en-soi, danêtre-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-Adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda.
Benda-benda hadir di dunia setelah ditentukan lebih dulu identitas (esensi) nya, sifatnyaêtre-en-soi. Dengan sifatnya yang seperti ini benda-benda tidak mempunyai potensi di luar konsepsi awalnya. Sebuah komputer sebelum dirakit, telah dikonsepsikan sebagai alat mempermudah pekerjaan manusia. Karena itu ia tergeletak begitu saja tanpa kesadaran, tak punya potensi untuk melampui keadaannya yang sekarang; eksistensinya mampat karena esensinya mendahului eksistensi. Sementara manusia, dengan Ada yang bersifatêtre-pour-soi, eksistensi yang mendahului esensi, selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini, dan menyadari Ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia mati.
Salah satu keinginan manusia adalah meng-Ada sebagaimana keberadaan benda- benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain.
Tampaklah oleh kita bahwa pendapat Sartre tentang eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan keadaan beradanya manusia ditengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh manusia.
Orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah takut (Bierman dan Gauld, 1973 : 602). Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di dunia ini. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh
Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan, memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga Heidegger (Beerling : 223 – 24), manusia tidak solider, tetapi soliter. Ia memikul berat dunia seorang diri. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Sartre adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan sedikitpun.
Hasil karya filsafatnya yang utama adalah “Being and Nothingness” (1943). Dalam diri (L’entre-en-soi) dan “ber-ada-untuk-diri” (L’entre-pour-soi).
Berada dalam diri (L’entre-en-soi) adalah semacam berada an sich, berada itu sendiri. Filsafatnya berpangkal dari realitas yang ada, karna realitas yang ada itulah yang kita hadapi, kita tangkap, kita mengerti. Ada banyak yang berada, contoh: pohon, batu, binatang, manusia dan sebagainya. “Berada” disini mewujudkan ciri segala benda jasmaniah, materi.
Beradauntukdiri (L’entre-pour-soi) ialah berada yang dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia.
Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada, misalnya ia bertanggungjawab atas fakta, bahwa ia seorang pegawai, atau seorang pedagang, atau seorang pencuri dan sebagainya.Manusia adalah “berada-untuk-diri (L’entre-pour-soi)”. Oleh karena itu maka manusia terwujud karena “berada” itu meniadakan diri (se neantise). Manusia sebagai manusia, sebagai L’entre-pour-soi terdiri dari peniadaan. Ada dua peniadaan yaitu:

Peniadaan lahiriah (Negation externe)
Peniadaan batiniah (Negation interne)
Bahwa meja bukanlah kursi, hal ini tidak menyipatkan meja, artinya bahwa meja bukanlah kursi, tidak ditentukan dari dalam inilah yang disebut negation externe. Akan tetapi bahwa aku bukan orang yang berbakat seni, atau aku bukan seroang usahawan, dan lainnya, ini menunjukkan suatu negativitas yang menyipatkan diriku dari dalam, dengan konsekuensi akulah yang bertangungjawab atas diriku.
Hal yang “tidak ada” tidak mungkin berasal dari “berada-dalam-riri” (L’entre-en-soi), sebab “berada-dalam-diri” adalah penuh, padat, tertutup. Yang “tidak ada” ini berasal dari manusia. Manusia mengandung di dalamnya hal yang “tidak ada”. Di sini terdapat perbedaan dengan Heidegger. Menurut Sartre “eksistensi yang murni” adalah hal yang nyata. Eksistensi manusia adalah “ketiadaan”. Peniadaan ini terjadi terus menerus, dan ini mengakibatkan manusia berbuat, dan tiap perbuatan adalah perpindahan, dari semula menuju ke apa yang didepannya, ini adalah meniadakan masa lampau dan berusaha mencapai yang ‘belum ada” atau yang pada waktu itu “tidak ada”.Pada hakekatnya menurut Sartre : “berada-untuk-diri” sama dengan kebebasan, (Anonim. 2012. http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/eksistensialisme.html).
Sumbangan Eksistensialisme Terhadap Ilmu Masa Kini
Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa ia berhadapan dengan dunia. Konsep ini muncullah cirri lain hakikat keberadaan manusia. Orang Eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah takut (Bierman dan Gauld, 1973 : 602).
Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu, terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh paham materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia itu pada hakekatnya adalah barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi manusia itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis, manusia itu tidak hanya sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu, (Anonim. 2012. http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/eksistensialisme.html).
Eksistensialisme mengakui bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing dan menganggap kebebasan sebagai sesuatu yang asasi bagi setiap individu dalam penentuan eksistensi diri sendiri. Karenanya eksistensialis mengajukan terhadap: gerakan totaliser, fasis dan komunis yang cenderung mengabaikan individu dalam kolektivisme dan massa.
Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa dalam menentukan pilihannya.Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini, karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah mengikari eksistensi siswa sebagai individu. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi, estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme. Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional, hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia,(Anonim.2012.http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/eksistensialisme.html).
Fenomenologi
Kata Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Secara istilah, Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri, (Bertens, 1981: 109).
Seorang fenomenolog berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung, sehingga Fenomenologi bisa dikatakan suatu metode pemikiran, a way of looking at things. (Zainudin. 2011. http://banyubeningku.blogspot.com/2011/04/filsafat/fenomenologi/edmund/husserl.htm).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa Fenomenologi ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut Fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan fenomenolog cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup, (Zainudin, 2011, http://banyubeningku.blogspot.com/2011/04/filsafat/fenomenologi/edmund/husserl.htm).
Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia sebelumnya. Hal ini Fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri, (Adian, 2002: 21).
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama Fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, Fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi modern. Dengan demikian, Fenomenologi yang dipromosikan Husserl ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi. Hal ini jelas bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme, (Adian, 2002: 23).
Tokoh Filsafat Fenomenologi
Edmund Husserl
Riwayat Hidup Edmund Husserl
Edmund Husserl adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu, lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga Yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat. Mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia, (Abadi, 2010, http://ahnafiabadi.blogspot.com/2010/08/fenomenologi-edmund-husserl.html).
Ajaran dan Karya Kefilsafatan Edmund Husserl
Sebagai studi filsafat, fenomenologi dikembangkan di Universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger, Max Scheler dan yang lainnya. Bahkan Jean-Paul Sartre pun memasukkan Fenomenologi dalam eksistensialismenya, (Lavine, 2002: 381).
Namun semuanya mengartikan istilah Fenomenologi secara berbeda. Baru Edmund Husserl yang memakai istilah Fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara tepat, (Bakker, 1986: 110) Contohnya seperti yang telah dibahas sebelumnya, yakni, dalam karya Hegel yang berjudul Phenomenolgy of Spirit. Pemaknaan Hegel terhadap teori “fenomena” dalam buku ini berbeda dengan “fenomena” menurut Husserl. Menurut Hegel, “fenomena” yang kita alami dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah. Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal Fenomenologi Hegel serta menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe fenomenologi, (Lavine, 2002: 382).
Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak Descartes, kesadaran selalu dipahami sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup), artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas, dimana kesadaran bersifat “intensional”, yakni realitas yang menampakkan diri, (Maksum, 2004: 58).
Sebagai seorang ahli Fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode Fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting aksi-aksi sadar kita, seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting obyek-obyek merupakan tujuan aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah “ilmu setepat-tepatnya” dan pada akhirnya kepastian akan diraih, (Lavine, 2002: 383).
Lebih jauh lagi Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus kembali kepada “realitas” sendiri. Dalam bentuk slogan, Husserl menyatakan Zuruck zu den sachen selbst kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu ”berbicara” sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita, (Maksum, 2004: 58).
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa benda, realitas, ataupun obyek tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut dengan wesenchau, melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala, (Bakker, 1986: 113).
Dalam melihat hakekat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk “berbicara tentang dirinya sendiri, (Bakker, 1986: 112).
Istilah lain yang digunakan oleh Husserl adalah epoche, yang artinya melupakan pengertian-pengertian tentang obyek untuk sementara dan berusaha melihat obyek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan pengertian-pengertian yang ada sebelumnya, (Juhaya, 2005: 180).
Karya–karya Edmund Husserl diantaranya, yaitu:
Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal.
Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif, (Abadi, 2010, http://ahnafiabadi.blogspot.com/2010/08/fenomenologi-edmund-husserl.html).
Max Scheler
Riwayat Hidup Max Scheler
Max Scheler dilahirkan di Munich, Jerman pada tanggal 22 Agustus 1874. Ayahnya seorang Lutheran dan ibunya seorang Yahudi Ortodoks. Sebagai seorang anak remaja, ia masuk Katolik, karena ketertarikkannya pada ajaran mengenai cinta. Scheler belajar ilmu kedokteran di Munchen dan Berlin, Filsafat dan Sosiologi pada W.Dilthey dan G.Simmel pada tahun 1895. Ia memperoleh gelar doktornya pada tahun 1897. Setelah belajar di Munchen, Berlin, Heildelberg dan Jena, ia kemudian menjabat sebagai dosen privat di Jena dan Munchen pada tahun 1899. Seluruh hidupnya, Scheler memiliki pemikiran yang begitu berpengaruh bagi filsafat pragmatisme Amerika. Pada tahun 1902, ia bertemu bertemu dengan Edmund Hursell seorang fenomenolog untuk pertama kalinya di Halle. Scheler tidak pernah menjadi murid Hursell. Akan tetapi, perjumpaan dengannya memberikan pengaruh yang besar bagi Scheler. Scheler menjadi seorang fenomenolog yang getol menyebarluaskan ajaran Hursell ini. Dari tahun 1907-1910 ia mengajar pada universitas di Munchen. Ia bergabung dengan lingkungan fenomenolog Munchen diantaranya M.Beck, Th. Conrad, J. Daubert, M.Geiger. D.Y Hildebrand, Th.Lipps, and A. Pfaender, (Jaya, 2012, http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/06/fenomenologi-max-scheler.html).
Selama perang dunia I (1914-1918) Scheler mengikuti wajib militer tetapi ia kemudian dihentikan karena menderita astigmia pada matanya. Kemudian pada tahun 1919, ia menjadi professor filsafat dan sosiologi di Koln. Pada tahun 1927, dalam sebuah kesempatan konferensi di Darmstad dekat Frankfurt, yang diprakarsai oleh Graf Keyserling, Scheler membawakan sebuah ceramah yang sangat lama, dengan judul Man’s Particular Place yang kemudian dipublikasikan dalam bentuk yang lebih disingkatkan dengan judul Man’s place in the Cosmos. Gaya dan caranya berceramah menarik simpati para pendengarnya. Pada suatu waktu, Scheler memusatkan perhatiannya pada pembangunan politik. Ia berjumpa dengan filsuf emigrant asal Rusia N. Berdlaev di Berlin pada tahun 1923. “Politik dan Moral” “ide kedamaian abadi dan pasifisme” adalah bahan yang disampaikannya pada suatu kesempatan di Berlin pada tahun 1927. Scheler meninggal dunia di Frankfurt pada tanggal 19 Mei 1928, (Jaya, 2012, http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/06/fenomenologi-max-scheler.html).
Ajaran dan Karya Kefilsafatan Max Scheler
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat Fenomenologi adalah Max Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha untuk menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-gejalanya. Bagi Scheler, Fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris. Dan pemikiran yang paling utama Scheler adalah tentang Fenomenologi etika.
Dalam pandangan Scheler tentang Fenomenologi etis, benda dianggap sebagai “sesuatu” yang bernilai, oleh karena itu, adalah keliru menginginkan inti nilai dari benda-benda, atau memandang keduanya dengan tempat berpijak yang sama. Dunia benda-benda terdiri atas segala sesuatu, maka dapat dihancurkan oleh kekuatan alam dan sejarah. Dan jika nilai moral kehendak kita tergantung pada benda-benda, maka kehancuran tersebut akan mempengaruhinya. Sebaliknya benda itu memiliki nilai empiris, induktif, dan prinsip yang didasarkan diatasnya bersifat relatif, (Frondizi, 2001: 109).
Scheler mendasarkan metode Fenomenologinya kepada hati dan perasaan. Maksudnya, untuk menggapai kebenaran hakiki manusia harus berinteraksi dengan objek sebagaimana teori Husserl. Namun, ketika manusia menghadapi fenomena, yang tampak sebagai kebenaran merupakan adalah sesuatu yang tampak pada hati dan perasaan. Mungkin Scheler tergila-gila dengan cinta atau terjerat virus-virus cinta. sehingga dalam menghadapi fenomen ia menghadapinya dengan cinta. Selain itu Scheler menambahkan sesuatu di metode Fenomenologi Husserl. Inilah diantara yang menjadi ciri has metode Scheler. Scheler mengatakan manusia harus menahan segala sesuatu atau pengakuan dalam menghadapi realita. Manusia harus melepaskan diri dari dari kecendrungan ia atau tidak, begini atau begitu. Sehingga yang tersisa hanyalah realitas dari fenomen itu sendiri.
Filsafat Max Scheler dibagi ke dalam dua periode:
Periode pertama rentang waktunya di mulai antara disertasinya pada tahun 1897 hingga karyanya On the eternal in Man ( manusia dalam keabadian) pada tahun 1920/1922—volume I-VII. Sedangkan pada periode kedua, masa-masa dari tahun 1920/1922 hingga 1928 yang terangkum dalam Vol. VIII-XV.
Dalam periode pertama, karyanya yang paling menonjol adalah penyelidikannya mengenai nilai-etika, perasaan, agama, dan teori politik. Dalam tahun-tahun ini ada dua karya besar yang dihasilkannya, The Nature of Sympathy dan Formalisme Etics dan non- Formal etichs of Vlues. Dari karya-karyanya ini, Scheler memusatkan perhatiannya pada, perasaan manusia, cinta, dan kodrat manusia. Ia memperlihatkan bahwa ego, akal budi dan kesadaran manusia mengisyarakan lingkungan manusia dan menyangkal sebuah kemurnian ego, kemurnian akal budi, atau kemurnian kesadaran. Di sini, Scheler mengkritik apa yang telah ada sebelumnya yakni apa yang diajarkan oleh Husserl, Kant, dan Idealisme Jerman. Bagi Scheler, ego, akal budi dan kesadaran adalah hati manusia yang merupakan tempat duduk dari cinta lebih dari pada sebuah ego yang transcendent, akal budi, kehendak atau penginderaan. Dan hal ini merupakan nilai bagi essensi dari eksistensi manusia. Scheler membeda-bedakan beberapa tipe perasaan, lebih dari itu ada yang sungguh-sungguh menyembunyikan diri dan pribadi, dan di antara itu cinta menampakan diri dan menjadi pusatnya. Kemanusiaan manusia atas dasar Cinta (ensamans).
Dari sini mengalirlah sebuah prinsip yang besar yang melewati seluruh periode pertama ini: perasaan dan cinta memiliki logikanya di dalam diri mereka sendiri, yang sungguh-sungguh berbeda dari logika akal budi. Di sini Scheler mengikuti Blaine Pascalfilsuf dan matematikawan asal Perancis.
Dalam periode kedua (1920/1922-1928)
Scheler menentang ide mengenai Tuhan sebagai Pencipta. Baginya, dewa, manusia dan dunia adalah satu bentuk yang “menjadiada” karena proses penyatuan yang terjadi dalam waktu yang absolut. Waktu yang Absolut bukanlah waktu yang dapat diukur dengan waktu atau jam yang digunakan olehilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Waktu absolut mirip waktu yang lewat ketika kita tidak berpikir mengenai waktu. Contoh, ketika kau sedang membacatu;isan ini. Waktu absolut sudah menjadi sifatnya di dalam dirinya dalam seluruh proses penerusan generasi, memeram, memodifikasi diri; mencakup proses atomic, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Scheler mengatakan dengan sangat simple: tanpa sebuah self- generating di dalam hidup manusia maka tidak ada waktu. Maka pada gilirannya, waktu yang absolut adalah sebuah kondisi Scheler memperlihatkan keterukuran waktu ketika mengidentifikasinya sebagai waktu, (Jaya, 2012, http://suhaimi-jaya.blogspot.com/2012/06/fenomenologi-max-scheler.html).


Sumbangan Fenomenologi Terhadap Ilmu Masa Kini
Dunia pendidikan (pedagogik) tidak menggunakan metode deduktif spekulatif, dalam investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogik yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomena yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya.
Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekuensi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang faktual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogik didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan, (Widiyanto, 2012, http://rohmadwidy.wordpress.com/2012/03/29/fenomenologi-husserl/).
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogik (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (dassein) dan nilai (dassollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris, (Widiyanto, 2012, http://rohmadwidy.wordpress.com/2012/03/29/fenomenologi-husserl/).
Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu. Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik (teoritis) adalah ilmu yang menysusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil,(Widiyanto,2012,http://rohmadwidy.wordpress.com/2012/03/29/fenomenologi-husserl/).
BAB X
FILSAFAT POSMODERNISME
Wilayah Kajian Posmodernisme
Arti Posmodernisme
Secara etimologis Postmodernisme terdiri dari dua kata, post dan modern. Kata post adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’ dalam Webster’s Dictionary Library. Hal ini berarti Postmodern adalah sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di jaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Sedangkan secara terminologi, menurut tokoh dari Postmodern, Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, Postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat Modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga Postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas yaitu pada akumulasi pengalaman Peradaban Barat adalah Industrialisasi, Urbanisasi, Kemajuan Teknologi, Negara Bangsa, Kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi Postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Postmodernisme merupakan gerakan dan arus pemikiran yang bereaksi kritis terhadap modernisme atau proyek pencerahan yang menekankan subjektivitas, rasionalitas ilmiah-teknologis yang berlaku universal, dan refleksivitas. Reaksi kritis tersebut mengambil berbagai bentuk dari yang mencoba memadukan dan merivisi dari dalam, sampai ke yang menolaknya sama sekali. Postmodernisme dapat dikatakan lahir akibat krisis yang melanda modernitas. Postmodernisme sulit dimengerti lepas sama sekali dari apa yang mencirikan peradaban modern berikut proyek modernismenya, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Jadi Posmodernisme itu semacam paradigma baru yang merupakan suatu bentuk reaksi dari pendukung fanatik ajaran posmodernisme yang melawan atau menentang ajaran modernisme yang di anggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahannya.
Tokoh Posmodernisme
Charles Sanders Pierce (1839-1941)
Riwayat Hidup Charles Sanders Pierce
Pierce lahir di USA (1839-1941). Sebagai ahli semiotika, logika, dan matematika, Pierce sezaman dengan Saussure. Oleh karena itulah, mereka dimasukkan ke dalam kelompok strukturalis. Meskipun demikian Pierce melangkah lebih jauh, pertama, latar belakangnya sebagai ahli filsafat, yang memungkinkannya untuk melihat dunia di luar struktur, sebagai struktur bermakna. Kedua, berbeda dengan Saussure dengan konsep diadik yang cenderung untuk melihat objek atas dasar objek lain, sehingga terjadi pemahaman pusat dan nonpusat, Pierce menawarkan konsep triadik sehingga terjadi jeda antara oposisi biner di atas, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Ajaran Kefilsafatan Charles Sanders Pierce
Pada dasarnya Pierce, tidak banyak mempermasalahkan estetika dalam tulisan-tulisannya. Meskipun demikian, teori-torinya mengenai tanda mendasari pembicaraan estetika generasi berikutnya. Menurut Pierce, makna tanda yang sesungguhnya adalah mengemukakan sesuatu. Dengan kata lain, tanda mengacu kepada sesuatu. Tanda harus diinterpretasikan sehingga dari tanda yang orisinal akan berkembang tanda-tanda yang baru. Tanda selalu terikat dengan sistem budaya, tanda-tanda bersifat konvensional, dipahami menurut perjanjian, tidak ada tanda-tanda yang bebas konteks. Tanda selalu bersifat Plural (jamak), tanda-tanda hanya berfungsi hanya kaitannya dalam kaitannya dengan tanda yang lain. Contoh tanda merah dalam lalu lintas, selain dinyatakan melalui warna merah, juga ditempatkan pada posisi paling tinggi, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Dalam pengertian Pierce. fungsi refresial didefenisikan melalui triadik ikon, indeks, dan simbol. Tetapi interpretasi holistik harus juga mempertimbangkan tanda sebagai perwujudan gejala umum, sebagai representamen (qualisign, sisign, dan lesisign), dan tanda-tanda baru yang terbentuk dalam batin penerima, sebagai interpretant (rheme, dicent, dan argument) dengan kalimat lain, diantara objek, representamen, dan interpretan, yang paling sering dibicarakan adalah objek (ikon, indeks dan simbol), (Anonim. 2012.http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).







Roman Osipocich Jakobson (1896-1982)
Riwayat Hidup Roman Osipocich Jakobson
Jakobson adalah seorang linguis, ahli sastra, semiotikus, lahir di Rusia (1896-1982). Ia juga pendiri Lingkaran Linguistik Moskow (1915) dan Lingkaran Linguistik Praha (1962).




Karya-karya Roman Osipocich Jakobson
Karya- karyanya Roman Osipocich Jakobson didasarkan atas linguistik Saussure, fenomenologi Husserl, dan perluasan teori semiotika Pierce. Pusat perhatian Jakobson sesungguhnya adalah integrasi bahasa dan sastra. Sesuai dengan judul salah satu tulisannya ‘Lingustik and Poetics’ (1987: 66, 71), Jakobson menaruh perhatian besar terhadap integrasi antara bahasa dan sastra. Jakobson melukiskan antar hubungan tersebut, dengan mensejajarkan enam faktor bahasa dan enam fungsi bahasa, yang disebutnya sebagai Poetic function of language. Sama dengan Pierce, pikiran-pikiran Jakobson masih sangat kental menampilkan model analisis Strukturalisme, tetapi pikiran tersebut dapat mengarahkan bagaimana bahasa sebagai sistem model pertama berperan sekaligus berubah ke dalam taataran bahasa sebagai sistem model yang kedua. Krtitk tajam yang kemudian dikemukakan oleh Riffaterre dan Pratt, misalnya menunjukkan bahwa peranan pembaca tidak boleh dilupakan, sekaligus merayakan lahirnya teori sastra dan estetika sastra postrukturalisme. Makna sebuah puisi tidak ditentukan oleh linguis melainkan oleh pembaca, dengan cara mempertentangkan antara arti (meaning) pada level mimetik dengan makna (significance), sebagai penyimpangan level mimetik itu sendiri. Lebih tegas, melalui pendekatan sosiolinguistik melalu teori tindak kata, Pratt mengkritik Jakobson yang terlalu menonjolkan fungsi puitika. Tidak ada ragam bahasa yang khas. Wacana sastra adalah pemakaian bahasa tertentu, bukan ragam bahasa tertentu, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Ajaran Kefilsafatan Roman Osipocich Jakobson
Ajaran Kefilsafatan Roman Osipocich Jakobson yaitu, hubungan antara bahasa dengan sastra, ciri-ciri khas bahasa dan sastra, ciri-ciri yang membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa nonsastra, telah banyak dibicarakan. Secara garis besar ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa biasa, bahasa sehari-hari. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa bahasa sastra sama dengan bahasa sehari-hari. Pendapat pertama bertolak dari kekhasan bahasa sastra sebagaimana terkandung dalam puisi, sedangkan pendapat kedua bertolak dari bahasa prosa. Dalam sastra kontemporer kelompok formalislah yang paling serius mencoba menemukan ciri-ciri bahasa sastra tersebut, yang disebut sebagai literarines, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Roland Barthes (1915-1980)
Riwayat Hidup Roland Barthes
Barthes adalah seorang ahli semiotika, kritikus sastra, khususnya naratologi. Barthes lahir di Cherbourg, Prancis (1915-1980). Dalam bidang semiotika, di samping Levi Strauss, Foucault, dan Lacan, Barthes banyak memanfaatkan teori-teori struktural Saussurean. Sebagai seorang semiotikus ia juga mengakui bahwa proses pemaknaan tidk terbatas pada bahasa, melainkan harus diperluas meliputi seluruh bidang kehidupan. Barthes dan dengan demikian para pengikutnya menolak dengan keras pandangan tradisional yang menganggap bahwa pengarang sebagai asal-usul tunggal karya seni. Jelas bahwa paradigma ini telah dikemukakan oleh kelompok strukturalis, makna karya sastra terletak dalam struktur dengan kualitas regulasinya, (Anonim. 2012.http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Karya- karya Roland Barthes
Barthes-lah yang membuat karya sastra memperoleh kekuatan baru, memperoleh kebebasan, khususnya dari segi penafsiran pembaca. Klimaks pemikiran ini dikemukakan dalam tulisannya yang berjudul The Pleasure of The Text (1973), dengan membedakan teks menjadi dua macam, yaitu: teks pleasure (plaisir) dan teks bliss (jouissance), (Anonim. 2012.http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Ajaran kefilsafatan Roland Barthes
Ajaran Roland Barthes yaitu seperti pada karyanya The Pleasure of The Text (1973), bahwa dengan adanya kebebasan yang dimilikinya, maka pembaca akan merasakan kenikmatan (pleasure) dan kebahagiaan (bliss), yang seolah-olah mirip dengan kenikmtan seksual (orgasme). Meskipun demikian kenikmatan dan kebahagiaan dalam membaca teks memilikia arti yang lebih luas, dan dengan sendirinya lebih etis dan estetis. Teks pleasure menyajikan kesenangan berupa pengetahuan, kepercayaan, dan harapan, sedangkan teks bliss justru menyajikan semacam kehilangan, keputusasaan, dan kegelisahan. Teks pleasure merupakan milik kebudayaan tertentu, sebaliknya teks bliss tidak memiliki asumsi historis, kebudayaan, dan psikologis. Teks pleasure menyajikan kesesuaian hubungan antara pembaca dengan medium yang relatif stabil, teks bliss justru merupakan krisis, (Anonim. 2012.http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Contoh teks pleasure yaitu membaca sebuah buku seperti buku pelajaran akan menimbulkan pengetahuan sedangkan teks bliss seperti buku- buku novel atau cerita rakyat yang menimbulkan suatu asumsi historis (sejarah) seperti cerita Malin Kundang.
Umberto Eco
Riwayat Hidup Umberto Eco
Eco adalah seorang semiotikus, kritikus, novelis, dan jurnalis, lahir di Piedmont, Italia (1932- ). Di samping itu ia juga mendalami estetika dan filsafat abad pertengahan yang kemudian diterbitkan daam bukunya yang berjudul Art and beauty in the Middle Ages. Dua buah novelnya yang terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum. Sebagai ahli semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984), (Anonim. 2012.http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Karya-karya Umberto Eco
Umberto Eco membuat buku yang berjudul Art and beauty in the Middle Ages. Dua buah novelnya yang terkenal berjudul The Name of the Rose dan Foucault Pendulum. Sebagai ahli semiotika ia menghasilkan dua buah buku yaitu A Theory of Semiotics (1976) dan Semiotics and the Philosophy of Language (1984).
Secara eksplisit A Theory of Semiotics mendeskripsikan teori semiotika umum yang terdiri atas teori kode dan teori produksi tanda, sebagai perbedaan antara kaidah dan proses atau antara potensi dan tindakan menurut Aristoteles. Salah satu tema yang dikemukakan dalam Semiotics and the Philosophy of language adalah perbedaan antara struktur kamus dengan ensiklopedia. Kamus dianggap sebagai pohon porphyrian (model, definisi, terstruktur melalui genre, spesies, dan pembaca) sebaliknya, ensiklopedia merupakan jaringan tanpa pusat. Kamus bermakna tetapi cakupannya terbatas, atau cakupannya tak terbatas tetapi tidak mampu memberikan makna tertentu. Ensiklopedia sejajar dengan jaringan rhizomatic. Strukturnya mirip dengan peta, bukan pohon yang tersusun secara hierarkhis, (Anonim. 2012.http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Ajaran Kefilsafatan Umberto Eco
Sebagai ilmu yang imperial, memiliki ruang lingkup hampir seluruh bidang kehidupan, maka Eco membedakan semiotika menjadi 18 bidang, termasuk estetika. Menurut Eco, semua bidang dapat dikenal sebagai kode sejauh mengungkapkan fungsi estetik setiap unsurnya. Sama dengan Pierce, esensi tanda adalah kesanggupannya dalam mewakili suatu tanda. Setiap kode memiliki konteks, sebagai konteks sosiokultural. Oleh karena itulah, teori tanda harus mampu menjelaskan mengapa sebuah tanda memiliki banyak makna, dan akhirnya bagaimana makna-makna baru bisa terbentuk. Dalam hubungan inilah dibedakan dua unsur, pertama, unsur yang dapat disesuaikan atau diramalkan oleh kode, seperti simbol dalam pengertian Pierce. Kedua, adalah unsur yang tidak bisa disesuaikan dengan mudah, misalnya, ikon dalam pengertian Pierce. Unsur pertama disebut rasio facilis, sedangkan unsur yang kedua disebut rasio defacilis. Oleh karena itu, menurut Eco, proses pembentukan tanda harus dilakukan melalui sejumlah tahapan, yaitu: a) kerja fisik, b) pengenalan, c) penampilan, d) replika, dan e) penemuan, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Contoh tanda silang (×) memiliki banyak arti dan makna yaitu bisa dijabarkan dengan sebagai simbol perkalian dalam Matematika, tanda silang jawaban salah, atau tanda bahya/ larangan di makanan, minuman dan obat.
Latar Belakang Lahirnya Posmodernisme
Secara umum latar belakang lahirnya postmodernisme adalah sebagai berikut:
Sebagai bentuk protes akan anggapan kurangnya ekspresi dalam aliran modernisme;
Karena terjadinya krisis kemanusiaan modern dalam aliran modernisme.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau adalah:
Modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya;
Ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian;
Ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern;
Ada semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya, dan ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, serta kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
Ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Ajaran Pemikiran Filsafat Posmodernisme
Filsafat Posmodernisme tentang manusia sebetulnya hampir mirip sama dengan filsafat strukturalisme. Kedua aliran ini boleh disebut anti-humanisme, jika humanisme dipahami sebagai pengakuan atas keberadaan dan dominasi “aku” yang terlepas atau independen dari sistem situasi atau kondisi yang mengitari hidupnya. Faktanya tidak ada dan tidak mungkin ada “aku” atau “ego” yang unik dan mandiri, karena ia selalu hidup di dalam, dan ditentukan oleh, sejarah dan situasi sosial budaya yang mengungkapnya, (Abidin, 2006:35).
Akan tetapi Posmodernisme masuk kedalam aspek- aspek kehidupan manusia yang lebih beragam dan aktual. Para Posmodernis menentang bukan hanya dominasi (aku) yang seolah- olah bebas dan mampu melepaskan diri dari sistem sosial budayanya, tetapi menafikan dominasi sistem sosial, budaya, politik, kesenian, ekonomi, arsitektur, dan bahkan gender yang bersifat timpang dan menyeragamkan umat manusia, (Abidin, 2003:288).
Menurut pandangan posmodernis, telah terjadi dominasi atau “kolonialisasi yang halus dan diam- diam” dalam semua aspek kehidupan manusia. “Pelakunya” adalah sistem- sistem besar yang bersifat tunggal (the One) terhadap sistem- sistem kecil yang bersifat jamak (the Plurals). The One identik dengan Kebudayaan Barat, sedangkan The Plurals dengan Kebudayan Timur. Misalnya saja dominasi nilai kesenian Barat yang dianggap adi luhung terhadap kesenian yang berasal dari bangsa- bangsa timur dan/atau negara- negara berkembang: Hanya musik klasik dari Bach, Beethoven, Mozart, misalnya yang layak disebut indah (bernilai seni tinggi), sedangkan musik- musik tradisional seperti angklung, dangdut, gamelan dianggap tidak indah atau kampungan (bernilai seni rendah), (Abidin, 2006: 35-36).
Para Posmodernis menentang dominasi nilai- nilai yang demikian Melalui proyek dekonstruksi, mereka coba menunjukkan betapa rapuh dan lemahnya the One dan betapa penting dan berharganya the Plurals sehingga tidak bisa meremehkan yang satu oleh yang lain. Menurut Posmodernis, the Plurals harus diperhatikan, diungkap ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai- nilai yang terkandung dalam the One, (Abidin,2006: 36).
Sumbangan Filsafat Postmodernisme Masa Kini
Sumbangsih Posmodern kepada negara-negara berkernbang: 1) Memberi kesempatan negara berkembang untuk maju sederajad dengan negara-negara maju; 2) Dalam percaturan politik dunia, menjadi penseimbang politik dan memiliki HAM yang sama seperti yang tertuang dalam Human Right Declaration; 3) Dengan faham bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, maka ada kesempatan untuk saling berbagi dalam semua aspek hidup termasuk agama; 4) Belajar menjadi dewasa dalam berpikir, bersuara dan memberikan pendapat; 5) Belajar menghargai pendapat sesama yang berbeda; 6) Tidak lagi mengejar yang bersifat struktural oleh karena sudah berada dalam era poststruktural; 7) Yang menjadi tekanan dalam dunia pastoral adalah mengajar sesama untuk menjadi dewasa dan dapat menolong dirinya sendiri; 8) Tetap menekankan kepada kebebasan yang bertanggung jawab; 9) Setiap orang ditantang untuk mempersiapkan diri memasuki hari tua agar tetap bisa berprestasi karena terjadinya kesejangan antara orang tua dan muda; 10) Perlu dipikirkan sebuah cara atau kegiatan pastoral untuk mengembalikan keharmonisan keluarga; 11) Ketakutan memasuki hari tua hanya dapat diatasi melalui sebuah keyakinan bahwa hari tua adalah hari yang indah dan ketika menjadi tuapun masih bisa berprestasi; 12) Tuhan akan menyertai sampai akhir hayat manusia; 13) Dunia ini harus dikembalikan kepada pemilikNya yaitu Allah; 14) Tugas manusia adalah memelihara ciptaan Tuhan dalam konteks memelihara lingkungan hidup secara bertanggung jawab; 15) Karakter perorangan harus menjadi satu dalam karakter komunitas; 16) Dalarn konteks dunia semacam ini komunikasi atau pemberitaan Firman harus disampaikan secara holisiik dan dilakukan meialui kehadiran orang-orang beragama di tengah masyarakat; 17) Dampak positif dan negatif yang dihasiikan oleh gerakan postmodern masih dapat dikelola dengan wajar; 18) Ternyata postmodern bukan sesuatu yang menakutkan dan harus ditolak, tetapi harus diterima secara kritis; 19) Posmodern lebih bersifat kebudayaan dari pada pergerakan, (Anonim. 2012.http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Kelebihan Posmodernisme dan Kekurangan Posmodernisme
Kelebihan Posmodernisme
Adanya kediktatoran pemaknaan;
Kebebasan beragama meruapakan jaminan terhadap martabat manusia yang terpenting;
Menolak “narasi besar” demi “narasi-narasi kecil;
Bisa menghargai berbagai jenis seni, ukiran dan budaya tradisional di zaman modern serta di kancah internasional;
Adanya teknologi canggih (kedokteran, ilmu pengetahuan) yang berkembang di zaman sekarang akibat pengaruh dari kebudayaan barat;
Pengakuan the Plurals harus diperhatikan, diungkap ke permukaan, karena memiliki nilai yang penting yang tidak bisa diukur oleh nilai- nilai yang terkandung dalam the One, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Dalam perkembangan selanjutnya, maka dekonstruksi yang semula dikaitkan dengan narasi- narasi metafisika itu kemudian diperluas penerapannya, baik oleh Derrida sendiri maupun oleh para Posmodernis lainnya, pada bidang yang lebih luas, yakni pada setiap gejala (budaya, politik, sosial, arsitektur, gender dll) atau peristiwa (sejarah) apapun. Akan tetapi maknanya tidak berubah, yakni masih tetap sebagai suatu cara untuk menemukan dan mengungkap ke permukaan apa yang semula tidak atau kurang diperhatikan oleh modernisme. Dengan perkataan lain dekonstruksi adalah usaha kaum Posmodernis untuk menemukan dan menjadikan penting apa yang semula tidak penting, atau hanya dianggap sebagai The Others, oleh Modernisme, (Abidin, 2003:228).
Kekurangan Posmodernisme:
Posmodernisme, buta terhadap kenyataan bahwa narasi kecil mengandung banyak kebutuhan;
Posmodernisme tidak membedakan antara idiologi di satu pihak, dan prinsip-prinsip universal etika terbuka di lain pihak;
Posmodernisme menuntut untuk menyingkirkan narasi-narasi besar demi narasi-narasi kecil, padahal narasi-narasi kecil sendiri merupakan narasi besar dengan klaim universal, (Anonim. 2012. http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/filsafat-positivisme-dan-postmodernisme-positivisme/).
Oleh karena itu dalam kekurangannya posmodernisme haruslah paham dalam narasi kecil yaitu menghargai budaya tradisional, supaya budaya tradisonal ini mampu bersiang di negara maju dan sederajad. Seperti budaya Indonesia yang banyak akan mendapat apersiasi dari negara dan diakui oleh negara lain menjadikan suatu kebanggaan tersendiri bagi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar